Mohon tunggu...
Kurnia Ibrahim
Kurnia Ibrahim Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa BKI UIN Raden Mas Said Surakarta

Bermusik, Penyimak Sosial,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Vestiti Democratici

29 Maret 2023   06:31 Diperbarui: 29 Maret 2023   06:37 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Vestiti Democratici

Pagi itu pukul 9.30, situasi depan rumah sudah mulai ramai. Bulek saya, mempunyai usaha katering kecil-kecilan. Meskipun berskala kecil, tapi tidak pernah sepi orderan. Saya bilang cukup ramai disetiap paginya karena bulek saya mempekerjakan beberapa ibu-ibu (tetangga) untuk "nggarap pesenan" disetiap harinya. Di saat itu, saya pasti sedang bersiap untuk berangkat bekerja. Ya, bekerja. Meskipun saat ini saya juga sedang menempuh sekolah sebagai mahasiswa akhir tapi, banyak waktu luang di kala semester senja (skripsian sedang dalam proses). Sebenarnya, semenjak semester pertama pun hingga di penghujung semester ini saya beberapa kali "nyambi" dengan bekerja paruh waktu. Setidaknya mungkin bisa mengurangi beban orang tua saya yang rasanya sudah cukup "abot" untuk membiayai. Karena selain saya, masih ada adik laki-laki saya yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP. Rutinitas pagi, saya selalu isi dengan mencoba mengumpulkan niat dan suasana positif untuk bekerja. Entah itu, merokok sambil mendengarkan lagu favorit, atau hanya sekadar merenung di pagi hari. Mungkin tidak hanya saya, tapi juga banyak manusia lainnya melakukan ritual pagi untuk membangun motivasi hidup sehari-hari. Selepas itu saya bersiap dengan bersih diri,sarapan dan pamit. Setelah siap, lanjut saya mengeluarkan motor untuk berangkat ke tempat kerja. Disaat saya ingin mengeluarkan tiba-tiba salah satu "rewangan" bulek saya menyapa dan bertanya

"Mas e kok ngangggo lurik niku, ndamel e teng pundi to mas?"
Dengan tertawa ringan saya menjawab

"Hehehe mboten dingge ndamel budhe, niki naming luaran (jaket) mawon" Si ibu dengan tertawa pun langsung menjawab

"Oalahhh... hahaha tak kiro dingge ndamel mas, budhe dadi kelingan karo bapak (suami) mbiyen sering banget nganggo lurik" 

Agak sedikit terkejut mengapa baju lurik saya disorot dan di komentari oleh si ibu. Dugaan saya mungkin hanya untuk basa-basi, tapi secara spesifik mencuit tentang baju lurik yang saya kenakan menurut saya adalah suatu basa-basi yang berbeda. Basa-basi yang memiliki makna implisit, mungkin. Sedikit bercerita bahwa saya mungkin tergolong orang yang suka dengan sesuatu yang "lama". Ada beberapa barang bekas dan tua umurnya yang saya punya. Buku,kacamata,baju dsb. Meskipun banyak yang sudah rusak atau rapuh tapi value yang saya dapat bagi saya sangat sepadan dengan harganya yang masih terjangkau dan masih bisa ditawar. Tentang baju lurik, bagi saya baju lurik merupakan sesuatu hal yang lama,kelas dan antik. Oleh sebab itu ketika saya ke Pasar Notoharjo, ada seorang bapak-bapak menggelar dagangan bekas nya dan ketika saya melihat dari kejauhan, saya langsung tercuri hatinya saat melihat baju lurik yang dijual. Murah, hanya Rp. 15.000,00 karena memang barang bekas pakai. Kancingnya saja lepas satu dan tersimpan di saku baju itu. Tanpa saya tawar, saya langsung "deal" dengan bapaknya untuk mengambil baju lurik seharga itu. Setelah saya beli dan pulang ke rumah, baju lurik itu menjadi "jaket" saya sehari-hari. Bahkan ketika ada urusan di kampus, saya tetap mengenakan baju itu sebagai luaran dengan dalih "outfit of the day" Kembali dimasa pagi hari ketika bersiap untuk berangkat kerja. Setelah ditanya oleh ibu-ibu "rewangan" bulek saya, saya berjalan menuntun motor untuk menghidupkannya di depan jalan. Pekewuh saja, bila saya hidupkan di depan rumah dan melewati budhe-budhe rewang dengan suara motor yang lumayan mengganggu mereka bercanda. Saya nyalakan motor dan mulai memanasi sebentar setelah itu berangkat jalan menuju tempat kerja. Belum sampai jauh dari rumah, saya teringat bahwa persediaan tembakau saya sudah habis di rompi saya. Bergegas, saya mampir sebentar ke warung rokok depan rumah. Warung Mbah Umi namanya. Warung lawas yang dari jaman saya bayi pun mereka sudah buka. Sesampainya di warung, saya langsung matur ingin membeli rokok kretek. Mbah Umi langsung satset melayani dan seketika bertanya :


"Nganggo lurik opo dadi tukang parkir to, Le?"

Sontak saya dibuat terkejut lagi dan ini membuat lebih terkejut. Tukang parkir. Saya bergegas langsung merespon

"Mboten mbah! niki naming dingge jaketan mawon. Mboten tukang parkir"

Mbah Umi yag mendengar respon saya kembali menjadwai sembari tertawa lirih

"Wooooo tak kiro dadi tukang parkir..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun