Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang bersentuhan dengan individu sejak lahir, yang termasuk ke dalam lingkungan keluarga pertama adalah ayah, ibu dan individu itu sendiri. Setiap orang tua pastinya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Keinginan inilah yang kemudian akan membentuk model pengasuhan yang akan ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya.
Diana Baumrind (1967) menyebutkan bahwa pola asuh pada prinsipnya adalah parental control, khususnya cara orang tua mengontrol, membimbing dan mendampingi anaknya dalam tugas perkembangan menuju dewasa. Dan Diana Baumrind membagi pola asuh menjadi 3 jenis yaitu:
otoriter, demokratis, dan permisif.
Disini kita akan berfokus pada pola asuh otoriter dan seperti apa pengaruh yang timbul jika orang tua menggunakan metode tersebut dalam membentuk karakter seorang anak.
Seperti yang saat ini kita ketahui, pola asuh otoriter mencerminkan sikap orang tua yang keras dan rawan diskriminasi. Ciri-cirinya adalah menekan anak untuk menuruti semua perintah dan keinginan orang tua, mengontrol perilaku anak dengan sangat ketat, orang tua juga tidak pernah pada anaknya, anak sering dihukum, dan apabila anak tidak berprestasi jarang sekali diberi penghargaan.
Seperti yang Abdul Aziz Al Qussy sampaikan, yang beliau kutip dari Chabib Thoha bahwasannya sudah menjadi kewajiban orang tua untuk membantu anaknya menghidupi dirinya sendiri, namun dengan adanya model pengasuhan otoriter ini membuat orang tua membatasi rasa kasih sayang kepada anaknya, serta sentuhan dan kedekatan emosional orang tua kepada anak yang membuat di antara mereka seolah-olah memiliki pembatas antara si "otoriter" (orang tua) dan si "penurut" (anak) . Hal seperti inilah yang akan mempengaruhi karakter seorang anak nantinya.
Pola asuh otoriter dalam keluarga lebih menekankan pada keteraturan dalam kehidupan sehari-hari, namun mengesampingkan psikologis anak, sehingga hasil yang dicapai adalah anak akan menjadi pribadi yang idealis dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Dengan pola asuh otoriter ini pula membuat sang anak tidak dapat berkreasi serta kreatif yang membuat dirinya menjadi seorang yang pasif dan pendiam. Maka dapat dilihat anak-anak yang dibesarkan dengan model otoriter akan menciptakan karakter pada diri anak yang membuat dirinya seringkali tampak tidak bahagia, takut melakukan sesuatu karena takut melakukan kesalahan, kurang percaya diri, takut melakukan sesuatu, dan kemampuan berkomunikasi lemah.
Oleh sebab itu, pola asuh sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian anak setelah dewasa. Hal ini karena sifat dan faktor kepribadian individu yang telah dewasa sebenarnya sudah ada jauh sebelum benih ditanamkan dalam jiwa individu tersebut, yaitu ketika ia masih anak-anak atau remaja.
Dengan kata lain, cara orang tua memperlakukan anaknya sejak kecil akan berdampak pada perkembangan sosial dan moralnya saat dewasa. Perkembangan sosio-etis inilah yang nantinya akan membentuk karakter dan sikap anak, meskipun ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi pembentukan sikap anak yang terlihat dari karakter yang dimilikinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H