Seorang nenek tua dengan sisa-sisa semangatnya menyusuri jalan setiap pagi sambil menjajakan sapu lidi daganganya. Langkah kaki-kaki tuanya tidak cukup cekatan lagi. Teramat pelan untuk bisa disebut sebagai melangkah. Barangkali akan lebih pas kalau disebut dengan menyeret.
Kulitnya sudah sangat keriput termakan beberapa dekade perubahan jaman. Tangannya bergetar-getar menahan beban dua atau tiga sapu lidi kecil daganganya. Pendengaran dan matanyapun tidak lagi cukup jernih untuk mendengar dan melihat. Ditengah keterbatasan fisiknya, nenek ini pantang menyerah. “Nenek tidak akan menyerahkan nasib nenek pada orang lain”, demikian katanya suatu ketika.
Saat nenek itu beristirahat dibawah rindangnya sebuah pohon, seorang pengemis muda tampak menghampiri dan berbicara pada nenek itu. “Nek , apa yang membuat nenek begitu tegar menghadapi hidup ini ?” demikian tanyanya. Sang nenek tampak tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Nenek tidak merasa tegar kog nak, hidup nenek ya seperti ini, dan inilah yang nenek jalani”. “Tapi nek, nenek kan sudah renta dan miskin kenapa tidak cari pekerjaan yang mudah saja ?” demikian sela pengemis muda itu hati-hati. Nenek tua itu memandangi sang pengemis, dan sejurus kemudian, “Nenek tidak cukup miskin untuk menjadi pengemis……..”, sang pengemis muda tampak terkejut mendengar jawaban nenek itu, belum sempat ia berkomentar sang nenek melanjutkan“ buat nenek ‘miskin’itu
adalah ketiadaan semangat untuk melakukan sesuatu dan kemudian
memilih menengadahkan tangan pada orang lain”. Demikian ujar nenek itu tanpa beban. Pengemis muda itu tampak terdiam mendengar jawaban sang nenek penjual sapu lidi.
Hari ini saya belajar arti ‘miskin’ dari seorang nenek penjual sapu lidi. Meskipun dengan bahasa sederhana nenek ini mengerti bahwa kemiskinan sesungguhnya bukanlah dalam wujud kepapaan materi. Kemiskinan sesungguhnya adalah kemiskinan mental. Miskin menurut beliau adalah ketidakmauan berusaha, miskin menurut beliau adalah mengambil barang yang bukan haknya, miskin menurut beliau adalah ingin mendapatkan sesuatu dengan cara tidak wajar, dan miskin menurut beliau adalah ketidakpekaan hati terhadap orang yang membutuhkan pertolongan.
Nek…, beruntung nenek tidak punya TV dan radio. Kalau nenek punya dan tahu, pasti nenek akan risau melihat dan meyaksikan begitu banyaknya ‘orang miskin’ dinegri ini. Nek terimakasih atas pelajaran yang sangat berharga ini, doakan kami semua agar menjadi hamba-hamba Tuhan yang kaya dan bermental kaya. (Tribute to Nenek penjual sapu lidi di Banjarbaru)
Salam Berkualitas Menebar Manfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H