Kasimin ingin mendengus kesal mendengar tajam mulut tetangganya, sudah beberapa kali memang sepanjang ia tinggal bersama Marliang, wanita itu terlalu banyak bicara terhadapnya: menyoroti kehidupan rumah tangganya. Kasimin bisa saja mencak-mencak, agar wanita itu berhenti banyak tingkah, tapi selalu terbayang di telinga Kasimin bagaimana penegasan-penegasan Marliang kepadanya.
Kasimin tak punya pilihan selain memaksakan diri tersenyum, "Kami bahagia dengan kehidupan kami sekarang, ada dan tak punya anak bukan masalah." Diucapkan begitu mantap, membuat wanita itu bisu seketika.
Di tengah perjalanan sebelum tiba di kantor, ponselnya berdering. Matanya tetap awas ke jalan, memelankan kecepatan mobil tatkala membaca Ibu di layar monitor. Ia tak punya alasan untuk tidak segera menjawab. Kasimin selalu sadar, setiap ibu atau bapak atau keluarga yang lain menelpon pasti ada sesuatu hal penting disampaikan, jarang sekali sekadar basa-basi.
Dan benar saja, ibunya memberi tahu kalau akan ada pertemuan keluarga. Salah satu adik perempuannya bakal segera dipersunting kekasihnya. Dia meminta Kasimin untuk meluangkan waktu datang ke sana, ambil cuti kerja atau mengatur jadwal di akhir pekan. Kasimin tidak bisa mengambil keputusan yang tergesa-gesa, disampaikannya kepada ibunya bahwa harus lebih dulu membicarakan itu dengan istrinya.
Pembicaraan mereka berdua itu, sempat membikin Kasimin tidak enakan, tatkala ibunya bilang begini, "Ibu tidak melarangmu datang membawa istrimu, itu sesuatu yang baik.Â
Hanya saja Ibu mengkhawatirkan bagaimana kalau keluarga dari bapakmu, mengeluarkan kata-kata yang membuatmu kesal. Maksud Ibu, mereka mengomentari istrimu."
Seperti ada gemuru di dalam dada Kasimin setelah mendengar itu, ia ingin berhenti seketika, untuk mengatur suasana hatinya yang tiba-tiba kacau, namun posisi mobilnya tidak memungkin untuk melakukannya, sedang ramai kendaraan di kanan kiri.
"Halo! Kamu mendengar Ibu," suara di seberang sana keluar dari lubang ponsel,Â
"Kamu mendengar apa yang Ibu tadi bilang."
"Ibu boleh mengkhawatirkan begitu, tapi bagi saya bukanlah sesuatu yang pantas dicemaskan. Saya yakin tidak ada seorang pun yang berani mengucapkan kata-kata menyinggung perasaan."
Ketersinggungan Kasimin tidak selesai sampai di situ. Ada masalah lain yang timbul saat jeda makan siang di kantor. Ketika ia hendak meninggalkan mejanya, keluar mencari makan. Dicegat oleh salah seorang kawaannya. Mengabarkan undangan makan malam, besok, bersama beberapa rekan kerja lainnya. Setiap tamu yang datang wajib membawa pasangan. Diucapkan rekannya itu penuh semangat, baginya itu adalah sebuah kabar yang akan disambut dengan kegembiraan oleh Kasimin. Tapi reaksi Kasimin biasa-biasa saja.