Sebelum malam Kasimin pulang dengan wajah kusam tampak lelah sekali, hal yang pertama kali ditanyakan Marliang terhadap suaminya: adakah suara-suara busuk kembali masuk ke dalam telinga melukai perasaan?
"Saya ingin sekali marah, lama-lama saya tidak akan bisa bersabar lagi. Lalu saya ladeni mereka, saya akan mencakar-cakar wajah mereka dengan mulut saya," tutur Kasimin.
"Sudah saya bilang kaum lebih baik diam. Itu yang sebaiknya kamu lakukan."
"Kesabaran manusia ada batasnya," Kasimin meraih gelas berisi air putih di tangan Marliang, sekali meneguk.
"Jangan bilang kesadaranmu kian mendekati batasnya?"
"Saya merasakannya memang begitu."
Di atas sofa, Marliang menggeser duduknya semakin mendekati Kasimin, lantas merangkul kepala Kasimin dirapatkan ke dalam dadanya. Marliang terdengar seperti berbisik, "Kita boleh mendengarkan apa yang tidak baik, tapi tetaplah menjadi kain basah terhadap api menyala."
Hari yang panjang bagi Kasimin, dimulai saat ia meninggalkan rumah untuk bekerja, roda mobilnya baru beberapa putaran meninggalkan halaman depan tiba-tiba berhenti di depan pagar tetangga. Wanita paruh baya bertubuh tambun menghampiri Kasimin dengan jendela mobil telah terbuka.
"Enak betul hidupmu sekarang, tak perlu usaha keras langsung dapat mobil sebagus ini."
Kasimin tidak senang dengan ucapan tetangganya tersebut, tapi sekalipun Kasimin begitu, ia sebisa mungkin mencoba menunjukkan penampakan wajah yang ramah, senyum tetap dipertahankan. Kemudian mencoba menimpali, "Begitulah, Bu, jika beristrikan peremuan seperti Marliang. Saya beruntung sekali ditakdirkan menjadi pendampingnya."
"Eh," wanita itu memulai lagi, "Bagaimana kalau misalnya Marliang tidak bisa hamil? Apakah kamu akan menceraikannya dan menikah dengan wanita lain, katakanlah wanita yang lebih muda?"