"Andai besok tanggal pernikahan itu, aku masih belum bisa percaya. Bahkan setelah ijab kabul pun aku tidak mau percaya. Aku hanyalah satu dari sekian perempuan yang menjadi korban  betapa ambisiusnya orang tua, yang berlagak jadi Tuhan untuk anaknya."
"Apa maksudmu?"
"Aku kira sudah cukup jelas. Seorang anak terlahir ke dunia tidak selamanya harus patuh dan tunduk pada telunjuk orang tua yang sudah keterlaluan. Tuhan menyiapkan sendiri jalan untuk anak tempuh. Dan orang tua tidak selayaknya memaksakan anaknya melewati jalan yang mereka mau."
"Aku mengerti. Kuharap kau bisa menerima lapang dada kenyataan hidup yang terjadi padamu. Asal kau ketahui, aku menjanjikan kebahagian padamu setelah kita menikah nanti."
"Semua suami memang berupaya untuk membahagiakan istrinya."
"Ada suami yang menzalimi istrinya."
"Ya, karena ada roh jahat bersemayam dalam dirinya."
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi pada diriku."
Suasan lengang.
"Untuk sementara waktu aku perlu sendiri. Pikiranku benar-benar kacau. Kumohon jangan menampakkan diri dulu di hadapanku."
"Aku mengerti. Kuharap sekembaliku nanti kau bisa menerima kehadiranku. Memang aku harus tidak mengganggumu dulu."Â
Untuk kali pertama tunangannya meremas jarijarinya. Dia hanya diam saja. Namun tidak, saat tunangannya ingin menyentuh terlalu jauh. Sekalipun keduanya telah bertunangan. Dia tidak sudi keningnya dikecup oleh bibir laki-laki pilihan orang tuanya itu.
Niat sang tunangan mendapatinya dalam keadaan yang lebih baik hanyalah harapan semu belaka. Sang tunangan lesuh meratapi kenyataan yang terjadi pada dirinya. Bunga mekar yang siap dipetik, lenyap di pelupuk mata.
/4/
Aku tidak tahu, sampai kapan suamiku termenung di tempatnya mencumbui ideidenya. Sudah satu jam berlalu, belum nampak tanda-tanda menyudahi semuanya. Baru kali ini dia seperti itu. Malam-malam sebelumnya tidak pernah sampai satu jam. Istri yang baik tentunya akan selalu berpikir positif pada suaminya.