Waktu aku kecil, duduk di kelas dua
Sepatuku bolong meraung-meraung di usia tua
Warna hitamnya mulai pudar
Sudah lama tersengat cahaya matahari,Â
debu-debu nakal bertebaran, dan lumpur di jalan tak beraspal
Sesekali ia bercium mesra  tahi kucing ditimbun pasir
Dan berpeluk erat tahi anjing di tengah-tengah rerumputan
Kadang juga ia meringis habis di tindis paku karatan.
Bapak belum punya uang
Sepatuku makin kritis minta dibuang
Aku tak punya sepatu lain
Kalu dibuang aku berkaki ayam
Malu aku bergaul sama kawan-kawan
Sepatunya baru-baru  nan menawan
Saat upacara di senin pagi bikin jengkel
Sepatuku minder bersanding sepatu  kinclongÂ
Saat lomba lari  aku melepasnya
Takut sobeknya parah jika dipaksa
Benang-benangnya sudah cabik
Paling aku malu saat tampil membaca puisi
Bukan aku yang diperhatikan
Sepatuku selalu mencuri perhatian
Tiba waktunya keluar main
Kubertemu dengan anak lain
Kupandangi sepatunya yang lain-lain
Sepatunya lain daripada yang lain
Sobeknya parah, bolongnya lain-lain
Sepatuku tampak angkuh bersamanya
Mulanya aku  merasa sepatuku, sepatu jelek sedunia
Ternyata sepatunya yang lebih jelek
Rupanya lain tak berbentuk sepatu lagi
Esoknya yang empunya sudah mati
Di kolong jembatan ia bunuh diri
Sebab bapaknya tak mampu lagi,
beli sepatu harganya makin tinggi