Mohon tunggu...
Novia Fadhilla Sari
Novia Fadhilla Sari Mohon Tunggu... -

seorang manusia yang ingin bahagia dunia dan akhirat, membanggakan orang tua dan bermanfaat bagi sesama

Selanjutnya

Tutup

Nature

Politik REDD+ di Media” Dikutip dari penelitian CIFOR– Centre for International Forestry Research

2 Juni 2013   17:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:38 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

REDD- Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation merupakan salah satuinisiatif dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), memiliki ide yang sederhana tetapi cukup rumit dalam pelaksanaannya. Meski demikian jika mampu diimplementasikan REDD dinilai efektif dan efisien dari segi waktu dan biaya dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Dengan ide dasar menghargai hak individu, kelompok dan Negara yang mampu mengurangi emisi GRK dan dalam waktu yang bersamaan diharapkan mampu mengurangi kemiskinan dan memungkikan adanya keberlanjutan. Sayangnya REDD belum dimasukkan dalam kerangka kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC- United Nation Framework Convention ON Climate Change) atau Protokol Kyoto.

Perkembangan perbincangan REDD+ menunjukkan perluasan ruang ligkup secara bertahap: dari RED (pencegahan deforestasi) saat Konferensi Para Pihak UNFCCC ke- 11 (COP 11) di Montreal, Kanada hingga REDD+ yang mencakup pencegahan degradasi hutan, yang disahkan pada COP 13 di Bali, Indonesia. Hingga REDD+, yang mencakup konservasi hutan, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan penghutanan kembali pertamakali diusulkan pada awal tahun 2009. Kepedulian terhadap REDD+ diantara Negara berkembang mencakup kemungkinan dampak negative terhadap pertumbuhan ekonomi dan hilangnya kedaulatan nasional, sedangkan kepedulian Negara maju mencakup isu kebocoran, keberlanjutan, nilai tambah, dan akibat ekonomi apabila memasukkan REDD+ ke dalam mekanisme seperti pasar karbon Internasional. Di tingkat nasional, tantangan umumnya meliputi “memasitikan komitmen pejabat tinggi pemerintah, mencapai koordinasi yang kuat di dalam pemerintahan dan diantara pihak pemerintah dan non- pemerintah, merancang mekanisme untuk memastikan pertisipasi dan bagi hasil dan menetapkan system pemantauan, pelaporan dan verifikasi (MRV) (Peskett dan Brochaus 2009, hlm. 25).

Indonesia, Negara dengan luas hutan terbesar ketiga dunia ternyata juga merupakan Negara terbesar ketiga pelepas karbon. Lebih dari 80% emisi carbon Indonesia berasal dari perubahan tata guna lahan- terutama deforestasi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Deforestasi dan Degradasi (DD) menyumbang sekitar 20% dari total emisi karbon dunia. Hal inilah yang menjadikan posisi tawar Indonesia tinggi, peran Indonesia menjadi penting dalam upaya mitigasi iklim, hutan Indonesia tidak hanya berdampak dalam lingkup nasional tetapi juga internasional.

Pada papernya yang berjudul “Politik REDD+ di Media” CIFOR (Centre for International Forestry Research) menggunakan analisis media untuk meneliti bagaimana perbincangan tentang kebijakan REDD+ disajikan kepada masyarakat Indonesia. Dengan mengkaji bagaimana media menggambarkan proses kebijakan dan bagaimana berbagai pihak mewakili kepentingan mereka untuk menguatkan kondisi politik dan mempengaruhi pendapat umum, kita dapat mengenali beberapa tantangan utama dalam ranah kebijakan. CIFOR berusaha menelaah muatan laporan media nasional sejak konsep REDD+ pertamakali diajukan pada tahun 2005, dan menambah kedalaman dan perspektif terhadap pengkodean data yan dilakukan melalui wawancara dengan para jurnalis yang meliput REDD+.

Dalam analisis pengkodean yang dilakukan oleh CIFOR, pengkodean tingkat 1 dan 2 menunjukkan bahwa REDD ataupun perubaan iklim tidak banyak dilaporkan di Indonesia sebelum 2007, tetapi mendapat perhatian besar media ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Para Pihak UNFCCC ke- 13 (COP 13) di Bali, Indonesia, kemudian pada tahun 2008 terjadi pergeseran skala ke tingkat nasional (peristiwa- peristiwa dalam negeri). Selain itu, lebih dari separuh artikel berita tentang REDD memusatkan pada persoalan politik dan penentuan kebijakan, jarang yang kepedulian utamanya pada ilmu pengetahuan. Hal ini membuat kemampuan media untuk menyaring laporan yang rumit dan seringkali subyektif, menjadi komentar yang objektif dan factual tentang persoalan tersebut. Sedangkan pengkodean tingkat 3 mengungkapkan bahwa pelaku pemerintah dan birokrat tingkat nasional sejauh ini memiliki suaran dominan dalam laporan REDD, berjumlah hampir separuh dari semua orang yang dikutip, dengan kementrian kehutanan dan Lingkungan Hidup secara jelas menjadi sumber utama informasi bagi wartawan. Walaupun birokrat tingkat nasional sangat optimis dalam dalam penilaian REDD pada masa mendatang, penilaian ini tidak seiring dengan phak lain di tingkat daerah atau lintas sector terkait. Demikian juga, suara LSM tidak seragam ataupun konsisten.

Hasil analisis pada liputan media tentang REDD+ di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan tersebut telah berhasil mendapat perhatian dari masyarakat luas dari berbagai kalangan. Akan tetapi, pendapat tampaknya mengerucut dan sebagian pendapat terdengar lebih keras dari yang lain. Secara keseluruhan, pemangku kepentingan utama tampak lebih peduli dengan pemilih mereka sendiri (konstituennya) dibanding dengan pihak luar, yang akan berakibat pada keterlibatan Indonesia dalam perjanjian- perjanjian multilateral dan bilateral. Tanpa memerhatikan insentif keuangan atau tekanan politik dari luar, jika reformasi tertentu tidak popular secara politis di dalam negeri, hal ini tidak mungkin berhasil.

Reference : Cronin, T. dan Santoso, L. 2011. Politik REDD+ di media: studi kasus dari Indonesia.Working Paper 54. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun