[caption id="attachment_353327" align="aligncenter" width="300" caption="Bustan Basir Maras (foto: dok.Bustan Basir Maras)"][/caption]
Di sebuah jazirah, suatu hari:
Kenanganku yang ramping memanjat tebing karang
Yang bergelayut ke tengah, bergelayut
Pada jenggot pohonan dan sayap elang
Meluncur dan memecahkan diri di udara
Seperti hamburan belerang
(Paesaggio, Acep Zamzam Noor)
———-
Kritikus sastra Indonesia, H.B, Jassin pernah menyampaikan kerinduannya pada karya sastra Indnesia:
“ Bagi para pengarang sungguh masih banyak daerah yang belum dijelajah. Untuk menyebutkan beberapa contoh: kehidupan penyelam mutiara di sebelah timur kepulauan kita, kehidupan di tambang-tambang minyak tanah dan batubara, kehidupan suku bangsa yang terpencil jauh di pedalaman seperti pegunungan Kalimantan, kehidupan para nelayan mencari nafkah di tengah laut, alam dunia juru terbang yang kini mengarungi udara kita. Kita tidak kehabisan bahan dan persoalan.” Demikian seperti dikutip A.A Navis dalam majalah sastra dan budaya Horison Edisi Januari 1994, halaman 9.
Barangkali secara tak langsung, terbitnya buku kumpulan cerpen Ziarah Mandar karya Bustan Basir Maras menjawab kerinduan almarhum H.B.Jassin. Memuat 16 cerpen, 5 di antaranya mengambil Mandar sebagai latar belakang cerita, masing-masing: Paqlao, Perahu-perahu Berlayar ke Barat, Ziarah Mandar, Damarcinna, dan Tammalanre.
Bertempat di Omah Pring, Dusun Mojokuripan RT 1 RW 03 Desa Jogoloyo Kecamatan Sumobito Kabupaten Jombang, buku kumpulan cerpen tersebut didiskusikan, Rabu, 14 Juli 2010 pukul 1 siang. Komunitas Lembah Pring dan Goeboek Indonesia bekerjasama menghadirkan narasumber Cak Nasrul Ilahi, Abdul Malik dan Gita Pratama.
Berbeda dengan bahasa di brosur wisata yang seringkali membosankan ataupun promosi Lonely Planet yang singkat dan padat, Ziarah Mandar merupakan pengalaman pengembaraan, pergulatan menghadap kerasnya kehidupan dan catatan-catatan kritis Bustan Basir Maras terhadap kekayaan alam Mandar yang makin tergerus kapitalisme asing—ditulis dengan bahasa dan alur sederhana.
Dalam cerpen Paqlao sang tokoh mengakui bahwa ia tak sepenuhnya berhasil menghadapi kerasnya kehidupan:
Itulah sebabnya, setelah ribuan kilo jarak perantauan yang ia tempuh, kini ia memilih pulang ke kampung halamannya. Ia memilih pulang ke pangkuan ibunya. Pulang ke tanah tumpah darahnya, tanah Mandar, berkumpul dengan sanak saudaranya, agar ia tak dianggap telah mati. Dengan harapan semoga disana esok bisa dianyam dengan wajah tengadah! Harap-pinta dan doanya dalam hati. (hal. 12)
[caption id="attachment_353328" align="aligncenter" width="300" caption="Ziarah Mandar, kumpulan cerpen karya Bustan Basir Maras (foto: dok.Bustan Basir Maras)"]