[caption id="attachment_350370" align="aligncenter" width="300" caption="Pentas Teater Antropologi Kapal Terbang Dari Bantal. (foto: Abdul Malik)"][/caption]
AFRIZAL MALNA hadir lagi malam itu di pendopo Taman Budaya Jawa Timur di Jl. Gentengkali 85 Surabaya. Bukan secara fisik. Afrizal tidak sedang di Indonesia malam itu. Afrizal hadir lewat teks pertunjukan Kapal Terbang Dari Bantal yang ditulisnya untuk Anwari (22) salah satu sahabatnya dari Sumenep. Malam itu, Anwari bersama kawan-kawannya memainkan teks tersebut dalam sebuah pentas teater antropologi. (9/6/2014)
Sejak kapankah Anwari mengenal Afrizal Malna? Anwari bertemu dan kenal dengan Afrizal Malna tahun 2011 di Festival Monolog Ruang Publik di Jakarta. Dalam even yang diselenggarakan oleh Federasi Teater Indonesia tersebut, Anwari terpilih sebagai Penyaji Terbaik. Salah satu juri adalah Afrizal Malna. Hubungan baik tersebut terus berlanjut, apalagi Anwari cukup sering terlibat dalam pentas teater di Jakarta. Tahun 2012 Anwari terpilih sebagai Penyaji Terbaik di Festival Dramakala dihelat oleh London School of Public Relations. Tahun 2013 Afrizal Malna mengajak Anwari untuk terlibat dalam pentas seni instalasinya di Taman Ismail Marzuki, sebagai salah satu rangkaian Festival Teater Jakarta. Saat itu, Anwari berkolaborasi dengan Hendra Setiawan, Teater Kubur, Jakarta. Setelah pentas seni instalasi, Anwari meminta naskah ke Afrizal Malna, yang cocok dengan tipologinya. Dan, Afrizal Malna menyerahkan naskah Kapal Terbang Dari Bantal yang ditulisnya di Solo sepuluh tahun lalu.
Begitulah, malam itu pendopo Taman Budaya Jawa Timur berubah menjadi kolam. Di bagian tengah pendopo, ada kolam air seluas 2 kali 4 meter. Di bagian kiri belakang ada akuarium dengan ikan-ikan yang bergerak. Dibelakang pendopo, Anwari (sebagai Gindus) duduk termenung di lantai memegang palu besar, sementara Triluky Novita Sarari (sebagai Wajah Dibalik Akuarium) berlari dengan cepat dari belakang pendopo, menuruni beberapa anak tangga menuju kolam air, berbalik lagi ke arah belakang, beberapa kali. Lilik Sumarni (sebagai Wajah Dibalik Bantal) berjalan tenang membawa dua pelampung dari belakang pendopo menuju kolam air. Sesaat kemudian, ketiganya masuk ke kolam air. Inilah adegan pembuka pentas teater antropologi Kapal Terbang Dari Bantal. Akting Anwari nampak dominan dibanding dua pemain lainnya. Barangkali sosok Anwari memang handal sebagai aktor monolog, atau memang Kapal Terbang Dari Bantal ditulis Afrizal Malna sebagai teks monolog.
Anwari berdiri di belakang akuarium. Mengangkat dan memeluknya. Membopong akuarium ke kolam bagian kanan. Apa aku mesti pakai kapal terbang untuk sampai di sini? Pakai pasport juga? Travel chek? Kartu kridit? Mesti pakai oksigen? Aku kan orang Solo. Orang Amerika takut datang ke Solo. Hanya mertuaku yang berani.Tapi dia kan orang Jerman. Orang Jerman kataku, bukan Yahudi. Eh, eh, kenapa sejarah jadi menakutkan begitu. Saya kan hanya orang Jawa. Awas! Awas! Awas! Piye sih? Tak ada siapa-siapa di sini.
Anwari awalnya diplot sebagai sutradara, namun beberapa hari menjelang pentas, Kun Baehaqik Almas pemeran Gindus mengalami kecelakaan dan tidak memungkinkan bermain teater. Anwari mengambil keputusan untuk menggantikan peran Gindus malam itu. Blessing in disguise. Dengan berperan sebagai Gindus, Anwari memiliki ruang yang lebih leluasa untuk memberi tafsir ulang pada naskah karya Afrizal Malna, seraya memasukkan realitas hidup kesehariannya. Dalam perbincangan sebelum pentas dan dalam diskusi seusai pentas, Anwari mengatakan bahwa apa yang diusung di panggung adalah pengalaman empiris yang dilakoninya dalam kehidupan sehari-hari juga realitas kehidupan masyarakat yang dilihatnya di Dusun Beloar Desa Nyapar Kecamatan Dasuk Kabupaten Sumenep, Madura.
Anwari menghadirkan tata panggung minimalis. Properti sederhana. Benda-benda yang membawa ingatannya pada kampung halamannya. Dengan menghadirkan kolam air, Anwari ingin menyodorkan informasi kepada penonton bahwa dalam kehidupan sehari-harinya di Dusun Beloar, air adalah suatu keajaiban. Air menjadi sesuatu yang sangat berharga dan langka. Pasokan air sepenuhnya tergantung pada air hujan. Sebegitu berharganya air bahkan untuk mandi pun cukup dua ciduk. Pasokan air hujan yang turun di dusunnya ditampung hingga air hujan turun lagi. Boleh jadi tempat penampungan air hujan sudah melumut ketika hujan turun di bulan-bulan berikutnya.
Palu besar merepresentasikan pada alat pemecah batu. Saat masih menjadi siswa sekolah dasar hingga kelas tiga madrasah tsanawiyah, Anwari bekerja sebagai pemecah batu.Selepas sekolah, berganti baju, berjalan ke bukit sejauh sepuluh kilometer dan memecah batu untuk penghidupan sehari-hari. Dari jam dua belas siang hingga jam lima sore. Kehidupan yang keras, menempanya menjadi pribadi yang tangguh.
Akuarium dan ikan-ikan kecil di kiri belakang kolam merepresentasikan pada alam pedesaan, sungai dengan ikan-ikan didalamnya.
Saya tertarik dengan pencantuman teater antropologi dalam publikasi pentas. Anwari menjelaskan perihal teater antropologi. Menurut Anwari, teater antropologi adalah bagaimana memahami tentang manusia yang dibentuk oleh historis dan geografis hingga memiliki tipologinya sendiri. Teater tidak lepas dari pencarian manusia terhadap kesadaran akan hubungan manusia, yaitu penyadaran dalam teater, baik penonton maupun pemainnya sendiri.
Untuk melengkapi telaah tentang teater antropologi, Anwari meminta bantuan sahabatnya menerjemahkan buku karya Eugenio Barba, The Paper Canoe, A Guide to Theatre Antropology (1995). Eugenio Barba (78) dikenal sebagai penggagas teater antropologi. Barba mendirikan Odin Teatret (1964), kemudian International School of Theatre Antropology (ISTA, 1979) di Denmark.
Merujuk pada metode latihan teater antropologi yang diusungnya, Anwari berusaha keras menempa para aktor memasuki biografi hidupnya. Proses latihan pun dimulai sejak November 2013 hingga Mei 2014. Tempat latihan berpindah-pindah, di Sumenep, dan beberapa tempat di Surabaya: pendopo kampus Universitas Negeri Surabaya di Lidah Wetan, di Taman Budaya Jawa Timur dan Balai Pemuda.
Triluky Novita Sarari (pemeran Wajah Dibalik Akuarium) menuturkan pengalamannya saat berlatih di Dusun Beloar Desa Nyapar Kecamatan Dasuk Kabupaten Sumenep. Berada di dalam kandang sapi dan membersihkan kotoran sapi. “Saya sampai menangis saat memecah batu di bukit dari siang hingga sore hari setelah berjalan sepuluh kilometer dari rumah Anwari” katanya. Mereka menyadari bahwa kehidupan yang dialami sutradara dulu semacam itu. Pencapaian latihan ini membangun ruang kehidupan sutradara dalam diri pemain.Begitulah proses latihan Anwari dan kawan-kawan.
Sekitar 150 penonton memiliki interpretasi masing-masing pada pertunjukan Kapal Terbang Dari Bantal. Sebagian duduk di kursi, disamping kiri dan kanan kolam air. Yang lain duduk lesehan di pendopo. Banyak juga yang berdiri di luar pendopo. Berbeda dengan pentas Teater Payung Hitam “Demi Orang-orang Rangkasbitung” di tempat yang sama empat tahun lalu, seluruh sisi luar pendopo ditutup kain hitam sehingga mereka yang akan menonton harus masuk ruang pendopo. Saat menonton Kapal Terbang Dari Bantal, penonton yang berada di luar pendopo bisa menonton dengan rileks. Bahkan dengan makan nasi goreng atau minum kopi, yang bisa dipesan dari rombong penjual nasi goreng yang berjarak beberapa meter dari pendopo. Ada juga yang memotret adegan-adegan pentas lewat kamera handphone lalu meng-upload nya lewat facebook, twitter, whatsapp, bb. Ini memang jaman gadget.Tak apa.
Seusai pentas yang berdurasi satu jam, diadakanlah diskusi. Sejumlah lima puluh orang mengikuti forum diskusi. Dua puluh lima diantaranya duduk di kursi dalam kolam air. Peserta diskusi mencelupkan kakinya pada kolam air dengan ikan-ikan yang bersliweran. Diskusi menghadirkan Autar Abdillah, dosen Sendratasik Unesa sebagai narasumber. Peserta diskusi berasal dari Jombang, Lamongan, Mojokerto, Pamekasan, Sumenep dan Surabaya. Diskusi berjalan dengan hangat terutama tentang teater antropologi.
“Teater antropologi memposisikan penonton teater sebagai subyek bukan obyek. Teater bukan lagi sebagai tuntunan. Dalam pertunjukan tidak menyalahkan siapa-siapa, tidak membunuh siapa-siapa.Teater antropologi merupakan sebuah metode dan gagasan tentang praungkap seseorang dengan menyiapkan energi lebih dulu untuk kemudian dirumahkan,” demikian penjelasan dari Autar Abdillah.
Salah satu penonton yang intens mengikuti pentas hingga diskusi usai, Dedy ‘Obenk’ Supriyadi, dari Teater Api Indonesia berpendapat, “Saat menonton pertunjukkan Anwari saya belum melihat peleburan konvensi antara tubuh dan ruang menjadi tubuh dipenuhi oleh energi. Yang mewujudkan reaksi-reaksi tubuh, pikiran dan batin para aktornya, apalagi Anwari memakai genre teater antropologi. Mengkaji wilayah investigasi baru yang tidak terkait dengan paradigma antropologi budaya teater dan bukan kajian tentang teater sebagai fenomena pertunjukkan yang sering dilakukan oleh teater realis (naratif). Disini Anwari terjebak dengan sebatas gerak dan belum menemukan kodifikasi gerak yang secara tradisi pernah menjadi miliknya. Bahkan aktor akan mengenal kembali tradisi pengkodifikasian yang selama ini telah menghilang. Estetika Anwari menghadirkan kolam, akuarium, pelampung, godam (palu) hanya diperlakukan sebagai verbal (pelengkap ) dan tidak dieksplorasi secara maksimal sehingga tidak menjadikan idiom yang kuat atau banyak nuansa-nuansanya yang tidak muncul. Sehingga ketika ngomong teater berperan penting dalam menafsir ulang secara kritis makna kebudayaan, termasuk berefleksi atas keseharian.”
Pentas teater antropologi Kapal Terbang Dari Bantal adalah salah satu dari 12 peraih program Hibah Seni dari Yayasan Kelola, Jakarta tahun 2014. Anwari mendapatkan sokongan dana dari First Investment Indonesia dan Hivos untuk Kategori Karya Inovatif sebesar dua puluh lima juta rupiah. Satu hal yang patut dipuji dari Yayasan Kelola adalah selalu mengirim penulis pemantau untuk setiap pentas yang mendapat dukungan dana dari Yayasan Kelola. Liputan dari pemantau akan disandingkan dengan laporan dari masing-masing seniman/sanggar seni. Saya bersyukur terpilih sebagai penulis pemantau untuk Yayasan Kelola sebanyak dua kali.
Lewat pentas Kapal Terbang Dari Bantal, Anwari telah menggulirkan kembali gagasan teater antropologi-nya Eugenio Barba. Sebuah usaha yang patut diapresiasi dari Anwari, Aktor Terbaik di perhelatan Festival Teater Internasional 2013 di Maroko, dan bersiap tampil di Festival Teater di Perancis, September 2014. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H