Oleh Abdul Malik
Sejarah tidaklah tunggal.Setiap individu, setiap orang memiliki sejarahnya sendiri, setiap keluarga memiliki sejarah sendiri.Penulisan sejarah besar di Indonesia diciptakan penguasa dengan meminggirkan sejarah kecil yang bertentangan. Upaya menghadirkan sejarah kecil berbeda di ruang politik kerap dilibas oleh sang penguasa, bahkan ketika sejarah kecil itu belum utuh tersampaikan. Demikian pendapat FX Harsono (65), perupa, di harian Kompas, Minggu (2/11/2014)
Sejak Januari tahun ini, saya menetap di Desa Kebonagung, di pastori GKI Kebonagung Jl. Magersari Utara 31, mendampingi istri terkasih Pdt Novarita, M.Min melayani jemaat GKI Kebonagung. Udara sejuk di pagi hari masuk lewat empat pintu pastori. Di sebelah kanan pastori, terhampar sawah. Juga di belakang pastori. Setiap jam tujuh pagi, kecuali hari minggu dan hari libur, musik senam kesegaran jasmani mengalun dari SDN Kebonagung 01 yang terletak di belakang pastori. Di malam hari, burung gagak dan burung hantu nanggkring diatas rumah di depan pastori. Suara mereka membuat senyap makin bermakna. Truk-truk pengangkut tebu berjajar rapi di lapangan Magersari menunggu giliran masuk ke pabrik gula Kebonagung. Air di pastori sungguh segar. “Kalau sudah minum air Kebonagung, rasanya sulit untuk pindah dariKebonagung,” salah seorang pernah bercerita. Barangkali ini semacam hikajat, legenda atau folklore yang berkembang di masyarakat Kebonagung. Dari sejumput kisah ini, saya melanjutkan pada penelusuran lebih mendalam. Saya memulai dengan mencari sesepuh masyarakat Desa Kebonagung yang memiliki jumlah penduduk hampir tujuh belas ribu jiwa tersebut. Satu nama terdeteksi: Pak Sukri. Ihwal nama tersebut muncul dari Asa Wahyu Setyawan Muchtar, Ketua I Eklesia Prodaksen, sebuah lembaga industri kreatif berbasis di Kebonagung. “Pak Sukri acapkali berkisah tentang sejarah Desa Kebonagung”, kata Pak Wawan, panggilan akrabnya. Lewat Pak Suwaji dan Pak Teguh Santosa (Kepala Desa Kebonagung saat ini ) saya bertemu Pak Sukri.
[caption id="attachment_408941" align="aligncenter" width="300" caption="Pak Sukri, sesepuh Desa Kebonagung (dok. Abdul Malik)"][/caption]
Memasuki Lorong Waktu
Saya ditemani istri bertemu dengan Pak Sukri di rumah beliau di Jl.Diponegro RT 44 RW 08 No.47 Dusun Sonosari DesaKebonagung. Pak Sukri sosok yang ramah dan memiliki selera humor yang menarik.
“Desa Kebonagung dibuka oleh prajurit Singosari yang tidak mau kembali ke Singosari. Mereka jenuh karena Singosari selalu berperang dengan Kerajaan Kediri dalam waktu yang berkepanjangan”, demikian Pak Sukri membuka Hikajat Kebonagung. Prajurit Singosari tercatat bernama Mbah Mogal, Mbah Gumuk (Mbah Proboretno,perempuan), Mbah Singomoyo, Mbah Sapari (perempuan), Mbah Truno, Mbah Zakaria, Mbah Mangun dan Mbah Tjokroyudo.
[caption id="attachment_408987" align="aligncenter" width="300" caption="Punden Mbah Gumuk di Dusun Sememek Desa Kebonagung. (dok.Abdul Malik)"]
Menurut penuturan Pak Sukri, mereka berdelapan adalah cikal bakal Desa Kebonagung saat ini. Merekalah yang membabat hutan di Kebonagung tahun 1328, pada Senin legi.
“Membabat alas Desa Kebonagung yang pertama adalah DesaKebonagung di bulan Selo hari Senin legi. Yang tinggal disana Mbah Gumuk dan Mbah Mogal. Saksi pembukaan hutanKebonagung adalah ringin kembar di halaman Pabrik GulaKebonagung,” kata Pak Sukri. Saat ini pohon beringin di PGKebonagung tinggal satu.
[caption id="attachment_408988" align="aligncenter" width="300" caption="Punden Mbah Singomoyo di Dusun Sonosari Desa Kebonagung. (dok.Abdul Malik)"]
Setelah satu bulan beristirahat, kedelapan prajurit Singosari melanjutkan pembukaan hutan ke arah selatan. Itulah Dusun Sonosari, yang dulunya merupakan hutan pohon sono, kata sari merujuk pada Singosari.Mbah Singomoyo dan Mbah Sapari ditunjuk sebagai pimpinan pembukaan Dusun Sonosari pada hari Senin legi bulan Selo. Perjalanan membuka hutan bergeser ke selatan. Dusun Karangsono dibuka pada Senin Legi bulan Maulud. Mbah Truno dan Mbah Zakaria ditunjuk sebagai pimpinan. Kali ini perjalanan bergeser ke timur. Hutan sono yang letaknya di tengah menjadi Dusun Sonotengah. Dibuka pada Senin legi Jumadil akhir dibawah pimpinan Mbah Mangun dan Mbah Tjokroyudo. Kedelapan prajurit pun bergeser ke utara. Mereka beristirahat setelah lelah membuka hutan. Mereka leyeh-leyeh di suatu tempat. Disana mereka saling memijat (mek mek) melepas kepenatan. Itulah ihwal nama Dusun Sememek yang awalnya merupakan baran (tempat peristirahatan).
Itulah kebersamaan para sesepuh untuk mendirikan DesaKebonagung. Dan hari ini, Desa Kebonagung memiliki enam dusun: Krajan Barat, Krajan Timur, Sonosari, Karangsono, Sonotengah, Sememek.
Kisah disebalik Punden
Bagaimana wajah kedelapan prajurit Singosari yang mbabat alas Desa Kebonagung. Apakah mereka seperti sosok Wali Songo? Atau Seven Samurai-nya Akira Kurosawa?
Tak ada yang menyimpan guratan wajah mereka. Pak Sukri juga tak memiliki dokumentasi foto kedelapan prajurit Singosari.
“Menurut beberapa orang yang pernah melekan di punden, sosok Mbah Singomoyo dan Mbah Sapari orangnya tinggi besar pakai udeng,” kata Pak Sukri. Rata-rata yang pernah nyadran disitu dapat keris, dll. Mereka percaya bahwa Mbah Singomoyo mukso, bukan meninggal. Dan hanya orang yang jiwanya bersih yang akan mendapatkan penampakan sosok Mbah Singomoyo. Demikian Pak Sukri menambahkan info.
[caption id="attachment_408990" align="aligncenter" width="300" caption="Papan penanda ke arah Kebonagung dari pertigaan Wagir (dok.Abdul Malik)"]
Sekitar tahun 50 hingga 60-an, kakak Pak Sukri bernama Hariyono Warjan, pernah melekan di punden Mbah Singomoyo, sebelum tugas gerilya memberantas pemberontakan Permesta. Alhasil, kakak Pak Sukri pulang dengan selamat. Begitulah kisah-kisah bertumbuh dari sebuah punden Mbah Singomoyo. Dari arah pertigaan Kacuk ke arah selatan menuju Pabrik Gula Kebonagung. Di pertigaan sebelum pabrik gula, belok kanan menuju arah Wagir. Sebelum jembatan beberapa meter dari pertigaan, ada jalan kecil disamping jembatan. Arah kiri mengikuti jalan setapak kita akan bertemu punden Mbah Singomoyo di sebelah kiri. Dekat penjual nisan. Di punden ini ada yang melakoni nyadran. Melekan 3 malam atau 7 malam.
Lebih Dekat Dengan Pak Sukri
“Bapak saya Notosaid lahir di Dusun Sonosari, rumah saya nomor 3 dari leces (pabrik gula). Saya lahir 29 Mei 1947. Ibu saya bernama Tarijah. Saya anak ke-6 dari 8 bersaudara,” Pak Sukri mengudar biografi diri dengan runut. Bapak Notosaid berpulang tahun 1954 dan Ibu Tarijah wafat tahun 1985.
Mbah buyut perempuan Pak Sukri bernama Bu Laimah (ibu dari bu Tarijah) tinggal di Dusun Temu. Beliau meninggal tahun 1951 saat Pak Sukri masih kelas 3 Sekolah Rakyat. Mbah buyut laki-laki bernama Pak Tasmin, berasal dari Singosari. Beliau wafat tahun 1954 saat Pak Sukri kelas 5 Sekolah Rakyat di Karangsono (sekarang SDN Kebonagung 2). Setelah lulus, Pak Sukri melanjutkan pendidikan di SMEP di Jl.Arjuno (sekarang SMPN 8), SMEA Arjuno Jl. Bengawan Solo (tahun 1961-1962 namun tidak tamat).
Pak Sukri mengenang masa-masa indah saat bersekolah.”Saya berangkat sekolah ke SMEP, naik naik lori jam setengah enam pagi. Turun di Pulosari. Jalan ke timur ke Jl. Bromo. Kalau kesiangan nunut jemputan tentara dari pertigaan Kacuk turun di Talun.” Teman seangkatan Pak Sukri : Pak Laipun, Pak Jatmiko, Pak Dari, Pak Hasan Idul Fitri (toko emas Bulan Purnama).
Terlahir dengan nama Sukri. Setelah ibadah haji tahun 1984, menjadi Mochamad Sukri Utomo. Menikah dengan Sutiami ( Hajjah Rizkikah). Memiliki 4 putra putri: Teguh Santosa, Subektii Adi Triono, Beni Irwanto, dan Santi Sri Rahajeng. Setelah Ibu Sutiami berpulang, Pak Sukri menikah dengan Ibu Maisaroh.
Pak Sukri pernah menjadi Kepala Desa Kebonagung tahun 1989-1998. Saat itu jabatan kepala desa satu periode 8 tahun. Sejak 2013, putra pertama Pak Sukri yakni Pak Teguh Santosa menjadi Kepala Desa Kebonagung. Kisah bapak-anak menjadi Kepala DesaKebonagung sebelumnya pernah dilakukan oleh Pak Karyorejo, Lurah Desa Kebonagung sebelum 1945 hingga 1954. Putra pak Karyorejo bernama Sukaim Karyo Utomo menjadi Lurah DesaKebonagung (1991), dan Agus Wiratmoyo (putra Pak Sukaim Karyo Utomo) menjadi Lurah Desa Kebonagung tahun 1999-2007.
Yang Tercatat Akan Abadi
Dalam buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah DesaKebonagung 2013-2018 Jangka Menengah Desa Kebonagung2013-2018 tercatat Sejarah/Asal usul Desa yang terbagi menjadi sub judul Asal usul Nama Desa Kebonagung dan Gugurnya Panji Pulang Djiwo. Empat lembar catatan yang berharga. Menurut Pak Teguh Santosa, catatan tersebut dibuat oleh Ibu Yeni Achdriati, SE,MM, Kepala Desa Kebonagung 2007-2013.
Tentang Panji Pulangjiwo saya dapatkan tambahan literature dari Astutik yang terhimpun dalam buku Malang Tempo Doeloe Djilid Satoe, Dukut Imam Widodo dan kawan-kawan (penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2006).
Hikajat Kebonagung seperti yang dituturkan Pak Sukri, disandingkan dengan yang tertulis di RPJMDes Kebonagung dan buku Malang Tempo Doeloe menjadi pintu masuk untuk menulis dan mengumpulkan mozaik menjadi Hikajat Kebonagung yang lebih lengkap. (*)
[caption id="attachment_408993" align="aligncenter" width="300" caption="Sejumlah anak muda dari Eklesia Prodaksen, Kebonagung mengolah lokalitas menjadi inspirasi untuk desain kaos oleh-oleh khas Kebonagung. (dok.Abdul Malik)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H