LAKONNakamitsu karya Seami mempertemukan saya dengan Moehammad Sinwan, sutradara Teater IDEOT Malang. Itu terjadi tahun 1993. Lek Boss, panggilan akrab Moehammad Sinwan suntuk melatih anggota teater IDEOT di aula kampus 2 Universitas Islam Malang Jl. MT Haryono 139 (kini menjadi Rumah Sakit Islam). Terkadang duduk di pojok ruangan, mengetik naskah dengan mesin ketik manual. Ditemani minyak kayu putih yang seringkali diusapkan pada hidung dan belakang lehernya.
Saya mengenal cukup baik beberapa aktor teater IDEOT yang sedang berlatih. Yayak Marsose, Deddy Obeng, Pambudi, Juwaini. Juga Darmanto "Dengkek" Radjab, yang menjadi bintang tamu. Pak Jopo serius melatih gerak tari Marlina Rahayu (Mintil) dkk. Lek Boss membuat jadwal latihan sehabis magrib hingga menjelang subuh. Disiplin tinggi dan detil dalam penyutradaraan adalah dua hal yang melekat dalam ingatan saya tentang sosok Lek Boss.
Teater IDEOT mempunyai penonton tetap yang bejibun jumlahnya. Ini 'keunggulan' lain dari Teater IDEOT. Itulah kenapa Lek Boss memilih 'opsi' menjual tiket ketimbang menerima subsidi dana produksi dari panitia Pekan Teater Naskah-naskah Jepang. Dan terbukti, saat Nakamitsu dipentaskan Teater IDEOT di Sasana Krida IKIP Malang, penonton full bahkan banyak yang tidak bisa masuk gedung karena tiket sudah 'sold out'.
Begitulah Teater IDEOT mencatatkan prestasinya saat itu. Saya bersyukur dapat menonton seluruh kelompok teater yang tampil di Pekan Teater Naskah-naskah Jepang: Teater Angan Angan IKIP Malang, Teater Lekture (Jember), Teater Ragil Surabaya (lakon Orang Gila di Atas Atap karya Kikuchan), Teater Institut Unesa Surabaya (lakon Rashomon), Kelbinterbang Jombang (lakon Makam Bisu).
Lakon Nakamitsu karya Seami dipilih Lek Boss sebagai salah satu agenda Perayaan 30 Tahun Teater IDEOT yang akan dihelat November 2014. Para aktor lawas pun sudah memberikan konfirmasi untuk tampil kembali dalam lakon Nakamitsu: Pambudi, Deddy Obenk, Yayak Marsose. Menyikapi kesibukan para aktor tersebut Lek Boss pun membuat jadwal latihan khusus untuk mereka. Meski posisi Yayak Marsose di Bekasi, Deddy Obenk di Gresik, namun dapat berlatih maksimal. Praktis hanya Pambudi yang tinggal di Malang. Namun jadwal kesibukannya sungguh padat di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang juga sebagai RT di kampung. Para aktor lawas bersepakat reuni setelah mereka 'berdamai' dengan masa lalu. Sebuah energi positif di awal proses.
Bukan hanya para aktor yang bersepakat hadir, para 'alumni' Teater IDEOT juga bersemangat mendukung: Ribut Busan (Boyolali), Juwaini (Kediri), Roziq, Sam Legowo (RCTI), Mudzakir (Lawang), Yonathan Pahlevi (Belanda), Â Choeroel Anwar, SP (Anggota DPRD Kota Malang 2014-2019 terpilih).
Tahun ini saya beberapa kali bertemu Lek Boss, lebih banyak di Sanggar Teater IDEOT di Perum IKIP Tegalgondo Asri Blok 2F / 06 Tegalgondo Malang (belakang Kampus Universitas Muhammadiyah Malang III) . Saya hadir di acara open house dan Halal bihalal Teater IDEOT di Sanggar Teater IDEOT. (4/8/2014). Deddy Obenk, 'alumni' Teater IDEOT yang kini menjadi pengurus Komite Teater Dewan Kesenian Jawa Timur, hadir malam itu. Deddy Obenk sharing pengalaman masa lalu nya saat menjadi anggota Teater IDEOT kepada anggota braru. Juga menjabarkan pemetaan teater di Jawa Timur terkini, kiat-kiat yang dapat dilakukan sanggar seni (dalam hal ini teater) agar terkoneksi pada program-program pemerintah, lembaga donor dan perlunya network dalam membuat program-program.
Pertemuan berikutnya dengan Lek Boss terjadi di berbagai kesempatan, di Warung Kelir, Rampal (Performance art, kolaborasi seni hitam putih, Ade Loppies, Arena Dwi Joko, Bambang Pangsud, Ugik Arbanat dkk); di Omah Lor, Arjosari (diskusi bersama Patrick Varbiaz, Partai Hijau, Perancis; Ibu Nursyahbani Katjasungkana; Ibu Saskia Eleonora Wieringa, Universitas Amsterdam ), SMAN 9 Kota Malang tempat Lek Boss menjadi guru dan pastori GKI Kebonagung. Kemunculan Lek Boss di berbagai forum merupakan jawaban dari Lek Boss bahwa Moehammad Sinwan dan Teater IDEOT masih ada. Masih eksis di dunia teater.
Jika ditelisik lebih dalam, berdirinya sanggar teater di beberapa kampus di Malang adalah berkat 'tangan dingin' Lek Boss: Teater "Cow-Boy" Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang (1985-1996), Teater "BANGKIT" Fakultas Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Islam Malang (1990-1995), Teater "CREMONA" Fakultas  Teknik, Universitas Muhammadiyah Malang (1993). Adalah beralasan, seusai menonton beberapa pentas teater kampus di Malang, Lek Boss terlihat 'geregetan' dengan perkembangan teater kampus. Bagaimana sikap Lek Boss terhadap teater kampus di Malang?
"Di Malang ada semacam anggapan bahwa teater di Malang ya teater kampus. Saya akui itu benar sebagai kesan pertama sebab sangat jarang pementasan yang tidak oleh teater kampus. Masih ada beberapa teater non kampus namun kurang berdaya. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kekuatan artistik hampir sama merata, hampir belum ada yang menjadi tontonan yang berhasil. Ada kecendeungan sebagian besar teater kampus sekarang ngopera van java, kecenderungan guyon. Ada lagi permasalahan teknis masih berputar ke itu itu saja. Teater jalan di tempat. Teater sebagai ekspresi belum teater sebagai karya yang berbicara. Pentas studi, ulang tahun, mereka nggarap apa adanya.
"Hal tersebut disebabkan teater kampus yang saya amati sekarang tidak beda dengan ukm (unit kegiatan mahasiswa) lain. Beda dengan teater kampus masa lalu. Teater kampus hari ini jika mengadakan diklat pelatihnya adalah seniornya. Diklat diadakan seperti kegiatan lain. Diklat teater kok ada jurit malam, apa bedanya dengan pramuka, Palang Merah Remaja? Jaman dulu di teater kampus pasti ada sosok pelatih dan  Pembina. Pola workshop beda, kalau sekarang di teater kampus, senior diklar junior. Untuk menjadi sutradara boleh siapa saja. Saya pernah lihat tontonan. Dibanding lain-lain masih lebih baik. Penonton menganggap sempurna. Sutradara ternyata temannya sendiri. Saya tidak ngomong saat itu  karena tidak ingin mengganggu kebahagiaan mereka.  Makin primordialnya kelompok kelompok teater di Malang."
Sebagai salah satu solusi, Lek Boss akan mengadakan Workshop Seni Peran menjadi salah satu agenda Perayaan 30 Tahun Teater IDEOT, November nanti. Workshop ini terbuka bagi masyarakat umum dan dibatasi hanya 40 peserta. Selain sebagai media pembelajaran akting juga media pengembangan diri. Hasil dari workshop seni peran akan dipentaskan sebagai salah satu rangkaian ulang tahun Teater IDEOT
Membuka Sejarah
Teater IDEOT adalah salah satu teater yang hidup di Kota Malang. Sebagai teater non-kampus atau teater umum, Teater IDEOT lahir dari sebuah teater sekolah pada 28 Oktober 1984, tepatnya Kelompok Teater IDEA SMA Negeri 4 Malang. Karena satu dan lain hal, diantaranya adalah greget dan energi berkesenian yang "sungguh gila" dan "tinggi banget" dari para anggota teater IDEA yang saat itu semua masih berstatus siswa SMA (sementara Lek Boss sudah menjadi mahasiswa IKIP Malang semester 1). Sementara dalam lingkup sekolah ada berbagai batasan-batasan yang tidak bisa diabaikan, maka pada tahun 1986 tepatnya 1 November 1986 kelompok teater sekolah yang bernama Teater IDEA tersebut ber-evolusi menjadi teater non-sekolah, atau teater umum dan ber-evolusi nama menjadi Teater IDEOT.
Sejak itulah teater yang pada akhirnya menjadi majemuk keanggotaannya terus-menerus memulai debutnya di tengah masyarakat, dan sempat menjadi begitu dikenal pada tahun 80-an hingga 90-an. Hingga hari ini, Teater IDEOT tetap ada, meski sejak awal tahun 2000-an jarang mementaskan karya yang dipublikasikan secara luas. Ini merupakan penyikapan pada iklim berteater dan komitmen para pelaku teater yang sudah berbeda dengan saat-saat teater IDEOT 'di puncak kreativitas'. Namun proses dan denyut berteater tetap berlanjut. Hingga hari ini. "Sebab teater tidak boleh mati, jika hidup masih harus terasa lebih hidup", kata Lek Boss suatu ketika.
Kisah Masa Kecil
Moehammad Sinwan termasuk Bojonegoro-ensis. Lahir 27 November 1966 di Desa Sugihwaras Bojonegoro. Anak pertama dari sepuluh bersaudara, pasangan  A. Rofiq (almarhum) dan Rusmini (almarhum). Menikah dengan Rumanti Peristiani dan memiliki 3 anak, masing-masing: Yudhistya Putri Bharati, Moehammad Bhasudewa Krisna, Moehammad Sahadewa Putra Bharata. Moehammad Sinwan menamatkan pendidikan :SDN Sugihawaras 1 di Bojonegoro (1979), SMP Negeri Balen di Bojonegoro  (1982), SMA Negeri 4 di Malang  (1985) dan Sarjana Pendidikan  Bahasa & Sastra Indonesia di IKIP Malang  (1992).
Darah seni mengalir dari orang tuanya, terutama dari Sang Bapak. Beliau adalah seorang PNS guru SD yang juga sebagai pemusik di desa, dan memiliki kemampuan sebagai pelukis juga.
Moehammad Sinwan mulai tertarik seni sejak kecil. Bahkan, sejak belum sekolah. Demikian kata orang tua atau para tetangganya. Â Moehammad Sinwan sudah menampakkan bakat seni. Saat duduk di sekolah dasar, sudah senang mengumpulkan banyak teman, untuk bikin hal-hal unik, main drama-dramaan, dll. Saat di SMP sudah memiliki grup lawak. Dan ketika SMA banyak melakukan aktivitas-aktivitas seni dan mulai mendirikan Teater IDEA SMA Negeri 4 Malang tahun 1984, yang kemudian berlanjut dan ber-evolusi menjadi Teater IDEOT tahun 1986.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H