BATAVIA 1830. Pada tahun itu jang menjadi Gubernur Djenderal adalah Van den Bosch, si pentjipta "tanam paksa", sistim ini dilakukan untuk mengisi kekosongan kas pemerintahannja akibat beaja2 jg dikeluarkan terus menerus untuk menanggulangi, perang-djawa jg dicetuskan oleh Pangeran Diponegoro!
ROMAN SEJARAH demikianlah Teguh Santosa (1942-2000) Â menyebut komik Sandhora yang dibuatnya pertengahan Oktober 1969 tersebut. Kita dapat membaca teks di atas di komik Sandhora jilid 3 halaman 156. Teks tersebut memantapkan pembaca bahwa komik Sandhora yang diterbitkan U.P Pantjar Kumala, Jakarta merupakan sebuah roman sejarah. Terdiri dari 9 jilid setebal 540 halaman. Teguh Santosa menggambar komik Sandhora dengan setting serampung perang Diponegoro (1825-1830).
Theresia Sandhora, nama lengkap Sandhora, merupakan putri kembar Djenderal van Lawick dan Esterlitta (dari keluarga Gipsy). Margaretha nama saudara kembar Sandhora. Saat Sandhora berusia satu tahun dititipkan pada Marcos Varga, pedagang senjata, kakak Esterlitta. Marcos membawa Sandhora ke Filipina yang merupakan koloni Spanyol. (komik Sandhora jilid 3 halaman 169-170).
Menurut penuturan Dhany Valiandra (48), putra kedua Teguh Santosa, nama Sandhora terinspirasi dari nama Titiek Sandhora, penyanyi dan bintang film tahun 60-an, istri Muchsin Alatas.
Dikisahkan, Theresia Sandhora menjalin asmara dengan Mat Pelor. Lelaki anak wedana di Surabaya yang memiliki nama asli Achmad. Mat Pelor, piawai dalam menggunakan senjata serupa namanya, mengawal Sandhora saat kumpeni mengejar kapalnya di laut sumatera hingga terdampar di sebuah teluk di Sumatera Tengah. Disini, Teguh Santosa meramu  roman sejarahnya dengan menarik. Mat Pelor dan konco pleknya Dul Rasjid, serta Sandhora terseret masuk dalam kecamuk Perang Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol tahun 1803-1838 di Sumatera Barat.
Petualangan dilanjutkan ke sebuah pulau di selat Malaka milik Hamid Sulthon, orang Gujarat, pedagang senjata dan memiliki hubungan khusus dengan Thomas Stanford Raffles. Cerita bergeser dari satu pulau ke pulau lain. Dari Weltevreden, komplek militer Belanda di Batavia hingga ke bumi Minahasa di pulau Sulawesi.
Sang anak jaman
Mat Pelor muncul saat preview pameran seni komik Trilogi Sandhora karya Teguh Santosa di House of Juminten Jl.Kahuripan 18 Kota Malang, Minggu (24/5/2015). Mat Pelor hadir lewat sosok Jumali (46), seniman multi talenta kelahiran Kepanjen. "Mat Pelor adalah anak jaman. Dia memilih melawan kumpeni ketimbang menjadi begundal tengik kumpeni," tukas Jumali, alumnus Institut Seni Indonesia, Jogjakarta. Sejak SMA, Jumali kerap main ke rumah Teguh Santosa di Jl.Anjasmoro 10 RT 7 RW 2 Kepanjen. Sering berdiskusi dengan Teguh Santosa saat beliau rehat menggambar komik.Â
Tak heran, jika Jumali akrab dengan semua putra putri pasangan  Teguh Santosa dan Sutjiati. Tea Terina Onwardhini (l.1965), Dhany Valiandra (l.1967), Aprodita Anggraeni (l.1969), Dhodi Syailendra (l.1977). Jumali sama-sama bersekolah di SMA Kepanjen dengan Aprodita Anggraeni, putri ketiga Teguh Santosa. Saat kuliah di Jogja, Jumali gandeng renteng dengan Dhany Valiandra yang kuliah di IKIP Negeri Jogjakarta.Â
Kedekatan Jumali dengan Teguh Santosa dan keluarganya membuat Jumali rileks menafsirkan sosok Mat Pelor dalam kekinian. "Sosok Mat Pelor akan selalu hadir dimana keadilan dan keberpihakan pada rakyat sudah lenyap," imbuh Jumali yang pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta, Surabaya.
Seusai memerankan Mat Pelor di preview pameran seni komik Trilogi Sandhora di House of Juminten, Malang, Jumali menuangkan ide untuk membuat Wayang Komik Mat Pelor untuk launching komik Trilogi Sandhora di Malang, 25 Oktober 2015.