[caption id="attachment_352778" align="aligncenter" width="300" caption="Emil Sanossa. (foto: dok.Emil Sanossa)"][/caption]
FAJAR SIDIK adalah salah satu naskah yang cukup sering dimainkan oleh beberapa kelompok teater di Malang tahun 90-an.Penulis naskah drama tersebut adalah Emil Sanossa. Dimana beliau saat ini? Sebagian ada yang menganggapnya sudah tiada. Hingga suatu hari, datanglah Cak Bawong Suaatmaji Nitiberi, sutradara dan pegawai TVRI Surabaya. Kedatangan Cak Bawong adalah sebagai salah satu panitia Penghargaan Seniman Jatim. Setelah melewati kuratorial, Emil Sanossa mendapat Penghargaan Seniman Jatim tahun 2007 sebagai Penulis Naskah Drama/Skenario film dari Gubernur Jatim.
Lewat budi baik Denny Mizhar, penyair dan aktor teater dari Komunitas Pelangi Sastra Malang, saya berkesempatan silaturahmi ke rumah Pak Emil Sanossa di Taman Villa Sengkaling Blok O-05 (1/3/2014). Pak Emil Sanossa (76) masih nampak bugar, dan mengingat dengan runut perjalanan karirnya.
“Gusti Allah sok sok lucu kalau saya pikir. Hidup saya ini berubah dengan cepat, dari penulis lalu pindah karir menjadi anggota dewan, lalu pindah lagi menjadi penulis. Saya percaya siklus 10 tahunan dalam hidup saya,” katanya.
Perjumpaannya dengan dunia teater dilakoninya lewat naskah Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontani. Sempat dipentaskan dua kali. Naskah berikutnya Sayang Ada Orang Lain masih karya Utuy Tatang Sontani. Emil Sanossa bermukim di Madiun tahun 1955. Hanya setahun. Di kota Madiun dan lewat dunia teater lah ia jatuh cinta pada Ratri. Kini Ratri adalah Prof.Em.Dr.Kusdwiratri Setiono, Guru Besar emeritus di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
Diantara angan-angannya yang belum kesampaian, Pak Emil menuturkan karir politik dan kesenimanannya di masa lalu dengan runut. Siklus sepuluh tahunan dalam dunia politik diawali tahun 70-an sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lumajang mewakili Partai Golkar. Tahun 80-an bentrok dengan Bupati Lumajang. Pak Emil memutuskan mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD Kabupaten Lumajang dan Partai Golkar.
Saat itu ada lomba penulisan naskah drama yang diselenggarakan TVRI Surabaya. Pak Emil ikut dan tak dinyana karyanya menyabet 5 penghargaan, juara pertama hingga ketiga disabetnya. Kategori pemenang lainnya diraih oleh Lutfi Rahman, Sam Abede Pareno, Hardjono WS. Para juri waktu itu antara lain Mohammad Diponegoro, Bakdi Soemanto.
Siklus sepuluh tahun berikutnya adalah karir di panggung politik. Tahun 80-82 menjadi anggota DPRD Propinsi Jatim lewat Pergantian Antar Waktu (PAW). Tahun 82-87 menjad anggota DPRD Propinsi Jatim dari Partai Golkar. Saat itu Blegoh Sumarto menjabat Ketua DPRD Jatim dan Soenandar Priyo Soedarmo Gubernur Jatim.Tahun 81 Pak Emil ketiban sampur menjadi Wakil Ketua Komisi di DPRD Jatim. Meski dapat jatah mobil, ia tidak dapat nyetir mobil.
“Saya pernah membawa kasus Petrus (Penembak Misterius) yang sedang ramai saat itu ke fraksi namun ditolak. Saya malah diminta untuk tidak membahas masalah sensitif tersebut.”
[caption id="attachment_352780" align="aligncenter" width="300" caption="Para sahabatnya di Komunitas Lembah Ibarat mendukung peresmian Rumah Budaya Emil Sanossa, 25 Mei 2014 di rumahnya Jl. Perum Villa Sengkaling Blok U. No.5 Malang. (foto: Sabda Musa)"]
Siklus sepuluh tahunan dalam karir nya di dunia seni antara lain bisa dicatat saat TVRI Jakarta membuat Festival Emil Sanossa, biasanya bulan Mei. Skenario film yang ditulisnya dimainkan berbagai sanggar teater dalam sebuah film di televise. Skenario tersebut antara lain berjudul: Menyongsong Ufuk, Perjalanan Hati Nurani, Saat Tebu Telah Berbuah (lokasi syuting di Madiun), Bertahan dalam badai (syuting di Lawang didukung pemain Gito Rollies, Adi Kurdi).
Produktivitasnya di dunia seni peran televisi memberi pengaruh pada seniman lain. Tak kurang dari Steve Lim (Teguh Karya) yang pernah mengaku padanya bahwa film layar lebarnya, Doea Tanda Mata terinspirasi oleh karya Emil Sanossa, Bertahan Dalam Badai.
Mengurai perjalanan karir Pak Emil Sanossa secara tidak langsung kita bertemu dengan kisah Malang tempo doeloe. Sejarah hidup Emil Sanossa lekat dengan dunia tentara. Tahun 66 saat masih menjadi penulis, rumahnya di Talun, pernah diampiri nginap oleh salah seorang anggota Pasukan Sandi Yudha yang saat itu sedang getol melakukan pembersihan anggota PKI di daerah. Aktivitasnya di dunia kepenulisan dan drama membuatnya dikenal di kalangan Kodim waktu itu. “Saya pernah mengembalikan pistol ke markas Kodim di Kahuripan dari rumah saya di Talun dengan naik sepeda ontel.” Emil Sanossa bukan dari keluarga tentara malah dari santri tulen. Anggota Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI).
Mengaku ijazah nya hanya SMP Islam di Jalan Kartini, Malang. “Guru saya waktu itu Hudan Dardiri dari Tentara Republik Indonesia Pelajar.” Hudan Dardiri mengagas sekaligus sebagai ketua panitia pembangunan Monumen Chairil Anwar di poros jalan Kayutangan. Pematungnya bernama Widagdo. Walikotamadya Malang, Sardjono meresmikan patung Chairil Anwar 28 April 1955.
Pak Emil mengaku sempat sekolah di SMA Adi Dharma Jl Suropati Malang. Meski tidak tamat.
Emil Sanossa mengenang para sahabatnya di jaman lawas, Sunaryono Basuki, dan Gerson Poyk. Sunaryono Basuki pernah menulis di Kompas dengan judul Antara Emilia Contessa dan Emil Sanossa. Gerson Poyk saat itu menjadi wartawan Suara Masyarakat di Surabaya, pernah mampir ke rumahnya di Bunulrejo. “Saya malah disuruh menjual sepeda motornya gara-gara Gerson Poyk sedang pacaran dengan cewek Kepanjen.” Pak Emil terkekeh mengingat kisah masa lalunya.
Nama-nama seniman teater lawas di Malang pun bermunculan. Tatik Maliyati (kemudian menikah dengan Wahyu Sihombing), Titik Suryo dari GAYA (Galant Artist Youth Assosiation) tahun 1955 hingga 1960, Bintang Isonur, asal Bareng yang kemudian menetap di Peking. Muslim Dalid adalah Kepala Kebudayaan di Malang saat itu.
“Saya pernah main teater sebagai pastor di Cor Jesu. Dalam perjalanan ke Bukit Golgota mestinya saya bawa alkitab. Karena ndak nemu ya saya bawa kamus saja.”
Kisah menarik lain adalah pengalaman main teater di pernikahan. Pak Emil Sanossa menulis naskah Tuan Kondektur, sutradara nya Pak Munajat IKIP Malang. Pak Hazim Amir baru pulang dari kuliah di Amerika. “Saat main di sebuah pernikahan di Kepanjen, para pemain harus minggir dulu saat ada bis lewat, maklum lokasi pernikahan berada di tepi jalan raya.”. Meski demikian Emil Sanossa dkk tidak kapok. Pentas teater di acara pernikahan tetap jalan terus. Setelah dari Kepanjen lalu ke Madiun, Lumajang.
Meski hanya mengantongi ijazah smp, namun banyak keajaiban dalam karir yang dijalaninya.
“ Waktu itu saya bersedia menjadi dosen luar biasa di Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Malang asalkan saya boleh kuliah di jurusan Bahasa Inggris IKIP Malang. Ketua Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Malang waktu itu Drs. Sunardi.”. Di tahun-tahun tersebut Emil Sanossa akrab dengan Hazim Amir. “Tesis Pak Hazim Amir membahas banyak naskah yang saya tulis.”
Banyak hal yang membuatnya bersyukur tiada henti pada Tuhan.”Saya pernah menjadi staf ahli Prof.Dardji Darmodihardjo, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, juga Manajer Program Televisi Pendidikan Indonesia.”
Bagaiamana proses kreatif kepenulisan Pak Emil Sanossa?
“Kalau kepingin nulis ya nulis saja. Biasanya saya nulis bagian yang dramatik dulu.”
Ada masa saat proses kreatif yang dilakoninya membuatnya sangat produktif menulis naskah. Salah satu naskah yang paling banyak dimainkan adalah Fajar Sidik. “Yang mengajukan ijin pementasan Fajar Sidik dari Aceh sampai Ternate. Saya kenal Ikranegara juga saat dia mengajukan ijin pementasan Fajar Sidik.” Saya masih menyimpan hard copy sekitar 10 an naskah yang saya tulis.
Karya Emil Sanossa juga termuat dalam antologi puisi bersama Doa Akasyah, Perjamuan Pertobatan yang diterbitkan komunitas Lembah Ibarat, Malang.
“Saya berharap ada kawan-kawan ngumpul di rumah baca puisi. Saya cari waktu yang tepat ya,” katanya kepada Denny Mizhar, dari Komunitas Pelangi Sastra Malang.
Di rumah, Pak Emil Sanossa hanya ditemani Farhan, mahasiswa ITN Malang yang bertugas sebagai “asisten”. Di dinding ruang tamu, berjejer rapi foto keluarga. Juga piagam penghargaan dari Semen Gresik, November 2012 kepada H.Chairul Abdullah (Emil Sanossa) sebagai Penulis drama/film perjuangan.
“Ada keinginan yang belum kesampaian. Saya ingin bermain teater dengan Ratri, membawakan naskah Pagi Bening karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero.
Saya berperan sebagai Don Gonzalo, sementara Ratri memerankan Donna Laura.”
Benar kata orang bahwa first love never dies..(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H