Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lila Ratih Komala, Penyair dari Turen, Malang

20 Agustus 2014   13:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:04 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LILA RATIH KOMALA, perempuan dengan rambut ikal sebahu, semampai, njawani, berkaki bagus, suka nulis sastra. Itulah gambaran awal tentang sosok Lila Ratih Komala dalam berbagai diskusi di warung kopi bersama Profesor Djoko Saryono dari Pascasarjarna Universitas Negeri Malang, Denny Mizhar dari komunitas Pelangi Sastra Malang, Redy Eko Prastyo dari Artmochestra. Diujung diskusi ada kesepakatan untuk mencari sosok Lila Ratih Komala, mendokumentasi dan mengapresiasi karya-karyanya. Semacam wasiat juga diemban oleh A Elwiq Pr (Mbak Donik), penulis asal Turen dari Ratna Indraswari Ibrahim, sastrawan dan pendiri Rumah Budaya Ratna sebelum berpulang, untuk bertemu sosok Lila Ratih Komala.

[caption id="attachment_354070" align="aligncenter" width="300" caption="Lila Ratih Komala (sebelah kiri) bersama Yongki Irawan. (foto: Abdul Malik)"][/caption]

Tak ada yang kebetulan dalam hidup. Minggu, 21 Juli 2013 di siang hari yang sejuk, saya bertemu Lila Ratih Komala dirumahnya, Jl. Ikan Layur II No.20, Blimbing Malang. Ditemani Pak Yongki Irawan, dari Komunitas Lintas Budaya Malang Raya. Kontak pertama kami adalah lewat facebook. Pak Amang Mawardi, penulis asal Surabaya, memberikan info bahwa Lila Ratih Komala memiliki akun facebook dengan nama SYAHDA  SYLVANTO. Dari kontak via facebook, saling bertukar nomer ponsel kemudian berlanjut ke copy darat. Demikianlah.

Lila Ratih Komala adalah nama pena dari Syahda Sylvanto.Laki-laki tulen. Nama aslinya GO LOE BIAN. Akrab dipanggil LOE YEN.Lahir di Turen, 13 Februari 1955.

Antara tahun 1970-an hingga awal 1980-an, tulisannya tersebar di sejumlah media cetak ibukota dan daerah, antara lain majalah kebudayaan BASIS (Oktober 1979), AKTUIL (Oktober 1975), ZAMAN (Pimred Goenawan Mohamad, Redpel Putu Wijaya, 1979,1981),TOP (Redaksi: Remy  Sylado dkk, 1976), RIA REMAJA, STOP, HORISON (Juli 1978), koran  lokal Malang SUARA INDONESIA (1982).

[caption id="attachment_354071" align="aligncenter" width="300" caption="ANTOLOGI PUISI MEKAR HIMPUNAN PENULIS MUDA MALANG, Agustus 1975 Penulis:VEN WARDHANA, HEN DR, YANI KOESWARA, DICK ASIDO, LILA RATIH KUMALA, RAHADI PURWANTO (Foto: dok.Yongki Irawan)"]

14084898641873148144
14084898641873148144
[/caption]

Puisi-puisi nya dapat dilacak dalam antologi puisi MATAAIR yang diterbitkan di Turen tahun 1977. Ini antologi puisi berdua bersama Veven SP Wardhana, sahabatnya di Turen. Saat itu Veven yang  lahir 21 Januari 1959 masih berstatus pelajar di SMA Proyek Perintis Sekolah Pembangunan IKIP Malang kelas terakhir. Sementara Lila Ratih Komala sudah bekerja di sebuah maskapai niaga swasta di Turen, sekolahnya hingga Taman Dewasa, Perguruan Taman Siswa di Turen namun tidak sampai satu tahun sudah meloloskan diri. Pada antologi MataAir, Lila Ratih Komala menulis catatan: Biasanya pula air yang dikandung pada awalnya bening dan dingindingin segar sebelum ulah benda-benda sekitar mengacau keaslian itu.Tapi ada pula mataair yang panas dan mengandung belirang, yang sanggup menumpas kuman-kuman gatal. Ada pula mataair bikinan manusia, namanya perigi. Kemudian yang luruh dari langit, adakah bisa disebut mataair? Mengapa tidak ! Mataair bisa di poripori bumi, bisa dirahang langit, bisa di rahang langit, bisa di pangkal mata, bisa di ujung lidah, bisa di mata pena. Mataair jangan disumbat dengan tangan manusia. Walakin seribu ribu. Karena ia alamik, maka Cuma permainan alamlah yang akan menghentikan siklusnya. Kendati sekalian air mengandung daya manfaat, belum seluruhnya sempat digayung manfaatnya. Pemanfaatan itupun, bisa lainlain, tergantung siapa dia.

Lila Ratih Komala sendiri  tak menyimpan edisi asli antologi MataAir. Meski demikian edisi foto copy an masih didokumentasikan dengan baik. Salah satu puisinya di antologi tersebut adalah Sendang Biru: ombak gemulai/membelai pantai/sehelaisehelai/karang curam/harta alam/kelam/ nafas sunyi/terengah menepi/lahir puisi/ di pucuk buih/ sendang biru/ kolam susu/dalamkah lautmu/sedalam dukaku (1974)

Bersastra dan berkomunitas nampaknya saling berkelindan.  Ada yang menulis karya sastra secara personal, ada juga yang meleburkan diri dalam komunitas sastra. Ada juga yang menyatukan kedua aktivitas tersebut, meski membutuhkan energi yang besar. Denny Mizhar dari Pelangi Sastra Malang mencatat adanya kegairahan dalam komunitas sastra di Malang hari ini. Lewat pesan pendek, Denny mengirim sejumlah nama komunitas sastra di Malang: Pelangi Sastra Malang, UKM Penulis Universitas Negeri Malang, Sastra Titik Universitas Merdeka, Lembah Ibarat, Mata Pena Universitas Brawijaya, Malang Menulis, Lingkar Sastra Universitas Islam Malang, Malam Puisi Malang, Forum Lingkar Pena Malang. Bersama Pelangi Sastra Malang, Denny Mizhar dkk telah 35 kali menggelar aktivitas bersastra.

[caption id="attachment_354072" align="aligncenter" width="300" caption="Lila Ratih Komala dalam salah satu kegiatan di SMEA Negeri Turen Kabupaten Malang. (foto: Syahda Sylvanto)"]

1408489959667994439
1408489959667994439
[/caption]

Seturut dengan yang dilakukan Denny Mizhar dkk saat ini, Lila Ratih Komala juga bergiat di komunitas sastra di Malang. Tahun 1975 membentuk Himpunan Penulis Muda Malang, bersama Veven SP Wardhana, Hen Dr, Yani Koeswara, Dick Asido, Rahadi Purwanto. Mereka membukukan karyanya dalam antologi puisi bersama MEKAR (Agustus 1975). Dicetak stensilan setebal 17 halaman folio. Ada enam puisi Lila Ratih Komala dalam antologi puisi tersebut, masing-masing: Yang, Kisikisi, Puisi Lampus, Siapa Kau III, Borok, Sumur Tua Beserta Doa. Salah satunya: dua cawan telah kuisi arak/mari, mari silahkan tenggak/kita bertoas atas perkenalan ini/dan atas menyatunya kita kembali/tapi benarkah aku tidak keliru rasa/engkau yang seribu tahun kunanti di tepi kubur/tapi engkau masih tetap membisu/tapi engkau belum minum arak itu/tapi engkau emoh tinggalkan bilikku/tapi engkau sengaja menyaru rupa seribu (Siapa Kau III)

Puisi-puisi Lila Ratih Komala juga terkumpul dalam antologi puisi bersama DERMAGA yang diterbitkan Remaja Merdeka Group, Cabang Surabaya, Mei 1975. Memuat 17 penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Lila Ratih Komala menyumbang 3 judul puisi: Kemelut, Nostalgia 1973 dan 21 Februari 1975. Dalam antologi puisi bersama DERMAGA jilid 2 (Agustus 1975), Lila Ratih Komala membukukan 4 judul puisinya; Waktu, Kiamat, Angin dan Obsesi. Antologi puisi DERMAGA jilid 2 merangkum karya 30 penyair antara lain: Korrie Layun Rampan (kelahiran Samarinda, tinggal di Yogyakarta), Abdullah Masrur (Mojokerto).

Selain menulis puisi, Lila Ratih Komala juga menulis esai dan cerpen. Giman dan Harapan, cerpennya dimuat di Suara Indonesia (Minggu, 17 April 1983), Cerita Pendek Tentang Murni (Suara Indonesia, Minggu, 5 Juni 1983).

Sempat ‘menghilang’ dari dunia sastra. Muncul kembali karya cerita pendeknya Terima Kasih Pakde (Surya, Minggu, 9 Januari 2005) dan Kabut Asap (Seputar Indonesia, Minggu, 8 November 2007) dengan nama Syahda Sylvanto, nama yang tertera di ktp nya.

Rubrik Sastra dan Budaya Malang Post, Minggu, 1 Desember 2013, juga pernah memuat 3 puisi jadul Lila Ratih Komala, masing-masing: “Rekaman Sore Tadi” (Runner-up Lomba Sajak Radio BBC London, 1977, pernah dimuat di Minggu Merdeka dan kemudian Horison), “Sajak” muncul di Sinar Harapan Minggu, “Marini” (Pemenang III Lomba Cipta Puisi tahun 1977 Yudha Minggu) di Yudha Minggu.

Hari-hari Lila Ratih Komala kini diisi dengan kesibukan bekerja di PT BMI, Dampit, Senin hingga Sabtu. Hari Minggu sepenuhnya untuk melayani Tuhan di gereja dan bercengkrama bersama keluarga.

Saya sudah 30 tahun tidak baca puisi,” katanya merendah.Saya suka merinding kalau membaca puisi-puisi lama yang saya tulis, salah satunya Ritme: apa sih mati?/

Nyeri/gatal/atau nyaman/sepi/dingin/atau riuh/mengapa mesti bayangi mimpi/

dunia sudah berbiasa begitu/paling enak jika bernyanyi/sampai mabuk sampai lumat manusiawi/apa sih mati?/jika tak kembali/tentu pergi (dampit, november 1979)”

Salam sastra bersama secangkir kopi Dampit dan musik jazz Indra Lesmana. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun