Rambut ikal kuncir duanya menari mengikuti ritme senandung bibir kanak-kanaknya. Kicau pita suaranya hanya mengenali nada-nada riang yang kadang terdengar fals . Tak ada ruang untuk menabur sebutir benih duka sekalipun di dadanya. Dunia buatnya hanya lintasan-lintasan roller coaster yang begitu menegangkan-menyenangkan. Atau mungkin sekumpulan papan seluncuran, ayunan dalam sebuah taman bermain. Mengusik adrenalin sejenak kemudian sensasinya memahat sumringah pada kulit wajahnya.
.
Tahun melangkah, kuncir duanya telah menjelma kepang ekor kuda. Jemarinya kini lihai memainkan partitur-partitur, sementara bibirnya telah diam. Tarian rambutnya telah beralih pada lentik jari-jari. Dunia semakin kecil, hanya ada dalam denting piano juga sepi.
.
Riak-riak adrenalin telah lama istirah. Senyum telah beku. Wajahnya berpeluh salju. Hingga duka mengelopak semi tanpa pernah ingat mula pertama ia menabur benihnya. Mungkin saja sejak pertama mawar mekar di senyumnya lalu berubah kamboja. Atau saat kecupan hangat yang hinggap di keningnya berganti dinginnya khianat.
.
Laju usia hanya memilin kedukaan yang makin menebal untuknya, tarikan otot pipi sekian senti seolah terhapus dari mekanisme gerak wajahnya. Perih telah mengelambu. Menghalang kenang kanak-kanak beserta racau ceria dari gigi-gigi kelinci.
.
Jikalah hidup adalah sebuah konstanta, maka ia akan menetapkan besaran untuk dirinya pada angka tujuh. Hingga kisaran usianya tak beranjak dan benang-benang duka tak lagi jalin-menjalin.
.
.
T.T, 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H