Mohon tunggu...
Kupret El-kazhiem
Kupret El-kazhiem Mohon Tunggu... -

Pelarian, Pengangguran, Soliter, Serabutan, Penduduk Bumi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

#CharlieHebdo Melawan Antikritik dan Jargon Islamophobia

11 Januari 2015   23:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14209697401539862458

Charlie Hebdo tidak hanya mengkritik Islam. Bahkan semua institusi agama dan politik. Namun muslimlah yang membalas mereka dengan senjata. Tanggapan orang Indonesia yang membaca berita ini sesederhana mengatakan, “Makanya jangan olok-olok agama.” itu saja? Apakah itu logika konyol yang sedang ditawarkan oleh orang-orang beragama?

Agama bukanlah hal yang sakral. Sebagian orang terus menyakralkan agama turun-temurun. Lantas apa kita perlu ikut-ikutan menyakralkan? Tidak! Agama tidak bebas dari kritik, dan itulah gunanya kebebasan bersuara agar kita bebas melancarkan kritik terhadap sesuatu yang tidak rasional dan menggelontorkan gagasan-gagasan yang bodoh.

Masih ingat kan beberapa waktu lalu Paus Fransiskus mengeluarkan pernyataan yang kesannya mengakui teori evolusi, big bang, dan modern sains.

“When we read about Creation in Genesis, we run the risk of imagining God was a magician, with a magic wand able to do everything. But that is not so,”

“He created human beings and let them develop according to the internal laws that he gave to each one so they would reach their fulfillment.”

“God is not a divine being or a magician, but the Creator who brought everything to life,”

“Evolution in nature is not inconsistent with the notion of creation, because evolution requires the creation of beings that evolve.”

Reaksi berdatangan dari kalangan saintis yang notabene kebanyakan dari mereka adalah ateis atau agnostik. Pernyataan Paus Fransiskus seolah mendukung sains, tapi justru sebaliknya hanya menggunakan sains sebagai “senjata” kaum kreasionis.

Apa yang dilakukan Paus Fransiskus langsung menjadi bulan-bulanan dan bahan olok-olok di antara para ateis dan juga saintis. Seorang Astrofisikawan, Neil deGrasse Tyson, menyindir ucapan Paus Fransiskus. Mengapa Paus Fransiskus berani mengakui teori evolusi dan big bang, "jangan-jangan dia baru saja menonton Cosmos." Cosmos adalah tayangan sains di sebuah kanal berbayar National Geographic Channel yang dipandu oleh Neil deGrasse Tyson sendiri. Lengkapnya, Cosmos: A Spacetime Oddysey.

Kemudian ada juga debat di televisi Amrik antara Ben Affleck, Bill Maher, Sam Harris, Nicholas Kristof dan Michael Steele. Ada kutipan atau quote dari Affleck yang mengatakan bahwa, mengkritik Islam adalah gross (menjijikkan), rasis, dan stereotip. Sementara itu, Kristof, seorang kolumnis New York Times, mengatakan bahwa biasanya orang kulit putih yang rasis menggunakan karikatur untuk menyuarakan kritik mereka. Namun Sam Harris, seorang saintis, mengatakan bahwa, “Islam is not a Race. Criticism of Islam is not Racism". Agama bukanlah ras, dan mengkritik agama sama sekali bukan rasis.

Tentu ini berlaku juga buat agama lain. Mengkritik agama sama halnya dengan blasphemy, dan biasanya blasphemy memang distempel oleh kalangan agama sebagai penodaan atau penistaan terhadap agama. Indonesia termasuk negara yang masih memberlakukan undang-undang itu. Mengapa harus ada undang-undang penistaan agama jika agama sendiri adalah sesuatu yang nista, khususnya pada bagian yang menistakan kemanusiaan dengan dalih ajaran agama yang difirmankan Tuhan dan disebarkan oleh Nabi.

Ketika umat agama selain Islam berbesar hati dengan olok-olok itu. Namun justru dengan melihat kasus penembakan yang terjadi pada media surat kabar Charlie Hebdo adalah wujud dari sumbu pendek orang-orang Islam.

Katakanlah Charlie Hebdo merupakan media ateis. Tentu saja pasti kena stempel Islamophobia. Namun Islamophobia sendiri adalah istilah buatan yang patut dikritisi. Pascakejadian yang menimpa Charlie Hebdo, media lain termasuk secara perorangan, para ateis mengkritik Islam dengan gambar maupun tulisan. Maka kritik itu dibalas oleh media Islam dengan tajuk serupa “kampanye Islamophobia meluas di Eropa”. Sasarannya lebih banyak ke penganut agama lain selain Islam (non-muslim) yang bercokol di dunia Barat. Namun perlu diketahui bahwa, Eropa sekarang ini justru banyak orang yang telah menjadi ateis. Gereja-gereja mulai kosong dan berganti fungsi setelah dibeli oleh investor atau developer. Mereka tidak butuh agama untuk menentukan hidup mereka. Adapun hari raya agama seperti Natal hanya mereka pandang sebagai kultur saja, atau sekadar penanda waktu liburan di musim dingin.

Lalu apakah Islamophobia? Sebuah tulisan mendedah jargon Islamophobia ini.

Pertama, karena kita terjebak pada pemikiran monolitik Islam vs Barat. Padahal, dalam komunitas dunia Internasional, tidak ada yang berpikir peradaban Barat lebih unggul dari Islam, atau sebaliknya Islam lebih rentan dari Barat ketika pada saat yang sama disebabkan oleh esensi Islam itu sendiri.

Kedua, umat Islam tidak serta merta harus berkurang jumlahnya hanya karena olok-olokan semata, apalagi yang datang dari ateis.

Ketiga, ketika terjadi pertikaian antara umat Islam. Apa yang diperbuat muslim dunia selain berpihak dan menyalahkan satu sama lain. Termasuk menyerang pihak di luar Islam.

Keempat, umat Islam tidak punya otoritas tunggal di dunia. Lalu apakah setiap pemimpin negara di dunia memata-matai umat Islam di negara mereka masing-masing? Tidak. Umat Islam dipandang menjadi bagian dari warga negara sebagaimana umat agama lain.

Kelima, jika seseorang atau media surat kabar mengkritik kelompok seperti ISIS atau Boko Haram yang menindas sesama manusia, dan menggunakan agama untuk menjustifikasi kebenaran dari perbuatan yang mereka lakukan, itu tidak berarti mereka memusuhi umat Islam lainnya.

Saya jadi teringat sebuah acara yang juga ditayangkan di Natgeo, yang waktu itu tengah mengupas tentang produk Apple. Salah satu pembahasannya adalah melihat perilaku para penggemar berat gadget. Ternyata setelah mereka melakukan pemindaian aktivitas otak para penggemar berat produk-produk Apple, tidak jauh berbeda dengan orang yang beragama. Si pembawa acara menyamakan kelakuan penganut agama dan penggemar berat Apple yang menganggap Steve Jobs sebagai Nabi dan menyakralkan toko resmi penjualan Apple selayaknya rumah peribadatan. Kemudian ada seorang pendeta yang diwawancarai juga mengamini hal itu.

Lalu apa? Ya, itu tidak mengundang apa-apa. Bahkan olok-olok yang dilakukan si pembawa acara pun tidak menimbulkan sesuatu seperti yang dilakukan oleh para penyerang kantor Charlie Hebdo. Kemudian pertanyaannya adalah siapa yang mengidap gejala inferior di sini?

Inilah yang patut kita, atau Anda sebagai muslim (karena sekarang saya telah menjadi ateis), apakah Anda masih mengidap gejala itu atau tidak. Tidak perlu berlindung di balik jawaban “Makanya kita tidak perlu mengolok-olok agama”. Justru agama mau tidak mau akan berbenturan dengan apa yang terjadi di masyarakat, termasuk juga dengan sains. Mereka yang berkhidmat terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi, malah semestinya tahan banting dan tidak bersumbu pendek ketika berhadapan dengan olok-olok. Sebab yang namanya kritik juga bisa berupa olok-olok, ungkapan sarkas dan satir, dan sebagainya.

Agama sering mengklaim diri sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi melampaui usia manusia. Bahkan hingga zaman berakhir. Ungkapan ini pun keliru jika ditilik dari sains, tidak ada yang namanya akhir zaman karena alam semesta akan selalu dan tetap ada. Manusialah yang menciptakan agama. Ketika CERN berhasil membuat tabung elektromagnetik untuk mewadahi antimateri sebagai bahan bakar pesawat antargalaksi (diperkirakan oleh saintis Stargazing di BBC Knowledge akan selesai tahun 2100), maka manusia bisa menjelajahi Saturnus dalam waktu relatif singkat. Jika manusia telah berkoloni di planet lain, tentu akan ada agama baru, ada konsep dan sosok Tuhan baru yang diciptakan oleh manusia.

Maka, agama bukanlah hal yang sakral. Tidak jauh beda dengan hal lain seperti yang disebut budaya. Saya teringat kata-kata sastrawan Lebanon Amin Maalouf dalam bukunya “Balthasar's Odyssey” bahwa, tradisi memang pantas dihormati selama patut untuk dihormati. Agama juga begitu. Karenanya, yang tidak patut dihormati justru patut dikritisi (didesakralisasi, diolok-olok, dsb).

Untuk apa media seperti Charlie Hebdo membangga-banggakan kecerdasan emosional jika ternyata emosi itu mempertahankan selubung ketakutan dan kabut kebodohan. Justru dengan kejadian itu malah semakin membuka mata dunia melek-melek terhadap dampak yang ditimbulkan oleh indoktrinasi agama membabi buta.

[caption id="attachment_345854" align="aligncenter" width="621" caption="foto: http://ninetymilesfromtyranny.blogspot.com/2013/08/there-is-no-such-thing-as-islamophobia.html"][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun