Apakah di Surga ada Isu SARA? Pertanyaan ini merupakan refleksi setelah saya membaca buku karya Muhammad Legenhausen yang berjudul Islam and Religious Pluralism yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Shadra Press berjudul Pluralitas dan Pluralisme Agama. Buku tersebut menelanjangi pemikiran John Hick yang terkenal dengan pemikiran pluralisme agama. Bahkan di sejumlah buku dan tulisan lainnya sampai dimaki-maki oleh kalangan muslim seperti Adian Husaini dan Wan Mod Nor Wan Daud. Di antara karya Hick seperti Religious Pluralism, An Interpretation of Religion, dan Problem of Religious Pluralism merupakan serangkaian pemikiran hasil dari pengalaman beragama yang ia jumpai. Tatkala Hick sebagai aktivis dalam memerangi rasisme, ia mau tidak mau berhubungan dengan komunitas agama selain Kristen, seperti umat Islam, Yahudi, Hindu dan Sikh di Birmingham.
Dalam doktrin Kristen tradisional atau ortodoks, keselamatan manusia terdiri dari ampunan Tuhan atas dosa. Sehubungan dengan dosa asal yang dilakukan Adam, ampunan ini hanya bisa diberikan berkat penderitaan dan pengorbanan Kristus di tiang salib. Bagi Hick, ia tidak bisa menerima ketetapan doktrin ini yang berarti bahwa teman-temannya yang bukan pemeluk Kristen tidak akan memperoleh keselamatan karena tentunya tiap agama mempunyai doktrin yang berbeda mengenai keselamatan, seperti dalam Islam yang mengenal syafa'at Nabi Muhammad. Maka timbul pemikiran dalam dirinya bahwa semua orang dapat masuk surga tanpa memandang apa yang kita kenal sekarang ras, warna kulit, keturunan, agama atau bahkan ideologi sebagaimana pandangannya tentang penganut komunisme yang mungkin bisa mencapai "keselamatan" itu.
Legenhausen merinci beberapa jenis pluralisme agama dalam pemikiran Hick, di antaranya Pluralisme agama soteriologis yang berkaitan dengan pembahasan agma tentang keselamatan. Setiap agama mempunyai soteriologinya masing-masing. Menurut kaum eksklusivis, secara soteriologis hanya kelompok mereka saja yang selamat, sedangkan kaum inklusivis akan membuka pandangan mereka lebih lebar mengenai siapa yang akan masuk surga yang bukan berasal dari agama yang dianutnya. Pandangan pluralisme soteriologis menegaskan bahwa semua pemeluk agama berpeluang memperoleh keselamatan pada hari akhir. Dari pluralisme agama soteriologis beralih kepada pluralisme agama aletis yang membahas tentang doktrin kebenaran dalam setiap agama yang harus ditemukan pada masing-masing agama dengan derajat yang setara. Walaupun dalam realitas kehidupan manusia seringkali ditemukan bahwa agama-agama saling memberikan pernyataan yang bertentangan mengenai keselamatan, apa yang benar dan salah, tentang sejarah dan sifat manusia, hal-hal yang menyangkut ketuhanan, namun semua klaim itu bisa jadi benar bergantung pada pandangan dunia mana yang masing-masing klaim itu dinisbahkan. Klaim-klaim itu berkenaan dengan manifestasi realitas tiap komunitas keimanan yang berjalan dengan konsep, praktik ritual, gaya hidup, mitos, dongeng, dan sejarahnya sendiri.
Pembahasan pluralisme agama lainnya adalah seputar epistemologi atau pluralisme agama epistemologis yang berkenaan dengan kedudukan pengikut agama-agama berdasarkan pengalaman beragama yang dialami mereka. Setiap pengikut agama-agama memiliki kedudukan yang sama menurut justifikasi keyakinan agama mereka yang paling tepat ditemukan dalam pengalaman beragama. Akhirnya, muncul pluralisme agama deontis yang menyatakan bahwa memang kehendak Tuhan tidak membuat orang harus menerima satu ajaran saja. Pluralisme agama deontis ini bisa berubah menjadi pluralisme agama deontis diakronis seperti yang dijumpai dalam Islam yang menekankan konsep bahwa pada kurun waktu tertentu Tuhan telah memerintahkan manusia untuk memeluk agama yang berbeda-beda, satu Nabi untuk satu kaum saja. Akan tetapi, sejalan dengan misi Rasul Tuhan yang terakhir, maka Tuhan memerintahkan semua manusia untuk memeluk agama berdasarkan wahyuNya yang dibawa oleh Rasul terakhirNya.
Oleh karena buku ini dimaksudkan Legenhausen untuk mengemukakan kerancuan konsep pluralisme agama dan menelanjangi kekeliruan pandangan Hick, sejumlah pemikir dan teolog Kristen serta dari kalangan muslim diundang untuk membeberkan keberatan atas hipotesa dan asumsi yang ditawarkan oleh Hick. Khususnya Islam, Legenhausen berpendapat bahwa pluralisme yang diasumsikan dapat merekonsiliasi berbagai keyakinan yang dimunculkan oleh pengalaman-pengalaman relijius, adalah konsep abstrak yang bertolak belakang dengan Islam dan mereduksi ajaran-ajaran agama terutama Islam. Alasan mengapa umat Islam harus menolak pluralisme adalah karena Islam bercirikan suatu bentuk ketaatan yang legalistik. Tak peduli betapa menyakitkannya kegagalan yang dihadapi umat Islam belakangan ini, tetapi umat Islam akan selalu berkeinginan untuk mewujudkan bangunan suatu masyarakat yang didasarkan pada contoh pemerintahan di masa Nabi yang sesuai dengan hukum Tuhan. Keinginan ini tidak akan bisa dipenuhi jika syariat dipersepsi sebagai tak lebih dari sebuah hasil respon kultural masyarakat Arab terhadap perjumpaan Nabinya dengan realitas. Monoteisme dalam Islam tidak dapat disejajarkan dengan Paganisme pada masa awal sejarah hadirnya Islam dalam masyarakat Arab.
Terlepas dari perdebatan antara Legenhausen dan Hick, timbul pertanyaan yang menggelitik dalam benak saya melanjutkan pemikiran Hick, "Apa di Surga nanti juga ada Isu SARA sebagaimana yang sering saya jumpai dalam realitas kehidupan sehari-hari saat ini?" atau malah memang tidak ada sama sekali? Jika tidak ada sama sekali, lantas saya akan kembali dihadapkan kepada pertanyaan lain yang sama yang diungkapkan John Hick, apakah orang lain yang menganut agama di luar agama saya bisa masuk surganya Tuhan meski agama yang kami yakini berbeda-beda?
Mungkin kita bisa menjawabnya, "Ya beda-lah, orang agamanya beda, Tuhannya beda, surganya pun beda." atau "Kan banyak jalan menuju Tuhan, semua agama mengajarkan nilai-nilai ketuhanan dan jalan keselamatan yang esensinya sama." atau "Ya berbeda, bagi agama saya cuma penganut agama saya yang berhak masuk surga dan yang lainnya kafir pasti masuk neraka." semua jawaban itu mungkin sah-sah saja sebagai pendapat. Oleh karena itu, Hick membahas tentang pluralisme agama yang ternyata tidak hanya sekedar dalam pengertian normatif belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H