Mohon tunggu...
Patri Handoyo
Patri Handoyo Mohon Tunggu... Seniman - Seniman

Pegiat Seni, Rakyat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Jembatan Penyeberangan

3 Desember 2013   00:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:24 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Nanti sajalah di rumah, supaya bisa berhemat...

Sekarang sudah hampir jam tujuh malam, paling cepat tiba di rumah setengah sembilan. Dan sepanjang satu setengah jam ke depan, haruskah menahan lapar?!

Saat ini, walaupun tadi siang tak sempat makan, aku tak mau lagi makan di jalan. Lagipula otakku tak bisa berhenti membayangkan neraka perjalanan pulang!!

Peperangan batin terus berkecamuk sambil kulangkahkan kaki dengan gontai membayangkan apa yang akan terjadi satu setengah hingga dua jam ke depan. Serial peristiwa yang harus dijalani: Berada dalam antrian puluhan, mungkin ratusan, orang yang siap berebut saling menyerobot karena hampa akan kepastian; Bergelantungan berdesakan menahan gravitasi berpadu daya dorong mekanis; Menunggu di ruang pengap, tanpa udara segar masuk walaupun tiga angka telah terlalui jarum panjang arloji, walaupun protes atas penghalangan jalan demi mengejar setoran bertubi-tubi dilancarkan, umpatanpun terdengar laksana refrain dalam orkestra yang dimainkan dengan alat-alat musik bernama klakson; Selepas itu, berada lagi dalam situasi serupa, atau membayar lebih untuk dapat langsung menghempas angin yang tak jua mengenyahkan aroma keringat sosok yang berada di dekapan kedua lututku.

Cairan bening dari dalam lambung yang kosong tak dapat tertahan keluar melalui mulutku yang kelu, rasa mual yang hebat akibat merambat naiknya cairan asam tersebut ke kerongkongan belum juga menghilang. Aku terus berjalan. Hujan lebat yang baru saja reda meninggalkan kemacetan parah di ruas-ruas jalan karena genangan air. Hujan pertama di penghujung kemarau yang selama enam bulan ini mengisi kota dengan hawa panas dan debu tak mampu menyejukkan perangai orang-orang yang setiap hari harus bergelut dengan keringat dan tak lelah bersikap saling bersaing dalam upaya bertemu dengan keluarga dan beristirahat. Pulang. Untuk kemudian mengulang ritual tersebut ketika fajar menyingsing.

Dari seberang jalan kulihat antrian orang sepanjang hampir tigapuluh meter, terdiri dari beberapa baris yang tak teratur. Kegelisahan terpancar jelas dari raut wajah mereka yang bergerak saling menyerobot ketika yang dinantikan tiba. Pikiranku kembali berkecamuk. Gentar hatiku untuk berada di dalamnya meskipun nasib naas tak pernah menimpa tiap kali kuberada di sana.

***

Sore itu Sita membagikan pamflet kepada orang-orang dan menempelkannya di ruang-ruang kosong yang ditemuinya sepanjang perjalanan dari kantornya. Pamflet tersebut berisi pengumuman tentang kelompok baru yang saat ini sedang menggalang anggota. Perempuan manis berusia pertengahan duapuluhan ini adalah salah seorang warga yang mencermati masalah transportasi masal di kota ini. Sebagai pengguna angkutan umum dalam menopang rutinitasnya di sebuah perusahaan periklanan, dia merasa prihatin dengan keadaan tersebut. Beberapa minggu lalu bersama teman-temannya dia meresmikan kelompok bernama Metropolitan, disingkat Spektrum.

Peresmian kelompok tersebut diliput oleh beberapa media massa, dan keberadaannya cukup mendapat sambutan positif dari masyarakat. Aku membaca di salah satu majalah dan mengenal Sita dari sana sebagai juru bicara kelompok, lengkap dengan fotonya. Saat itu dia menyatakan bahwa kondisi transportasi umum saat ini pada akhirnya hanya menguntungkan jajaran pebisnis kendaraan pribadi, pengemplang pajak, dan pegiat proyek-proyek pekerjaan umum.

“Mau bergabung, Mbak?”

Aku mengambil pamflet yang disodorkan tanpa menjawab pertanyaan tersebut. Sesaat sebelumnya aku memang memperhatikan pamflet yang sedang ditempelnya di sebuah halte yang kulewati.

“Mbak pengguna transportasi umum juga, kan?” sambil berjalan, Sita mencoba terus berkomunikasi denganku.

“Eh, iya...” jawabku sekenanya sambil membenarkan posisi jilbabku.

“Boleh bareng kan Mbak jalannya?”

“Eh, boleh,” aku mencoba bersikap ramah pada perempuan yang kukenal dari liputan majalah yang kubaca ketika itu.

“Memang sudah berapa anggotanya? Oh iya, nama saya Reni!”

“Sita,” dia menjabat uluran tanganku, “sudah dua ribuan orang, Mbak.”

Kemudian sambil menyusuri trotoar, kamipun bercakap-cakap seputar aktivitas kelompoknya. Sita anak muda yang penuh semangat, dia membeberkan gagasan mengapa kelompok itu perlu dibentuk beserta cita-citanya.

“... ya itulah cita-cita kami, Mbak. Karena transportasi masal merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh penyelenggara negara, dalam hal ini pemerintah. Masyarakat sudah dikenakan berbagai macam pajak dan retribusi mulai dari penghasilan dari keringat sendiri, parkir, hingga makan di restoran. Tapi tetap saja masyarakat tidak dapat merasakan kenyamanan layanan publik,” begitu penuturannya.

Aku tak begitu memahami seluruh hal yang dijelaskannya. Bagiku tata negara tak ada hubungannya dengan ini semua yang merupakan pilihan. Jika tak ingin berdesak-desakan dalam antrian, berarti aku harus menganggarkan sebagian penghasilanku untuk bisa memiliki kendaraan pribadi. Dengan kendaraan pribadi, jika berada dalam kemacetanpun, aku tak harus berkeringat, aku bisa sambil menonton televisi atau mendengar musik kesukaanku.

“Kalau menurut Mbak sendiri bagaimana?” Sita memecah sanggahan dalam batinku.

Sebelum sempat menjawab pertanyaan tersebut, ternyata kami telah berada di persimpangan jembatan dimana Sita melangkahkan kakinya berjalan terus, sementara secara reflek aku berbelok arah. Aku menghentikan langkahku, “Aku ke sini ya, Sita!”

Sita pun menghentikan langkahnya. Segera kusambung kata-kataku, “Kalau menurutku, masyarakatlah yang harus disiplin. Turun, memberhentikan angkutan umum di tempat yang telah disediakan dan tidak saling berebutan!”

Dia mengangguk tanda paham kemudian menimpali, “OK deh, Mbak. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya.”

***

“Hey goblok!! Hentikan kegiatan kelompokmu kalau tidak mau anggota keluargamu celaka!!!” sebuah SMS ancaman terkirim ke ponsel Sita. Berkali-kali dia mencoba menghubungi nomor tersebut namun tidak diangkat dan kemudian mati. Sejak Spektrum dipublikasikan, baru kali ini dia mendapat tanggapan seperti itu. Jika tanggapannya seperti yang dikemukakan Reni di jembatan penyeberangan kala itu, telah banyak dia dengar. Namun ini adalah sebuah ancaman, teror, dari seorang pengecut. Segera Sita menghubungi teman-temannya dan menceritakan tentang teror tersebut.

Empat hari lalu Spektrum mengirimkan press release ke sejumlah media massa, membeberkan rencana pemerintah untuk menunda pembangunan jalur kereta api metropolitan terpadu yang sarat dengan kolusi. Alasan penundaan tersebut adalah karena harga minyak dunia sedang melambung sehingga pemerintah harus lebih banyak mengalokasikan anggaran untuk subsidi BBM. Rencananya jalur kereta tersebut akan menghubungkan pusat-pusat bisnis dan perkantoran di kota dengan seluruh pemukiman yang berada di kawasan penyangga metropolitan.

Sebenarnya pengembangan transportasi massal itu sudah lama direncanakan, seiring dengan maraknya pengembang yang membangun perumahan-perumahan di pinggiran kota. Pemerintah ketika itu mensyaratkan untuk dapat membangun kawasan pemukiman, para pengembang harus juga mengembangkan transportasi masal bagi warga pemukiman. Dan untuk mengintegrasikannya, pemerintah berinisiatif merancang jalur kereta tersebut sehingga para pengembang cukup membayar pungutan demi memenuhi persyaratan.

Pengelolaan pungutan berupa pajak tersebut dilakukan oleh tiga pemerintah provinsi, sehingga memang terdapat tantangan tersendiri dari prosedur pemungutan, pengelolaan, hingga pengalokasiannya. Belum lagi para pengembang saat itu cukup dapat memanfaatkan oknum birokrat di sana, sehingga dokumen-dokumen tentang persyaratan pembangunan kawasan pemukiman yang dibuat duapuluh tahunan lalu tidak pernah terdengar kabar beritanya. Fakta-fakta mengenai keberadaan peraturan itu menjadi isu yang didengungkan pada saat peresmian Spektrum beberapa minggu lalu.

Spektrum memang baru beberapa minggu resmi didirikan, namun cikal bakalnya telah ada sejak lama. Dimulai pada tahun 80-an ketika para pengguna kereta api warga pemukiman di pinggiran timur metropolitan membentuk kelompok untuk memberikan saran-saran peningkatan kualitas layanan kepada pengelola kereta. Awal 90-an, masih dari kawasan yang sama, pengguna bis yang menghubungkan daerah pemukimannya dengan pusat kota membentuk kelompok sejenis. Kegiatan kelompok-kelompok tersebut tidak melulu memikirkan dan berdiskusi untuk peningkatan kualitas tranportasi umum yang mendukung aktivitas mereka sehari-hari, mereka kadang melakukan tamasya bersama, mengadakan acara seni, dan bakti sosial. Komunitas-komunitas serupa kemudian muncul di sejumlah kawasan metropolitan dan daerah-daerah penyangganya.

Pasca kerusuhan 1998, kelompok-kelompok ini tidak begitu terdengar kiprahnya, namun pengorganisasian masih terus berlangsung seiring semangat reformasi di berbagai bidang, termasuk layanan publik. Namun gaung untuk memulihkan kondisi perekonomian yang porak-poranda ketika itu memang lebih nyaring terdengar. Sayangnya upaya-upaya yang dilakukan untuk sektor tersebut justru memperburuk kondisi transportasi di metropolitan dan sejumlah kota di negeri ini. Salah satunya adalah diturunkannya suku bunga dan kemudahan seseorang untuk mengajukan kredit kendaraan pribadi. Tingkat konsumsi menjadi indikator pertumbuhan ekonomi.

“Aku juga dapat SMS serupa,” keluh Bimo.

“Terus gimana?”

“Ah, anggap saja angin lalu.”

“Bagaimana kalau itu sungguhan, Bim?”

Bimo mengrenyitkan dahi sambil mengangkat kedua pundaknya. Tak lama pintu terbuka dan beberapa rekan memasuki ruang tamu rumah Suryo, ketua Spektrum, membuyarkan obrolan Bimo dan Sita yang telah terlebih dulu ada di sana. Mereka datang atas undangan Suryo untuk rapat penting mendadak sore itu membahas teror yang diterima Sita pasca liputan media massa.

“Baiklah teman-teman, kita mulai saja!” Suryo yang baru keluar dari arah dapur membuka pertemuan dengan suara lantang.

“Siapa lagi, selain Sita, yang menerima teror?” sambungnya.

“Menurut rekan-rekan, siapa kira-kira yang mengirim SMS itu?” suara di baris kedua tempat duduk tak menghiraukan pertanyaan pemimpin rapat.

“Kenapa, kamu diteror juga, Lan?” Suryo bertanya.

“Tidak Mas, tapi aku sangat memahami perasaan Sita. Dan menurut aku, teror ini tidak dapat ditolerir walau hanya satu orang dari kita yang menerimanya,” Wulan berusaha membeberkan gagasannya.

“OK, yang pasti kita akan berusaha melalui proses hukum yang berlaku terhadap ancaman yang kita terima,” John menimpali.

“Menurutku, kita laporkan saja dulu kepada polisi sesuai prosedur. Toh organisasi kita adalah organisasi formal, dan data-data yang kita berikan kepada media dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya,” sambungnya.

Bersama Wulan, John adalah orang yang dipercaya mengelola data-data yang dikumpulkan anggota lainnya dalam upaya meraih cita-cita Spektrum. Sebelumnya dia adalah koordinator Serikat Pengemudi Angkutan Umum Metropolitan untuk urusan mobilisasi massa. Beberapa kali dia memimpin pemogokan supir atas kenaikan tarif dan setoran yang dipatok oleh pemda atas desakan juragan-juragan pemilik kendaraan.

“Yang kita perjuangkan saat ini pastinya akan mengubah struktur sosial ekonomi yang telah dibentuk selama puluhan tahun. Ada pihak-pihak yang terancam kehilangan sumber keuangannya selama ini jika tujuan kita tercapai. Dan merekalah yang aku pikir yang melakukan teror terhadap kita,” Vina mengingatkan.

Vina adalah salah seorang pendiri Kelompok Penumpang Kereta Metropolitan Timur di tahun 80-an yang saat ini aktif di Spektrum. Dia mengetahui seluk beluk perkeretaapian di Indonesia dari berbagai sudut pandang sehingga moda transportasi massal tersebut tidak berkembang dan tidak diminati masyarakat metropolitan. Sebagai anggota dewan perwakilan rakyat daerah dari partai pemenang pemilu lalu, Vina memiliki akses dan koneksi yang luas di jajaran anggota dewan dan pemerintahan daerah. Selain Vina, beberapa orang yang aktif di Spektrum memang memiliki posisi di pemerintahan, legislatif, dan orang-orang terkemuka lainnya. Hal ini tak lepas dari cikal bakal Spektrum yang sudah menggelinding sejak lama, sehingga akurasi data-data yang terkumpul menjadi pijakan pergerakannya memang tinggi, bukan sekedar rumor.

“Itu yang saya maksud, Bu!” timpal Wulan, “masih ingat kan pelaku-pelaku kolusi yang kita sebutkan dalam press release kita?”

“Saya rasa tidak sesederhana itu, Lan,” bantah Suryo.

“Bagaimana tidak sesederhana itu, Mas?” Wulan menimpali.

“Lihat ini,” Suryo menyodorkan koran pagi itu yang memberitakan pemenang tender pembangunan jalan tol yang akan menghubungkan pusat kota dengan ruas-ruas jalan tol lingkar metropolitan yang sudah ada.

“Mereka adalah sasaran tembak kita berikutnya!” Suryo menyambung dengan mantap.

“Apa hubungannya??” Sita kebingungan.

“Begini,” Suryo memulai kembali kata-katanya, “Seperti yang Ibu Vina bilang, struktur transportasi umum kita sudah kuat terbentuk dan telah banyak pihak yang terlibat serta mendapat keuntungan dari kondisi kacau balau ini. Artinya, sebagai kelompok yang menghendaki terjadinya perubahan tatanan di masyarakat, Spektrum harus siap menanggung resiko-resiko seperti yang dialami olehmu, Sita. Kita harus maju terus! Saya setuju dengan usulan John bahwa kita harus adukan teror ini ke polisi. Makanya tadi saya tanya siapa lagi yang mendapat teror. Kita di Spektrum saling menjaga seluruh anggota. Kabar tentang adanya teror dan hasil rapat kita sore ini akan disebarkan ke seluruh anggota dan rekan-rekan pendukung lainnya termasuk pers. Untuk saat ini, Sita bisa digantikan dulu sebagai jubir.”

Suryo menyeruput kopi di hadapannya yang sudah mulai dingin, “Daripada kita sibuk mencari siapa peneror itu, karena ada banyak pihak yang terancam walaupun belum kita beberkan namanya ke publik, lebih baik kita bergerak terus. Mala, bagaimana tentang penyidikan kasus pengabaian persyaratan pengembang tahun 80-an itu? Kabarnya, berkasnya sudah masuk kejaksaan ya?”

“Ya, Rabu depan mantan Direktur Jenderal Pajak yang dipanggil kejaksaan, Sur,” jawab Mala yang di Spektrum bertindak sebagai ketua urusan hukum.

“Mengenai berita ini,” sambil menunjukkan koran yang tadi disodorkan Suryo, Bimo angkat bicara, “perusahaan pemenang tender itu memang tidak ada dalam daftar kita...”

Belum selesai Bimo berbicara, Wulan yang duduk di belakangnya menyambar, “Tapi mereka pemain lama, kan Mas Bimo?!”

“Ya, betul. Mereka menguasai sepertiga pengelolaan jalan tol yang ada,” sambar Vina.

“Coba, Mas Bimo, selesaikan dulu yang tadi,” dengan suara lantang Suryo mengambil kendali rapat.

Rapatpun dilanjutkan dan keesokan harinya kabar tentang juru bicara Spektrum yang mendapat ancaman lewat SMS telah tersebar ke seluruh anggota dan diberitakan sejumlah media massa. Hari-hari berikutnya, sepak terjang Spektrum semakin tidak terbendung dari mulai pengusutan kasus-kasus kriminalitas kerah putih hingga pengajuan usulan tata transportasi umum lengkap dengan laporan studi-studinya yang mendalam. Jumlah anggota dan simpatisan kian bertambah. Dukungan diberikan oleh berbagai kalangan termasuk dari masyarakat internasional.

***

Rekaman suara perempuan menggema dari pengeras suara, menginformasikan bahwa bis telah tiba di tempat pemberhentian yang aku tuju. Di jam istirahat siang ini aku menyempatkan diri ke showroom mobil yang sebenarnya terletak hanya beberapa blok dari kantorku. Namun karena teriknya matahari tak dapat terhalang oleh jajaran pohon seadanya di sepanjang trotoar, aku memutuskan untuk menggunakan bis kota yang tempat pemberhentiannya tepat di depan showroom tersebut.  Seorang pria menghampiriku dengan senyum yang diusahakan seramah mungkin. Tanpa kedip aku memperhatikan mobil di hadapanku yang telah berkali-kali aku lihat di majalah dan brosur. Aku menoleh ke pria tadi yang masih setia berdiri menemaniku mengagumi benda di depanku, tanpa berusaha mengganggu dengan suara dari mulutnya.

“Berapa harganya, Mas?”

“Silahkan diminum dulu, Bu...” pria tadi mempersilahkan aku untuk mengambil segelas fruit punch yang dengan sigap dibawa oleh pelayan dari arah belakang.

Setelah kuteguk hingga hampir setengah gelas minuman itu, “Harganya 143 juta, Bu.”

Demi melihat perubahan air muka setelah kumendengar angka yang disebutnya, “Ibu bisa memilih cara pembayaran yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan keuangan Ibu, kok.”

Aku terkesan dengan caranya menenangkan pikiranku. Lalu dengan sigap dia menarik kursi dan, “Silahkan duduk dulu, Bu!”

Sambil menyodorkan kertas berisi tabel-tabel, “Ini ada beberapa skema pembayaran.”

“Banyak orang sekarang memilih untuk membayar dengan cara kredit, Bu. Karena dengan demikian, kita bisa mengatur dan menyesuaikannya dengan pengeluaran bulanan,” sambungnya.

Dari sejumlah tabel yang ada di hadapanku, yang paling sesuai dengan penghasilan bulananku adalah kredit dengan jangka waktu tiga tahun. Itupun aku masih harus menambah tabungan yang ada saat ini dengan setengah gajiku untuk membayar uang mukanya. Tapi yang pasti, aku sudah muak berdesak-desakan dan menuruti pengemudi angkutan umum yang seenaknya berhenti menunggu penumpang penuh tanpa mempedulikan aku yang harus segera tiba ke tempat tujuan. Aku juga sudah tak tahan dengan tetangga-tetanggaku yang terlihat sangat bangga menawariku untuk ikut di dalam mobilnya ketika berpapasan di jalan keluar perumahan. Mungkin mereka tidak memandangku sebelah mata, tapi aku merasa demikian. Pada saat bersama keluarga, mereka melambaikan tangan dari dalam mobil sementara aku bersama suami dan kedua anakku berdiri di pinggir jalan menunggu angkutan umum untuk wisata akhir pekan. Aku ingin gaya hidup seperti itu!!

“Jadi bagaimana, Bu?” tanya pria itu menggugahku dari lamunan.

“Oh.... Begini deh, Mas,” aku berusaha tenang, “Saya bawa brosur-brosur ini untuk saya pelajari dan diskusikan dengan keluarga di rumah,” padahal sudah berkali-kali aku mendiskusikan mobil ini dengan suamiku. Dan aku sudah memiliki dua brosur yang sama yang kudapat dari pameran di pusat perbelanjaan yang kukunjungi akhir-akhir ini.

“Baiklah kalau begitu, Bu. Saya bisa bantu untuk masalah pengaturan pembiayaan. Pasar otomotif saat ini sedang tumbuh karena banyaknya permintaan dan suku bunga bank yang rendah. Kalau ibu memang sangat berminat dengan mobil ini, Ibu bisa membayar tanda jadi dulu supaya ibu bisa membayar harga sesuai dengan yang di daftar harga itu.”

“Lho, memangnya.....?”

“Iya Bu. Daftar harga itu dikeluarkan tiap minggu. Dan seperti yang tadi saya katakan bahwa permintaan produk otomotif sedang tinggi, jadi harga bisa naik kapan saja. Kalau ibu membayar tanda jadi sebesar dua juta rupiah sekarang, misalkan besok harganya naik, ibu tetap membeli mobil ini dengan harga yang berlaku di daftar tersebut.”

Aku setengah tak percaya dengan yang kudengar barusan. Bagaimana mungkin produk yang sama, dijual di tempat yang sama, karena berbeda waktu, maka berbeda pula harganya?

Belum sempat benakku berkelana jauh, “Ini saya perlihatkan harga seminggu lalu. Untuk mobil yang ibu mau, minggu lalu harganya 139 juta.”

Kenaikan yang cukup signifikan! Mungkinkah terjadi penurunan?? Aku bertanya-tanya dalam hati, namun, “Harganya pernah turun tidak, Mas?” tak sanggup kutahan rasa penasaranku.

“Tidak pernah, Bu. Karena akan ada varian baru. Varian yang ini tidak lagi diproduksi, dengan demikian unitnya menjadi terbatas. Jika sudah terbatas, harga barunya akan naik terus hingga mendekati harga varian barunya. Kecuali Ibu mau beli yang bekasnya. Tapi beda kan Bu mobil baru dengan mobil bekas, rasanya.”

Aku mengangguk paham.

Seminggu lalu aku berdiskusi dengan suamiku mengenai pembelian mobil ini setelah mendapat brosur dan berbincang dengan tenaga pemasaran di sebuah pusat perbelanjaan. Pada dasarnya dia tidak keberatan jika aku menyisihkan sebagian gajiku untuk membayar cicilan kredit, karena toh tetap masih ada sisa untuk ditabung. Karena gaji suamiku sudah habis untuk makan sehari-hari, biaya sekolah kedua anakku, dan cicilan rumah, maka hal-hal seperti perabotan rumah dan pakaian yang bersifat tidak rutin dibebankan kepadaku.

Kami baru dua tahun menempati rumah kami sendiri setelah sembilan tahun tinggal bersama mertua. Bahkan dengan cicilan sepuluh tahun pun, kami hanya bisa mendapatkan rumah di pinggiran metropolitan. Namun aku masih bersyukur karena sebagai tenaga pengajar di sebuah sekolah menengah kejuruan negeri, suamiku masih bisa menyisihkan penghasilannya yang akhirnya digunakan untuk pembayaran uang muka rumah. Aku sendiri bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi swasta di pusat kota metropolitan. Anak-anakku saat ini duduk di kelas tiga dan satu SD di dekat rumah.

Setiap pagi aku harus berangkat dari rumah paling lambat jam 6.30 setelah mempersiapkan keperluan kedua anakku ke sekolah dan sarapan. Mereka menggunakan antar jemput sekolah, walaupun letak sekolahnya tidak begitu jauh dari rumah.

Perjalanan dari rumah ke kantor kutempuh dengan waktu sekitar dua hingga dua jam setengah menggunakan kendaraan umum. Paling tidak dengan kendaraan pribadi, waktu tempuh menjadi lebih singkat 30-45 menit karena tidak perlu menunggu dan tidak berhenti di tiap halte yang dilalui. Dan, aku tidak harus merasa rendah diri ketika berpapasan dengan tetanggaku di jalan dengan mobilnya.

Tanpa berkata-kata lagi, dompet yang berada di dalam tas sudah berada di tanganku, seolah terhipnotis oleh pesona tenaga pemasaran di hadapanku ditambah bayangan-bayangan tentang kendaraan umum versus kendaraan pribadi, gengsi versus kesederhanaan. Proses transaksipun selesai dengan jaminan bahwa aku dapat membeli mobil itu seharga yang tercetak di daftar harga edisi minggu ini. Walaupun aku harus melunasi uang muka dalam lima hari ke depan, tepat sehari setelah tanggal gajian. Aku tak tahu apa yang kurasakan saat itu.

***

Dari seberang jalan kulihat antrian orang sepanjang hampir tigapuluh meter, terdiri dari beberapa baris yang tak teratur. Kegelisahan terpancar jelas dari raut wajah mereka yang bergerak saling menyerobot ketika yang dinantikan tiba. Pikiranku kembali berkecamuk. Gentar hatiku untuk berada di dalamnya meskipun nasib naas tak pernah menimpa tiap kali kuberada di sana.

Biasanya jika langit sudah gelap dan kulihat antrian seperti itu, aku lebih memilih menggunakan taksi daripada harus berdesak-desakan. Namun kali ini aku tidak mengambil pilihan itu, walaupun perutku terasa perih karena seluruh waktu istirahat siang tadi kuhabiskan di showroom. Selain itu, demi mobil yang kuidamkan, aku harus mulai berhemat mulai sekarang. Makan malam harus di rumah, kalau perlu makan siang kubawa dari rumah!

Di persimpangan jembatan penyeberangan aku membelokkan langkah ke kanan, bukan lurus menuju tempat aku biasa mencegat taksi. Aku mengutuki antrian panjang di bawah hingga tak ada lagi yang mampu merasuki benakku hingga seseorang berteriak, “Tangkap orang itu!!”

Seketika seseorang menabrak bahuku dari arah depan hingga aku harus mencari keseimbangan agar tidak terjerembab. Pria yang menabrakku terus berlari, berbelok di persimpangan, melabrak apapun yang menghalanginya. Beberapa orang mencoba menghalangi usaha pelariannya, namun kebanyakan orang terperangah oleh teriakan-teriakan orang di bawah.

“Jambret... jambret...!!” beberapa orang yang berada dalam antrian berteriak sambil memegangi sesosok tubuh perempuan yang tumbang berlumuran darah.

Sekilas kulihat pria yang tadi menabrakku memang lari membawa tas hasil rampasan milik orang yang menjadi korbannya. Pria itu bukan hanya merampas tas, namun juga menikam dada korban berkali-kali. Dan kini kepanikan terjadi di dalam antrian tersebut.

“Kita harus membawanya ke rumah sakit!” teriak pria setengah baya yang memegangi pinggang korban.

“Tolong.. Bu, Pak, minggir!” teriak pemuda yang memegangi pundak sang korban agar tetap berada dalam posisi tegak kepada orang-orang yang berada di depannya.

“Cepat digotong, Pak!” usul seorang ibu yang bajunya terkena lumuran darah.

Dalam sekejap, korbanpun digotong oleh dua orang yang sejak tadi menahan tubuhnya agar tidak ambruk. Yang lain menyingkir dari kerumunan memberikan ruang gerak. Dari sekian banyak orang yang ada di sana, hanya dua orang itu yang bersedia membawa korban mendapatkan pertolongan. Lainnya sibuk berkomentar dan banyak dari mereka yang langsung kembali ke dalam antrian dan kembali saling berebut.

Di tangga jembatan aku terdiam, nafasku sesak. Aku sangat terguncang dengan kejadian yang berlangsung cepat: ditabrak hingga hampir tersungkur; teriakan-teriakan orang; korban yang berlumuran darah yang saat ini mendekatiku bersama dua orang yang menggotongnya. Aku tak tahan untuk tidak melihat ke arah korban saat melintas di hadapanku. Perempuan malang yang nampak sudah tak bernyawa itu mengenakan setelan celana dan jaket jeans, rambutnya ikal dipotong pendek, dan... Aku mengenalnya. Dia Sita. Perempuan yang beberapa waktu lalu berbincang denganku dan berpisah di jembatan ini, sang juru bicara Spektrum.

Jayapura, 17 Januari 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun