Dimuat di Harian HALUAN (Jum'at, 25 Maret 2011)
“Dalam berbagai bentuknya, kekerasan tidak bisa ditoleransi lagi. Untuk menyikapi perbedaan, baik karena agama, pandangan keagamaan, maupun lainnya, semua pihak harus bisa menahan diri tidak menggunakan kekerasan untuk menyelesaikannya” (M. Quraish Shihab)
Kekerasan yang bernuansa agama tak kunjung berhenti. Yang terjadi baru-baru ini, kasus penyerangan warga Ahmadiyah di Cikeusik, gereja di Temanggung dan pesantren YAPI di Pasuruan, kekerasan keagamaan terjadi juga di Indramayu. Sekelompok orang tak dikenal melempari rumah pengikut aliran Tarekat hingga kaca dan perabotan rumah pecah. Beruntung penghuni tidak berada di tempat, hingga peristiwa tersebut tidak menelan korban jiwa. Sampai pada teror bom yang dikemas dalam bentuk buku yang dialamatkan kepada individu.
Seperti diberitakan, tiga bom berbentuk buku, Selasa (15/3/2011) yang lalu, dikirimkan kepada Kepala Badan Narkotika Nasional Gorries Mere, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla, dan Ketua Umum Pemuda Pancasila Yapto Soerjosoemarno. Bom yang ditujukan untul Ulil meledak di kantor Komunitas Utan Kayu saat hendak dijinakkan Kasat Reskrim Polres Jakarta Timur Komisaris Polisi Dodi Rahmawan yang mengakibatkan Kasat Reskrim Pelres Jakarta Timur tersebut mengalami luka yang cukup serius.
Tidak hanya sampai disitu terror bom buku juga menerjang musisi kenamaan tanah air, Ahmad Dhani. Paket buku berisi bom itu dikirim ke kantor Republik Cinta Management (RCM) milik Dhani di Jalan Pinang Mas 3 Nomor E1, Jakarta Selatan, pada hari yang sama dengan diterimanya tiga bom buku lain di lokasi berbeda.
Mengapa konflik bernuansa keagamaan yang berujung kekerasan dan merusak ini tidak kunjung reda? (Si)Apa yang salah? Adakah solusi mengelola konflik keagamaan agar produktif dan tidak destruktif?
Semua pihak sepakat bahwa aksi kekerasan keagamaan tidak dapat dibenarkan dan berusaha mengenyahkannya dari muka bumi ini. Namun begitu, pemerintah, lembaga yang diamanati konstitusi melindungi hak setiap warganya, cenderung mengantisipasi kekerasan keagamaan dengan pendekatan teologi.
Konsep maqasid al-syariah bertujuan untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari’ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus berorientasi kepada maslahat tanpa ada yang termarginalkan.
Sejak awal syari’ah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari’ah Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir-batin; duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan maslahat. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap nash, seperti apa yang diusung dan dibumingkan oleh faham ortodoksi, telah membuat prinsip maslahat hanya sebagai jargon kosong, dan syari’ah yang pada mulanya adalah jalan yang lapang, yang bisa ditempuh dan dilalui setiap orang telah menjadi jalan yang sempit yang hanya teruntuk bagi dirinya sendiri dan orang yang sehaluan dengannya.
Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari kerangka pemikiran hukum Islam adalah maslahat, maslahat manusia secara universal, atau dalam ungkapan yang lebih operasional “keadilan social”. Tawaran teoritik (ijtihadi) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nash atau pun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya maslahat kemanusiaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana pun, yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya maslahat, lebih lebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah fasid, dan umat Islam secara orang perorang atau bersama-sama terikat untuk mencegah dan mengantisipasinya.
Sebagai Tolak Ukur Tindakan