Kritikan terhadap Aliran Positivisme Hukum
Dalam perkembangan aliran postivisme hukum ini, muncul aliran yang merupakan reaksi dari dominasi pemikiran rasionalisme yang dianggap mempunyai banyak kelemahan yang didasarkan pada pemikiran yang hanya terpaku pada nilai-nilai atau asumsi-asumsi yang bersifat khayal. Oleh karena itu, akhirnya lahirlah aliran sejarah (historis) yang menginginkan suatu teori harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan atau fakta. Tokoh dari aliran sejarah ini diantaranya adalah Von Savigny yang menolak untuk mengagung-agungkan akal seseorang. Hukum baginya tidak dibuat, tetapi tumbuh dan ditemukan dalam masyarakat.
Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan pendapatnya yang amat terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh bersama masyarakat. Pendapat Savigny sangat bertolak belakang dengan pandangan positivisme, sebab mereka berpendapat bahwa dalam membangun hukum maka studi terhadap sejarah atau bangsa mutlak diperlukan. Pendapat tersebut oleh Puchta dibenarkan dan dikembangkan dengan mengajarkan bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan (Rahardjo, 2008: 164).
Teori hukum lain yang lahir dari proses dialektika antara tesis positivisme hukum dan antitesis aliran sejarah, yaitu Sociological Jurisprudence yang berpendapat bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Teori ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang hidup. Tokoh aliran ini terkenal di antaranya adalah Eugen Ehrlich yang berpendapat bahwa hukum positif baru akan berlaku secara efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (Lili Rasyidi, 1988: 55). Tokoh lain yaitu Roscoe Pound yang mengeluarkan teori bahwa hukum adalah alat untuk merekayasa sosial (law as a tool of social enginering).Roscoe Pound juga menganjurkan supaya ilmu sosial didayagunakan untuk kemajuan dan pengembangan ilmu hukum (Soetandyo, 2003: 8).
Penggunaan paradigma rekayasa sosial menekankan pada efektivitas hukum, yang umumnya diabaikan pada studi hukum tradisional yang lebih menekankan pada struktur dan konsistensi rasional dari sistem hukum. Dengan memperhatian perihal efektivitas hukum, maka perhatian studi hukum menjadi melebar dan melampaui kajian tradisional yang hanya menekankan pada masalah legalitas dan legitimasi saja. Memebicarakan efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan pendekataan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Hukum tidak dilihat sebagai institusi yang steril, melainkan senantiasa diuji kehadirannya dan karya-karyanya dari hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat luas (Rahardjo, 2002: 83).
Bersamaan dengan itu, berkembang juga aliran realisme hukum. Menurut aliran ini, hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Ciri-ciri ajaran realisme sebagaimana dikemukakan oleh Karl. N. Liewellyn adalah sebagai berikut: pertama, tidak ada mahzab realis. Realisme adalah gerakan dari pemikiran dan kerja tentang hukum; kedua, realisme adalah konsep hukum yang harus diuji tujuan dan akibat-akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat dari pada hukum; ketiga, realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada dan hukum yang seharusnya untuk tujuan-tujuan studi; keempat, realisme tidak percaya pada ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang menggambarkan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan dan orang; kelima, realisme menekankan evolusi tiap bagian dari hukum dengan mengingatkan akibatnya (Darmodiharjo dan Shidarta, 1995: 116).
Dalam menolak pemikiran hukum aliran positivisme, Holmes sebagai salah seorang tokoh aliran realisme, mentertawakan anggapan bahwa kasus-kasus hukum dipahami secara terbalik sebagai penerapan aturan-aturan (rules). Sebab kalau hukum itu adalah sekedar aturan-aturan, maka tidak akan ada proses ke pengadilan, oleh karena dengan mudah diterapkan aturan-aturan tersebut sebagaimana adanya aturan-aturan dalam permainan catur (Azizy, 2002: 206). Lebih lanjut, menurut aliran ini, bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dipraktekkan dalam kenyataan. Hukum bukanlah apa yang tertulis dengan indah dalam undang-undang, melainkan apa yang dipraktekkan oleh para pejabat penyelenggara hukum, polisi, jaksa, hakim atau siapa saja yang melaksanakan fungsi pelaksanaan hukum (Rahardjo, 2008: 168).
Di sini terlihat bahwa aliran realisme hukum merupakan lanjutan dari aliran Sociological Jurisprudence yang mengatakan sumber hukum satu-satunya bukan pemegang kekuasaan negara, namun para pelaksana hukum, terutama para hakim. Kekuasaan membuat hukum bukan lagi mutlak ada di tangan pemegang kekuasaan politik, namun juga berada di tangan para pelaksana hukum. Juga dinyatakan bahwa, bentuk hukum bukan lagi sebatas undang-undang, namun juga meliputi putusan hakim dan tindakan-tindakan yang dilakukan dan diputuskan oleh pelaksana hukum.
Di jerman, ajaran realisme hukum dikembangkan lebih lanjut dan melahirkan Ajaran Hukum Bebas (Freirechtslehre) yang menyatakan bahwa, tugas hakim adalah menciptakan hukum, itulah sebabnya hakim harus diberi hak untuk melakukan penemuan hukum secara bebas, karena tugas hakim bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa-peristiwa konkrit, sehingga peristiwa berikutnya dapat diciptakan menurut norma-norma yang diciptakan hakim. Bahkan lebih jauh mazhab ajaran hukum bebas menuntut agar pengadilan berhak mengubah hukum (peraturan perundang-undangan) apabila melahirkan malapetaka hukum (Rahardjo, 2008: 168).
Setelah ajaran hukum bebas, kemudian muncul Critical Legal Studies yang juga mengkritisi dan menentang habis-habisan pandangan dasar positivisme hukum yang merupakan pemikiran hukum liberal (Liberal Legal Thought) tentang netralitas, kemurnian dan otonomi hukum, dengan mengembangkan teori-teori kiri sebagai bahan inspirasi dan mengembangkan metode berpikir eklektik. CLS mengecam doktrin netralitas, kemurnian dan otonomi hukum dengan menyatakan bahwa istilah-istilah tersebut tak lebih sebagai mitos belaka, karena dalam kenyataannya hukum tidak bekerja dalam ruang hampa, namun sangat ketat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang subyektif. CLS menawarkan solusi agar pengkajian hukum dapat dilakukan tanpa harus terjebak oleh pikiran positivisme hukum, yaitu dengan menghilangkan pemisahan antara doktrin hukum dengan teori social empiris. CLS percaya bahwa doktrin-doktrin hukum yang terus mengharapkan pemisahan antara pemikiran hukum dengan ideologi dan falsafah politik hanya akan berakhir menjadi himpunan apologi yang carut marut (Rahardjo, 2008: 169).
Untuk kasus di Indonesia, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, aliran positivisme hukum cukup memberikan pengaruh terhadap tata hukum Indonesia. Tetapi pada perkembangannya dewasa ini, positivisme hukum sering dinilai sebagai aliran hukum yang kaku (statis), sehingga sangat diperlukan sebuah pemikiran maju untuk menjadikan hukum lebih hidup dan dinamis, agar masyarakat Indonesia dapat merasakan manisnya rasa keadilan di bumi persada ini. Untuk itulah Satjipto Rahardjo, seorang pakar hukum Indonesia, menggagas sebuah pemikiran cemerlang dalam bidang hukum yang dikenal dengan hukum progresif.
Raharjo sebagaimana yang dikutip Anton (2005: 11) menyebutkan bahwa dalam pandangan hukum progresif, undang-undang itu tidak selalu jelas. Kemampuannya untuk memberikan jawaban terhadap seribu-satu persoalan yang dihadapkan kepadanya juga sangat rendah. Ia tidak menyediakan pasal-pasal yang segera langsung bisa dipakai untuk menyelesaikan semua persoalan yang terjadi. Dalam hukum progresif, kata dan kalimat yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan hanya semacam eksemplar saja, sedang yang ingin dijangkau oleh hukum adalah suatu makna yang lebih dalam lagi, katakanlah, keadilan. Kalau demikian keadaannya, maka menurut Rahardjo (2005: 2) kita tidak dapat memegang peraturan tersebut secara mutlak atau hitam putih. Sedang di sisi lain, kaum positivisme tidak menerima cara pandang tersebut.
Hal di atas berarti hukum progresif berseberangan dengan aliran positivisme hukum, dogmatik hukum, dan normatif hukum dalam hal pemberian wewenang kepada aparat hukum untuk menginterpretasikan undang-undang agar tidak kehilangan elastisitasnya dan kemudian mampu mengakomodir permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Dengan kata lain aparat hukum harus berupaya untuk “menemukan hukum”, dalam rangka menemukan suatu yang baru sehingga dapat sesuai diterapkan dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H