Salah satu harapan tinggi masyarakat Indonesia adalah swasembada dan kedaulatan pangan. Berdaulat pangan tentunya berarti kita tidak lagi menggantungkan kebutuhan pangan kita pada negara lain. Berdaulat pangan juga berarti negeri ini bebas dari pihak-pihak tertentu yang memonopoli rantai pasok pangan kita.
Kedaulatan pangan dianggap sebagian pihak sebagai persoalan yang mudah. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Tapi fakta menyebutkan bahwa pada tahun 2014, tercatat beras sebagai komoditas pangan paling strategis, diimpor sebanyak 844 ribu ton. Sementara impor untuk jagung sebanyak 3,2 juta ton dan  bawang merah sebanyak 74,9 ribu ton. Â
Fakta ini tentunya menggambarkan bahwa cita-cita Indonesia untuk menggapai kedaulatan pangan bukanlah sesuatu yang mudah diraih. Pemerintah di semua era diyakini sudah bekerja untuk meraih itu. Tapi nyatanya kerja saja tidak lah cukup. Kita butuh sesuatu yang lebih kuat untuk dapat berdikari di sektor pangan.
Kita  memahami bahwa untuk mencapai kedaulatan pangan, Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Untuk itu, diperlukan untuk berpikir "out of the box". Setiap tantangan harus ditempatkan sebagai kesempatan yang justru menguntungkan kita dalam upaya meraih kedaulatan pangan.
Salah satu persoalan yang membayangi sektor pertanian sejak lama adalah konversi lahan pertanian. Di sejumlah sentra produksi pertanian, lahan produktif beralih fungsi menjadi lahan perumahan maupun industri. Tapi kondisi ini tak sepantasnya membuat kita berpangku tangan.
Kementrian Pertanian (Kementan) saat ini  menjalankan program Perluasan Areal Tanam Baru (PATB). Untuk meningkatkan luas areal tanam baru, Kementan tidak lagi terpaku pada lahan irigasi, tapi justru memanfaatkan lahan suboptimal, seperti lahan rawa.Â
Berdasarkan data Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) total lahan rawa pasang surut yang berpotensi menjadi lahan pertanian adalah 3,5 juta hektare dan lahan rawa lebak sebesar 11 juta hektare. Lahan tersebut tersebar di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Lampung.
Tantangan pengembangannya memang tergolong besar mengingat kondisi lahan rawa yang memiliki tingkat kesuburan rendah, infrastruktur belum berfungsi optimal, indeks pertanaman dan panen masih rata-rata 1 kali setahun, serangan hama dan penyakit tanaman masih tinggi,Â
Untuk itu, pemanfaatan teknologi dan sinergi berbagai pihak ditingkatkan sehingga rawa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produksi pangan. Kementerian Pertanian memberikan dukungan mekanisasi pertanian seperti eskavator dan melakukan pembangunan irigasi. Penggunaan varietas adaptif lahan rawa juga dipercaya akan mendorong keberhasilan budidaya tanaman di lahan rawa. Selain itu, pemanfaatan lahan rawa dilakukan dengan menjalin kerja sama antara pemerintah pusat, TNI, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Produktif di Semua Musim
Selain permasalahan konversi lahan pertanian, pemerintah juga dihadapi dengan permasalahan dampak perubahan iklim. Menyikapi musim kemarau yang berdurasi lebih panjang tahun ini, kita justru harus menjadikannya sebagai kesempatan baik yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas pertanian.Â
Musim kemarau sebagai sebuah keniscayaan selayaknya tidak menjadi halangan untuk berproduksi. Kondisi iklim kering seharusnya bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin karena hama lebih sedikit, sinar matahari cukup baik untuk fotosintesis dan proses pengeringan. Jadi kualitas gabah lebih baik, biaya produksi juga bisa ditekan.