Mohon tunggu...
Kunto Prastowo
Kunto Prastowo Mohon Tunggu... -

Belajar untuk lebih bisa memaknai hidup dan kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Gaji PNS Melambung

3 April 2010   20:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00 1248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin (3/4) saya membaca koran lokal terbitan Solo, Jawa Tengah. Ada salah satu tulisan yang menarik perhatian saya. Tulisan tersebut mengetengahkan rencana Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk menerapkan remunerasi bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di wilayahnya. Sang pejabat yang diwawancarai koran tersebut mengatakan pemerintah provinsi ingin mengikuti dua provinsi lain yang telah menerapkannya, yaitu Jawa Barat dan Bali.

Masih di koran tadi, sang pejabat terkesan bersemangat menyebut nominal paska remunerasi di kedua provinsi tersebut. Dikatakannya, gaji PNS golongan tertinggi kenaikannya bisa menjadi 27 juta rupiah. Sementara untuk golongan rendah berkisar 5-6 juta per bulannya.

Kondisi tersebut sejatinya sah-sah saja manakala reformasi birokrasi yang menjadi pijakan remunerasi bisa berjalan sebagaimana mestinya. Jangan sampai remunerasi seolah didasari karena latah ataupun keinginan agar dipandang daerahnya telah siap melakukan reformasi birokrasi dan remunerasi.

Semenjak kasus mafia pajak terungkap, seolah reformasi birokrasi dan remunerasi belum berpengaruh signifikan pada aparatur pajak. Gaji besar, golongan III A saja sebesar 12 juta rupiah.Apalagi di atas, tentu lebih makmur dibanding PNS di lingkungan lainnya. Menurut Menteri Keuang Sri Mulyani Indrawati kasus Gayus telah mencoret institusi dan juga Indonesia. Padahal, mereka telah mendapatkan gaji besar karena program reforamsi birokrasi dan remunerasi.

Desakan untuk mengkaji remunerasi kian menyeruak ke permukaan. Apalagi di tenah situasi ekonomi yang belum stabil seperti sekarang ini. Rasanya remunerasi akan semakin memberatkan APBN maupun APBD. Padahal efektivitas dan efisiensi birokrasi belum tentu terwujud.

Saya menjadi teringat saat reformasi birokrasi mulai dijalankan di salah satu kementerian koordinator di republik ini. Kala itu seluruh karyawan diberi pelatihan mengenai reformasi birokrasi, termasuk juga menyusun standard operating procedures/SOP di tiap-tiap unit kesatuan kerjanya. Acuan pembuatan SOP telah dibuat sebelumnya, menurut standar departemen keuangan, dan kemudian tinggal menyesuaikan di instansinya masing-masing. Workshop pembuatan SOP ini dilaksanakan beberapa hari di hotel berbintang di Jakarta. Karena sebagian besar karyawan ikut, saat itu kantin pada libur. Seingat saya juga, biasanya bila ada rapat seperti itu ada honor atau uang rapatnya. Enak bukan?

Setelah workshop itu, terlihat poster ataupun alat sosialisasi reformasi birokrasi terpajang di tembok yang mudah dibaca oleh seluruh karyawan di institusi tersebut. Selain itu, jam kerja kantor, baik masuk maupun pulang kantor termasuk jam istirahat dibenahi. Di awal-awal penerapan sistem ini, ada salah satu karyawan yang bercerita dirinya terpaksa berdiam diri di ruangan meski tidak ada pekerjaan, dan keluar ruangan sesuai aturan.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, kondisi tersebut masih berjalan seperti aturan. Seiring berubahnya waktu, kebiasaan yang terkesan terpaksa itupun juga mulai berubah. Apalagi ketika menterinya baru, terlihat ada perubahan.

Berkaca dari kondisi tersebut, penulis ingin menandaskan bahwa reformasi birokrasi belum seperti yang diharapkan. Birokrasi yang efektif dan efisien belum juga terwujud. Kecenderungan budaya menghabiskan anggaran sepertinya masih belum bisa dihilangkan. Apalagi ketika melihat kebijakan menteri baru ini. Salah satu contoh yang agak menggelikan adalah ketika para satpam yang sudah PNS ditarik ke dalam kantor. Mereka yang rata-rata berpendidikan SMA dan tidak memiliki pengalaman bidang tata laksana kantor terlihat canggung, kikuk, dan menggelikan. Ada salah satu kepala bagian yang bercerita pada penulis soal kebingungan menerima limpahan satpam ini. Menurutnya, satpam tersebut kompetensi intinya bukan di tata laksana kantor, tapi memang diplot sbg petugas keamanan, sehingga ketika mereka ditarik ke kantor malah menjadi bingung. Komputer mereka tidak bisa, apalagi keahlian tata laksana kantor lainnya. Akhirnya, semakin bertambahlah pekerja kurang produktif di institusi itu. Malahan, untuk receptionist juga diambil dari rekanan swasta, sehingga PNS yang biasanya menerima tamu dan telepon ditarik juga ke kantor.

Kebijakan tersebut menurut hemat penulis malah semakin memberatkan anggaran, karena pos pengeluaran semakin bertambah minimal untuk pos pekerja satpam dan penerima tamu yang ternyata berada di bawah bendera perusahaan rekanan institusi tersebut.

Nah, bila hal itu yang terjadi di reformasi birokrasi dan berujung pada remunerasi, bukankah malah akan semakin memberatkan anggaran serta birokrasi yang efektif dan efisien belum terwujud. Saya pun khawatir jika daerah mempersepsikan reformasi birokrasi secara kurang tepat dan remunerasi yang diterapkan tidak berkorelasi positif dengan kinerja pegawai, maka rakyat sebagai pembayar pajak tentu akan kecewa dan kecewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun