Mohon tunggu...
KUNTJOJO
KUNTJOJO Mohon Tunggu... Lainnya - Saya menikmati menulis karena saya senang bisa mengekspresikan diri dan ide-ide saya.

"Menulis sesuatu yang layak dibaca atau melakukan sesuatu yang layak ditulis."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengapa Remaja Cenderung Melakukan Tindakan Berisiko dan Bagaimana Strategi Pencegahannya?

29 November 2022   09:55 Diperbarui: 29 November 2022   13:14 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prefrontal korteks dan amigdala (sumber: https://turnaroundusa.org)

Latar Belakang Masalah

Sering terjadi perilaku-perilaku negatif yang melibatkan para remaja, diantaranya mengkonsumsi minuman keras dan obat-obat terlarang, hubungan seks pranikah, perkelahian antar pelajar dari sekolah yang berbeda, penganiayaan oleh anggota geng motor, balapan motor secara liar,  kejahatan jalanan (di Yogyakarta disebut klitih), dan seterusnya. Seperti yang diberitakan iNewsYogya.id bahwa sepanjang 2022 JPW  (Jogya Police Watch) telah mencatat terjadi 12 kali aksi klitih di Yogyakarta yang mengakibatkan korban luka-luka dan juga ada yang meninggal dunia. Dalam aksinya para pelaku klitih  menggunakan benda-benda tajam seperti celurit dan gir yang dikaitkan pada kain dan para pelaku mencari sasaran secara acak, sehingga siapa saja bisa menjadi korban (iNewsYogya.id., 2022).

Akibat dari perilaku remaja seperti disebutkan di atas bukan hanya merugikan yang bersangkutan tetapi juga orang lain. Bahkan ada korban yang meninggal dunia. Pertanyaan yang sering diajukan berkenaan dengan kejadian-kejadian tersebut di atas adalah "Mengapa remaja melakukan tindakan-tindakan  seperti itu?" "Apa mereka tidak tahu akibat dari tindakan tersebut?"  "Bagaima mencegah agar perilaku seperti itu tidak terjadi?" Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dari berbagai sudut pandang misalnya: sosiologi, biopsikologi, pendidikan,  dan seterusnya. Artikel ini membahas perilaku beresiko dan bermasalah remaja dari sudut pandang biopsikologi, khususnya perkembangan remaja dalam perspektif neurosains.   

Perkembangan Periode Remaja

Periode remaja, dalam bahasa Inggris  dinyatakan dengan istilah adolescence. Kata adolescence berasal dari bahasa Latin adolescere, yang berarti "tumbuh menjadi dewasa" (Gross, 2013: 306).  Sedangkan kata adolescent artinya remaja, menunjuk pada person atau individu yang berada pada rentang usia remaja. Masa remaja sulit untuk didefinisikan secara tepat, karena beberapa alasan. Pertama, diakui secara luas bahwa setiap individu mengalami periode ini secara berbeda tergantung pada kematangan fisik, emosional dan kognitifnya serta kemungkinan lainnya dan faktor kedua yang memperumit definisi remaja adalah variasi yang luas dalam pengaturan hukum nasional ambang usia minimum untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dianggap sebagai perlindungan orang dewasa, termasuk pemungutan suara, pernikahan, partisipasi militer, kepemilikan properti, dan usia di mana individu secara hukum dapat melakukan tugas-tugas tertentu yang mungkin terkait dengan masa dewasa (UNICEF, 2011: 8).

Sebagian besar ahli perkembangan manusia sepakat bahwa masa remaja berlangsung dari usia kira-kira 11 sampai dengan 19 tahun. Perbedaan nyata dalam pengalaman yang memisahkan remaja yang lebih muda dan lebih tua membuatnya berguna untuk mempertimbangkan dekade kedua kehidupan ini sebagai dua bagian: remaja awal dan remaja akhir (UNICEF, 2011: 6).

1. Masa remaja awal (10--14 tahun)

Masa remaja awal secara luas dianggap membentang antara usia dari 10 dan 14 tahun. Pada tahap inilah perubahan fisik umumnya dimulai, biasanya dimulai dengan percepatan pertumbuhan dan segera diikuti oleh perkembangan organ seks dan karakteristik seksual sekunder.

2. Masa remaja akhir (15-19 tahun)

Masa remaja akhir meliputi bagian akhir masa remaja, umumnya antara usia 15 dan 19 tahun. Perubahan fisik utama biasanya telah terjadi, meskipun tubuh masih berkembang. Otak terus berkembang dan mengatur ulang dirinya sendiri, dan kapasitas untuk berpikir analitis dan reflektif meningkat.

Periode remaja terutama ditandai dengan terjadinya pubertas.  Istilah pubertas berasal dari kata Latin pubertas, yang berarti dewasa. Secara teknis, istilah ini mengacu pada periode di mana seseorang mampu melakukan reproduksi seksual. Pubertas merupakan pertanda secara biologis bahwa seseorang dalam perkembangan menjadi dewasa. Selain menimbulkan perubahan-perubahan biologis, pubertas juga menyebabkan perubahan psikososial dan perilaku pada remaja.

Eksplorasi Pengalaman Baru dan Perilaku Beresiko 

Proses perkembangan remaja, baik secara kognitif, fisik, sosial, emosional, dijalani dengan ekspolasi pengalaman-pengalaman baru, saat mereka bertransisi dari masa kanak-kanak menjadi orang dewasa. Eksplorasi pengalaman baru pada remaja dapat mengarah pada pengambilan tindakan-tindakan yang beresiko (risk-taking behaviors) yang dapat membuat para orang tua khawatir meskipun menurut  para ahli gejala tersebut merupakan sesuatu yang wajar dan bagian dari proses perkembangan. Perilaku berisiko adalah perilaku yang berpotensi merugikan atau berbahaya baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Menurut Hamburg dan Dryfoos,  perilaku eksplorasi seperti itu wajar pada masa remaja dan remaja membutuhkan ruang untuk bereksperimen dan mengalami hasil pengambilan keputusan mereka sendiri dalam banyak situasi yang berbeda (American Psychological Association, 2002: 29). Ponton menyatakan bahwa pengambilan risiko pada masa remaja adalah cara penting remaja membentuk identitas mereka, mencoba keterampilan pengambilan keputusan baru mereka, dan mengembangkan penilaian realistis tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia (American Psychological Association, 2002: 29).

Penyebab Perilaku Beresiko Remaja 

Mengapa remaja cenderung melakukan tindakan-tindakan yang beresiko dan dapat berakibat buruk misalnya kecelakaan, sakit, masa depannya suram, dan bahkan ada yang dapat menyebabkan kematian diri sendiri maupun orang lain? American Psychological Association (2002: 30) merangkum beberapa teori berkenaan dengan fenomena tersebut sebagai berikut. Satu teori menekankan perlunya kegembiraan, kesenangan, dan sensasi baru dan intens yang mengesampingkan potensi bahaya yang terlibat dalam aktivitas tertentu. Teori lain menekankan bahwa banyak dari perilaku berisiko ini terjadi dalam konteks kelompok dan melibatkan penerimaan dan status teman sebaya dalam kelompok.  Teori ketiga menekankan bahwa pengambilan risiko remaja adalah bentuk pemodelan dan romantisasi perilaku orang dewasa.

Terjadinya perilaku beresiko pada periode remaja dapat dijelaskan pula dari sudut pandang biopsikologi, khususnya neurosains  perkembangan otak.  Berkenaan dengan perkembangan otak remaja, Ben Bashat dan koleganya menyatakan bahwa dua ciri perkembangan otak yang dimulai pada awal kehidupan hampir selesai pada masa remaja: (1) mielinasi (myelination), yaitu perolehan isolasi lemak yang membuat neuron mengirimkan informasi lebih cepat, dan (2) pemangkasan sinaptik (synaptic pruning), yang menghilangkan koneksi yang tidak perlu antara neuron (Kail & Cavanaugh, 2016: 275). Perkembangan tersebut membawa konsekuensi pada meningkatnya kemampuan otak remaja, berbagai wilayah di otak saling terhubung dengan baik dan proses pengiriman informasi menjadi semakin efektif, sehingga memungkinkan remaja untuk memproses informasi lebih efisien daripada anak-anak. Mielinasi yang sedang berlangsung memungkinkan pemrosesan informasi yang lebih cepat selama masa remaja. Sinaptogenesis, pemangkasan, dan mielinasi dianggap berkontribusi pada peningkatan kontrol perhatian sukarela, integrasi informasi yang lebih efektif, dan pematangan fungsi eksekutif lainnya (Broederick & Blewitt, 2015: 329).

Perkembangan otak pada masa remaja juga ditunjukkan dengan matangnya bagian-bagian otak, khususnya sistem limbik, yang membantu mengatur pengalaman penghargaan, kesenangan, dan emosi, mencapai kedewasaan pada awal masa remaja (Kail & Cavanaugh, 2016: 275). Sebaliknya, bagian otak yang lain yaitu korteks prefrontal yang terlibat di dalam kendali atas dorongan hati, pengorganisasian, perencanaan, dan pengambilan keputusan yang baik, tidak sepenuhnya berkembang hingga pertengahan usia 20-an (Lally & Valentine-French, 2019: 220).  Waktu perkembangan wilayah otak (sistem limbik dan korteks prefrontal) yang berbeda ini berpeluang terjadinya perilaku bermasalah pada remaja. Ketika korteks prefrontal remaja matang belakangan, maka amigdala (yang bertanggung jawab atas naluri dan perilaku beresiko) mengambil kendali sementara dan memungkinkan remaja menjadi lebih mandiri dari orang tua mereka (Winston:  2017: 15). Amigdala merupakan salah satu bagian dari sistem limbik yang bertanggung jawab atas perilaku naluriah, agresi, dan pengambilan resiko, dan menciptakan emosi yang kuat seperti ketakutan dan kemarahan. Peluang munculnya perilaku bermasalah menjadi semakin besar jika periode pubertas terjadi lebih awal. Waktu sekitar sepuluh tahun yang memisahkan perkembangan kedua area otak ini dapat mengakibatkan perilaku berisiko, pengambilan keputusan yang buruk, dan kontrol emosional yang lemah bagi remaja dan ketika pubertas dimulai lebih awal, ketidak cocokan ini meluas bahkan lebih jauh (Lally & Valentine-French, 2019: 220).

Dampak dari perkembangan bagian otak yang waktunya tidak sama berpengaruh pada perilaku. Perilaku remaja lebih dipandu oleh amigdala yang emosional dan reaktif, dan bukan oleh korteks frontal yang logis dan bijaksana. Perilaku remaja seringkali timbul karena dorongan untuk mencari sensasi yang terkadang datang dari perilaku berisiko, seperti ceroboh dalam mengemudi, merokok, atau minum minuman keras, dan seterusnya.  Remaja masih lemah mengembangkan kontrol kognitif untuk menahan impuls atau dorongan-dorongan yang beresiko. Ada yang mengibaratkan kecenderungan perilaku remaja yang beresiko tinggi seperti itu dengan mengendarai mobil dengan tenaga mesin yang tinggi tetapi masih lemah dalam penguasaan rem mobil. Para remaja berani melakukan tindakan tertentu yang berbahaya antara lain juga karena ingin mendapatkan penghargaan sosial dari kelompok sebayanya. Remaja sangat menanggapi penghargaan sosial selama aktivitas, dan mereka lebih suka ditemani orang lain yang sebaya (Lally & Valentine-French, 2019: 220). Galvan menyatakan berdasarkan hasil penelitian bahwa remaja menunjukkan kepekaan yang tinggi terhadap berbagai jenis penghargaan, seperti kesenangan yang terkait dengan makanan lezat, imbalan finansial, obat-obatan psikoaktif, dan petualangan yang mendebarkan (Weiten, 2017: 360). Perilaku beresiko remaja yang seringkali timbul karena dorongan untuk mencari sensasi dan pengakuan serta penerimaan kelompok sebayanya misalnya mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, balapan liar, merokok, atau minum minuman keras, dan seterusnya.

Dampak Perilaku Beresiko

Perilaku beresiko yang pada awalnya sekadar ingin tahu dan mencoba suatu tindakan tertentu dapat menjadi masalah serius jika tidak ada upaya dari remaja yang bersangkutan, orang tua atau pendidik untuk mencegahnya. Minum alkohol jika tadinya hanya ingin mencoba saja dan kemudian menjadi kebiasaan merupakan masalah serius. Masalah besar akan timbul jika perilaku beresiko remaja sudah mengarah pada penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, hubungan seks di luar pernikahan, membolos sekolah dalam waktu yang lama, terlibat dalam tindak kekerasan, dan seterusnya.

Salah satu masalah serius yang dapat terjadi pada remaja adalah yang bersumber dari perkembangan seksual ketika terjadi pubertas, yang meliputi dua perubahan besar: pertama, perkembangan karakteristik seks primer dan kedua, perkembangan karakteristik seks sekunder.  Akibat dari perubahan-perubahan tersebut antara lain berkembangnya perilaku seksual misalnya timbulnya rasa tertarik pada lawan jenis dan dorongan seksual. Berkenaan dengan akibat yang dapat timbul dari pubertas, Steinberg, Vandell, & Bornstein (2011: 377) antara lain menyatakan bahwa peningkatan dorongan seks yang terjadi saat pubertas merupakan akibat langsung dari perubahan hormonal.

Perilaku seksual yang tidak dikendalikan dapat menyebabkan hubungan seks di luar pernikahan, kehamilan yang tidak diinginkan, dan juga infeksi HIV, seperi yang  diungkapkan oleh Rahmatin, Laksono, dan Rustiana (2018: 108) berikut ini. 

  • Permasalahan yang sering muncul di kalangan remaja adalah tentang Tiga Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja (TRIAD KRR); yaitu seksualitas, HIV / AIDS dan narkoba.
  • Secara global terdapat 40% dari seluruh kasus HIV / AIDS terjadi pada generasi muda berusia 15-24 tahun dengan persentase 36,7 juta orang yang hidup dengan HIV pada tahun 2016.
  • Di Indonesia, terdapat 32% remaja berusia 14 sampai 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung pernah mengalami hubungan seks.
  • Hasil survei menemukan bahwa 62,7% remaja di Indonesia pernah melakukan hubungan seks di luar nikah, dan 35,2% remaja kehilangan keperawanannya saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
  • 20% dari 94.270 wanita hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja kelompok dan 21,2% di antaranya pernah melakukan aborsi.
  • Pada kasus terinfeksi HIV dalam 3 bulan terdapat 10.203 kasus dengan 30% penderitanya adalah remaja. 

Strategi Pencegahan Perilaku Beresiko

Perilaku remaja yang cenderung bermasalah bagi sebagian ahli dipandang sebagai fenomena yang wajar dan bagian dari proses perkembangan, sama halnya dengan temper tantrum yang terjadi pada masa balita. Namun demikian, jika perilaku tersebut tidak terkendali dengan baik, dapat mengarah pada perilaku yang dapat menimbulkan dampak buruk.

Remaja yang terlibat dalam perilaku berisiko di awal kehidupan, seperti aktivitas seksual dan penggunaan narkoba, sering menderita kesehatan yang lebih buruk di kemudian hari, pencapaian pendidikan yang lebih rendah, dan produktivitas ekonomi yang lebih rendah saat dewasa (Li, 2022). Perilaku beresiko yang dibiarkan dapat bersifat persisten. Berkenaan dengan persistensi perilaku beresiko pada masa remaja Li (2022) menyatakan bahwa perilaku berrisiko mereka dapat bertahan lebih lama di akhir masa remaja dan awal masa dewasa, yang juga dapat menimbulkan perilaku berisiko di masa dewasa. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk melakukan intervensi sedini mungkin. Untuk itu Li (2022) mengusulkan 6 strategi sebagai berikut.

1. Menciptakan Hubungan yang Baik antara Orangtua dan Anak 

Pola asuh yang otoritatif dan hubungan orangtua-anak yang baik merupakan faktor protektif terhadap perilaku berisiko remaja. Secara khusus, hubungan orang tua-anak yang baik menghalangi keterlibatan dalam perilaku berisiko tinggi. Anak-anak lebih terbuka terhadap nasihat orang tua ketika orang tua memiliki hubungan yang baik dengan mereka. Selain itu, mereka cenderung mengadopsi nilai-nilai orang tua mereka dan menolak keputusan yang buruk.

2. Menjaga Mata Tanpa Mengganggu

Pemantauan orang tua terhadap lingkungan teman sebaya remaja merupakan faktor pelindung kuat lainnya. Tindakan tersebut secara konsisten terbukti memiliki pengaruh besar dalam mengurangi keputusan berisiko anak-anak mereka. Pemantauan adalah cara yang efektif untuk melawan pengaruh negatif teman sebaya. Namun, orang tua dapat mencegah perilaku berisiko hanya jika mereka memiliki hubungan yang baik dengan anaknya dan menerima informasi pemantauan tanpa mengganggu. Jika orang tua memantau perilaku remaja melalui paksaan, kontrol psikologis, atau teknik invasif lainnya, anak cenderung menunjukkan perilaku berisiko dan memiliki hasil yang lebih buruk.

3. Memberi Otonomi dengan Bimbingan

Otonomi bukanlah kebebasan penuh untuk melakukan apapun yang diinginkan. Ini adalah latihan dalam pengaturan diri, perilaku pengaturan diri, dan kemandirian, dengan bimbingan dan batasan orang tua. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang menerima dukungan otonomi dari orang tua lebih cenderung menghindari perilaku berisiko.

4. Memberikan Batas dan Alasan yang Jelas

Orang tua perlu mendiskusikan perilaku yang dapat diterima dan menetapkan batasan yang jelas untuk mencegah pengambilan risiko yang berbahaya. Namun, yang lebih penting adalah orang tua harus menjelaskan alasan di balik batasan mereka. Mendiskusikan alasan di balik batasan dengan remaja dan praremaja dapat membantu mereka mengembangkan proses pengambilan keputusan yang mendasari pilihan perilaku mereka.

5. Mendiskusikan tentang Perilaku Berisiko

Selain pengawasan, orang tua dapat mencegah perilaku menyimpang dengan berkomunikasi secara terbuka dan mendidik anaknya. Remaja yang dididik tentang risiko yang terkait dengan perilaku sembrono cenderung memiliki lebih sedikit masalah. Bantu mereka mempertimbangkan risiko dalam berbagai situasi. Diskusikan dampak kesehatan fisik atau mental yang merugikan ketika terjadi kesalahan. Remaja yang mendapatkan informasi tentang seks dari orang tuanya cenderung kurang terpengaruh oleh teman sebayanya dalam hal perilaku seksual. Tetapi dengan tidak adanya pendidikan dan komunikasi dari orang tua, remaja dapat beralih ke teman sebayanya untuk mendapatkan informasi.

6. Mengupayakan Cari Pengobatan untuk Trauma

Penting bagi remaja yang mengalami trauma, seperti pelecehan, untuk menerima perawatan kesehatan mental. Salah satu akibat dari kekerasan terhadap anak adalah bahwa remaja yang dianiaya kemungkinan besar akan mengalami trauma. Setelah peristiwa traumatis, remaja hendaknya mendapatkan layanan konseling oleh ahli kesehatan mental meskipun mereka tampak baik-baik saja.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychological Association. (2002). Developing Adolescents: A Reference for Professional. Washington: American Psychological Association.

Broderick, P.C.  & Blewitt, P. (2015). The Life Span: Human Development For Helping Professionals. Boston: Pearson.

Gross, R. (2013).  Psychology: The Science of Mind and Behaviour. Buku Kedua. (Alih Bahasa: Drs. Helly Prajitno Soetjipto dan Dra. Sri Mulyantini Soetjipto) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

http://yogya.inews.id/amp/berita/miris-sepanjang -2022-jpw-catat-ada-12-kali-aksi-klitih-di-yogyakarta.

Kail, R.V. & Cavanaugh, J.C. (2016). Human Development: A Life-Span View. Boston: Cengage Learning.

Lally, M. & Valentine--French, S. (2019). Lifespan Development: A Psychological Perspective Second Edition. California: Creative Commons Attrubution.

Li, P. (2022). 6 Strategies to Reduce Risky Behavior in Teens and Pre-teens. Tersedia pada: https://www.parentingforbrain.com/risky-behavior/

Rahmatin, R.S., Laksono, B. & Rustiana, E.R. (2018). Adolescent Sexual Behaviour At Risk of Unintended Pregnancy and HIV/AIDS. Public Health Perspective Journal 3 (2) (2018) 108 -- 116.

Steinberg, L., Vandell, D.B., & Bornstein, M.H. (2011). Development: Infancy Through Adolescence. Belmont: Wadworth.

https://turnaroundusa.org/wp-content/uploads/2020/03/Stress-and-the-Brain _Turnaround-for-Children-032420.pdf

UNICEF (2011). Adolescence: An Age of Opportunity. New York: UNICEF.

Weiten, W. (2017). Psychology: Themes and Variation. Boston: Cengage Learning.

Winston, R. (2017).  Help Your Kids With Growing Up: A No - Nonsense  Guide to Puberty and Adolescence.  London: Dorling Kindersley Limited.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun