Mohon tunggu...
Kuntari Dasih
Kuntari Dasih Mohon Tunggu... Guru - I'm a wanderer

Masih Belajar-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membuka Sisi Manusiawi dan Prestasi dari Anak-anak Berkebutuhan Khusus

1 Juli 2016   00:01 Diperbarui: 1 Juli 2016   00:04 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Paradigma pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus mengisyaratkan, bahwa pendidikan seyogyanya berfokus pada kemampuan dan potensi, bukan pada kekurangan dan kelemahan. Namun sayangnya, perkembangan layanan pendidikan dan masyarakat masih memandang anak berkebutuhan khusus sebagai “exceptional children” ketimbang sebagai “children with special need education”. Sehingga masih sangat wajar bilamana penerimaan dunia pendidikan dan masyarakat terhadap golongan ini masih disangsikan. Akibatnya, banyak potensi yang tidak tergali, atau ketika berbicara akibat buruknya dalam jangka panjang, anak-anak berkebutuhan khusus ini hanya akan menyumbang angka dependency ratio daripada sebagai human resource yang akan berperan dalam kemajuan bangsa di masa depan.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 Pasal 32 dijelaskan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat 1 juga dijelaskan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, tak terkecuali dengan anak berkebutuhan khusus. Ini semakin mengerucutkan pemahaman kita bahwa anak-anak dengan kebutuhan khusus memang perlu diakui dan diapresiasi keberadaannya, tidak hanya dari segi fisik tapi juga kesempatan melalui penyediaan fasilitas dan kualitas pendidikan yang memadai.

Sekolah, menjadi media formal utama yang diharapkan dalam membentuk kemandirian dan mengembangkan potensi anak berkebutuhan khusus. Namun, hal tersebut belum bisa diwujudkan sepenuhnya. Disampaikan oleh Fasli Jalal (Kepala BKKBN) bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapat perhatian serius mencapai 1,2 juta orang atau dua setengah persen dari populasi anak-anak usia sekolah. Sementara kemampuan pemerintah Indonesia untuk melayani pendidikan mereka di lembaga khusus baru mampu 48.000 orang. Lalu, siapa yang bisa berperan untuk memperhatikan anak-anak ini selain dari lembaga formal? Jawabannya adalah keluarga.

Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam tumbuh kembang anak karena keluarga adalah media pertama bagi anak untuk bersosialisasi, mengenal lingkungan sekitar dan menghadapi-hal-hal baru. Sehingga pola asuh dan perhatian keluarga, khususnya orangtua menjadi hal yang harus dipertimbangkan sebagai bagian dari pendidikan dalam mempersiapkan kesuksesan anak untuk menjalani hidup di masa depan. Bekal pendidikan keluarga yang cukup akan membuat anak menjadi pribadi yang kuat ketika harus menghadapi dunia luar. Sayangnya peran penting keluarga tidak disadari oleh banyak orang. Kontras dengan kondisi yang seharusnya, fenomena yang terjadi justru masih banyak orangtua yang tidak siap melihat anaknya terlahir dengan keadaan yang tidak sempurna. Dogma di masyarakat bahwa anak berkebutuhan khusus adalah aib harus segera dihilangkan dan diganti dengan pemahaman bahwa setiap anak terlahir istimewa. Dan tentu, ini membutuhkan usaha yang keras dari berbagai pihak.

Pemerintah, di satu sisi melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga perlu lebih menggerakkan lagi upaya parenting education, tidak terbatas pada pola asuh untuk anak-anak normal melainkan juga bagaimana mendeteksi dan menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Langah ini perlu sekali dilakukan khususnya di wilayah pedesaan, pinggiran kota dimana penduduknya mayoritas masih berpendidikan rendah. Tindakan praktis yang bisa dilakukan adalah, pertama dengan memberikan pemahaman terhadap gejala awal anak berkebutuhan khusus melalui program-program yang disinkronkan dalam kegiatan masyarakat seperti PKK dan Posyandu karena masih banyak masyarakat yang tidak menyadari/tidak mendeteksi jika anaknya mengalami gangguan. Ketidaktahuan ini akan mengakibatkan proses penanganan berjalan lebih lambat. Kedua, dengan memberikan pemahaman untuk menerima kondisi anak berkebutuhan khusus sebagai bagaian dari perbedaan dalam keberagaman, yang artinya tidak selalu buruk hanya saja perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Orangtua yang bisa menerima kondisi anak berkebutuhan khusus dengan baik akan mampu memberikan kasih sayang sepadan dengan yang diberikan pada anak normal lainnya. Perlu juga ditanamkan bahwa anak berkebutuhan khusus bukanlah anak yang terbelakang, mereka punya potensi dan harapan yang bisa dikembangkan dan dibanggakan orangtua di masa depan. Pada intinya, pendidikan keluarga untuk anak berkebutuhan khusus adalah bagaimana mengupayakan pendidikan yang berbasis kasih sayang dan penerimaan.

Dengan memberikan fondasi yang kuat dalam pendidikan di lingkungan keluarga, harapan utama yang ingin dicapai adalah tumbuhnya kepercayaan diri dan menculnya pemahaman anak bahwa dia berbeda. Ini penting sekali karena pada fase ini anak pasti akan mengalami tekanan mental baik dari dirinya sendiri maupun lingkungan di sekitarnya. Seperti yang dialami oleh Nick Vujicic, seorang motivator kelas dunia yang tidak mempunyai tangan dan kaki. Saat tekanan mental menjadi alasan baginya untuk melakukan bunuh diri, peran keluarga telah membangkitkan semangatnya untuk terus hidup dan melanjutkan hidup. Tujuan selanjutnya dari pendidikan keluarga adalah menumbuhkan kemandirian anak, yangmana hal ini belum tentu bisa diperoleh di sekolah. Dan yang terakhir, keluarga punya peran yang besar untuk membantu anak mengembangkan potensi yang dimilikinya. Asalkan kita percaya bahwa kelemahan adalah kekuatan, kita bisa membantu anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Mereka bahkan bisa menjadi penyelaras dalam keberagaman yang ada (harmony in diversity) dalam konteks kehidupan yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun