Alasan itu masih belum bisa kutemukan. Sejak beberapa tahun yang lalu, aku belum bisa menemukan alasan untuk bilang pada diriku sendiri bahwa aku melakukan hal yang benar. Membiarkan orang yang berarti pergi begitu saja.
Sudah lama aku melihatnya sebagai seorang laki-laki. Satu-satunya yang ku percaya bisa menjadi perahu untukku. Saat itu aku masih SMA, saat menyukai seseorang menjadi hal yang menyenangkan. Sebelum akhirnya segalanya berubah. Cinta menjadikanku seseorang yang lain. Cinta juga menjadikannya seseorang yang lain. Kami tak lagi bisa berteman.
Rotasi tak pernah berhenti, detik dan menit tak mau mengalah untuk sejenak saja tak melangkah. Hingga yang kutemui sudah berganti dari masa lalu menjadi hari ini. Setiap kala berubah menjadi pagi hari, aku berharap bisa bertemu dengannya lagi. Kulakukan itu lebih dari seribu lima ratus hari. Tiba-tiba aku mulai lelah, sampai aku lupa terakhir kali bertemu dengannya, aku lupa bagaimana caranya mengingatnya. Semakin keras aku berusaha mengingat, semakin jauh ingatan itu pergi.
Kemarin aku melihatnya sebagai seorang laki-laki. Dan sekarang aku masih melihatnya sebagai seorang laki-laki. Tapi di masa depan nanti, dia hanya akan menjadi memori. Bagiku, dia sudah pergi hari ini. Perahunya mungkin sudah berlayar jauh tak bisa kembali lagi.
Pada akhirnya aku mengerti, berpaling satu sama lain itulah yang akan kami lakukan. Jika di masa depan kita bertemu, jangan tersenyum dan berpura-pura saling mengenal. Juga jangan bertanya apa kabarmu baik-baik saja. Biarkan masa lalu hanya berakhir sebagai bagian yang bisa diingat. Berlalu saja seperti angin, meskipun menyakitkan hanya itu yang akan kamu dan aku lakukan. Karena perahumu sudah berlayar, sedangkan aku masih tetap tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H