Mohon tunggu...
afita sulfiana
afita sulfiana Mohon Tunggu... -

Give Thangks to Allah -pecinta kopi,pejalan kaki-

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pasien di Lorong

23 Januari 2016   14:21 Diperbarui: 23 Januari 2016   14:47 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Setahun bersama BPJS, tentulah bukan tanpa cerita. Sangat beragam pengalaman dan pelajaran yang saya temukan. Sudah menjadi pemandangan yang biasa bagi saya kala pasien memenuhi lorong ruangan dengan fasilitas yang seadanya bahkan dapat dibilang tidak layak. Betapa tidak, jumlah pasien lebih banyak dibandingkan jumlah bed yang tersedia, terlebih semakin tahun jumlahnya semakin meningkat dengan  rerata pengguna bpjs.  Semenjak tahun lalu ruangan penyakit dalam ditempat saya bekerja dipenuhi pasien kanker dalam pengobatan kemoterapi yang jumlahnya semakin meningkat. Bpjs memang meng-cover seluruh biaya kemoterapi yang tidak sedikit. Dalam pengobatan kemoterapi biasanya pasien melakukan dengan beberapa sesi tergantung jenis kanker yang diderita. Contohnya untuk kasus lymphoma Non Hodgkin’s (kanker kelenjar getah bening), yang saat ini menjadi kasus terbanyak di divisi penyakit dalam. Penderita perlu melakukan kemoterapi dalam 8 sesi.Cukuplah menguras energy jasmani maupun psikologis penderitanya. Obat kemoterapi pun terdiri dari  beberapa regimen RCHOP, R untuk Rituximab alias mabthera 1000ml, C untuk Cyclophosphamide 500ml, H untuk Hydoxydaunoeubicin 50ml, O untuk Oncovin dan P untuk Predsinon abat oral yg diminum 3x1.

Dari satu jenis regimen tsb harganya sungguh selangit, sama jumlahnya dengan satu buah motor baru. Obat dengan seharga begitu bukan tanpa ada resiko, tentu saja ada efek samping yang ditimbulkan. Tak jarang pasien mengalami gagal kemoterapi, banyak hal menjadi penyebabnya. Sebab infeksi dan melemahnya daya tahan tubuh menjadi kemungkinan potensi. Kalau dapat kita ulas lebih dalam penggunaan bpjs sangatlah membantu bagi penderita, terlebih untuk mereka yang tidak ada biaya. Namun jangan lupa untuk mendapat kebijakan tsb tidaklah mudah, pasien perlu melampirkan seabrek arsip pemeriksaan untuk mendapat obat-obat tsb. Ya memang begitulah prosedurenya. Belum lagi penunggu/keluarga pasien harus setiap saat stand by untuk mengurus keperluan adiministrasi. Tak jarang saya berkesulitan mengkomunikasikan persyaratan administrasi yang perlu dipenuhi, terlebih pengguna pelayanan kami bukanlah dari kalangan elit dan berpendidikan (maaf bukan maksud hati saya melecehkan). Mereka rerata dari kalangan menengah kebawah,lalu usia pendamping yang tidak lagi muda berdoyong-doyong dari desa menempuh ratusan kilometer ke rumah sakit ini demi untuk mencari lilin harapan kesembuhan. Sungguh saya menangis kala menuliskan ini, membayangkan mereka yang seumur kakek nenek saya harus berjibaku dengan kebijakan dan prosedure yang sulit dipahami oleh mereka. Saya dan teman-teman berupaya untuk membantu karena kami hanyalah pelaku kebijakan, mau tak mau susah ataupun mudah harus tetap kita lakukan, sekalipun hati merasa iba luar biasa.

Namun sungguh disayangkan dalam penerapannya tidak sejalan dengan kesiapan fasilitas dan penunjang. Timbul pertanyan dalam hati, apakah sebelumnya bpjs dicanangkan tidak melakukan studi banding terhadap kesiapan rumah sakit di Indonesia khususnya rumah sakit pemerintah?

Apakah pihak BPJS tidak memikirkan dampak yang terjadi contohnya gelombang pasien yang semakin banyak?

Jujur saja bagi saya dan rekan-rekan sejawat petugas medik merasa kewalahan akan lonjakan pasien yang semakin banyak, sedangkan tidak ada tambahan tenaga. Bagaimana tidak di shift pagi petugas kami sekitar 10 org, untuk shift sore 4-5 org dan shift malam 4org untuk 40-50 pasien setiap harinya.

Saya miris melihat mereka yang harus berjibaku dengan panasnya siang dan dinginnya malam saat harus dirawat dibed apa adanya di selasar lorong rumah sakit yang gelap. Mau gimana lagi kami tidak boleh menolak pasien, dengan sabar kami mengedukasi pasien dan mereka pun tak keberatan. Mau bagaimana lagi tidak ada pilihan bagi mereka yang penting proses kemoterapi tetap berlangsung.

Bagai fatamorgana air dipadang nan gersang memanglah Allah dengan Maha Keadilannya menciptakan dua kutub yang akan selalu ada didunia, dibalik kutub negative dan kemirisan yang saya temukan tadi akan selalu ada juga kutub positif yang tersirat. Saya menemukan bongkahan senyum renyah seorang kakek berusia 70 th. Sejak Januari 2015 beliau ini menjadi pelanggan perawatan kami, semoga juga tidak akan lama. Beliau ini didiagnosa dokter menderita lymphoma Non Hodgkin’s st IIA dan telah menjalani 8 sesi kemoterapi. Alhamdllah Allah memberikan kekuatan dan kesehatan kepada beliau sehingga mampu melewatinya dengan lancar dan tanpa efek samping berarti. Semangatnya begitu tinggi untuk sembuh, sugesti terhadap dirinya sendiri menjadi pemberhasil terapi yang dijalani. Hingga sampailah ia disesi kemo ke 8 yang membuatnya deg-deg.an. Setelah kemo kakek mendapat jadwal usg dan foto rongsen untuk evaluasi pasca kemoterapi. Dengan berharu biru kakek datang lagi menemuiku setelah konsultasi dengan dokter. Begitu sumringahnya, wajahnya berbinar binar lalu menggebu-gebu menceritakan padaku kalau beliau sukses menjalani rangkaian kemoterapi dan tidak perlu kemo lagi hanya evaluasi saja setiap bulan. Subhanallah..begitu hati ikut merasa lega dan bahagia. Bagi kami pelayan kesehatan yang sehari-hari hanya melihat pesakitan hal ini menjadi hiburan dan penambah semangat kami untuk terus melayani sepenuh hati.

Dari sekian rangkaian pengobatan dan perawatan yang dijalani hingga sesi berakhir kakek tidak perlu membayar lg sepeserpun karena semua telah dicover BPJS sesuai premi yang dibayarkan tiap bulannya Alhamdulilah…

Seklumit cerita yang bisa saya siratkan, harapan saya semoga BPJS senantiasa mengevaluasi akan kebijakan-kebijakan yang diberlakukan, berbenah diri lebih baik lagi. Dan pengalaman yang saya tulisankan ini bermanfaat. Amin ya robbal alamin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun