Pernah sahabat diskusi saya @sahal_AS di twitter yang mengutip haditsberikut “Negara dengan kekufuran bisa bertahan daripada negara dengan kedholiman” tatkala saya katakana bahwa itu bukan hadits, beliau tetap menganggap it hadits karena itu disebutkan hadits oleh Al Ghazali dalam kitabnya. Walaupun sayangnya tidak disebutkan secara rinci itu hadits dari siapa sampai kepada siapa, dan bagaimana analisa para ahli hadits. Kalau berbcara testimony di luar konteks kitab hadis, maka statement yang dianggap hadits di atas, dikutip juga oleh Imam Al Mawardy satu abad hidup sebelum al Ghazali dalam kitabnya “adabu dunya waddin. Bedanya Almawardy tidak menganggap itu hadits tapi menganggapnya sebagai statement ahli hukum. Menurut sebagian orang menganggap itu adalah statement raja Abesina / habasah.
Akan tambah kacau kalau kemudian dibenturkan antara benar siapa pendapat AL Mawardy (ahli Siyasah Islam) dengan Al Ghazali (ulama yang juga guru besar matematika di universitas nidomiyah). Ketika saya sabut bahwa ghazali, bukan ahli hadits, sahabat saya malah mengkik balik, bahwa apalagi anda(maksusnya kepada saya) yang ilmunya tidak sekuku hitamnya al ghazali.Padahal semestinya sebagai intlektual beliau langsung saja menyebutkan hadits itu bersumber dari kitab ini… diriwayatkan imam ini… (kalau ada) bukan menyerang pribadi saya. Saya memang tidak setenar Al Ghazali, tapi saya mengikuti para ahli hadits yang lain, saya tak sehebat alghazali, tapi saya tak pernah menganggap pintu ijtihad sudah tertutup seperti yang diyakini alghazali yg membuat kemunduran semangat intlektual.
siapapunbisa saja salah termasuk al gahzali, saya, dan ulama lainya karena tidak diberi sertifikat bebas salah dari Allah.Keputusan salah itu harus dating setelah dikomparasikan dengan fakta.
Saat Imam Syafi’I menyampaikan hadits yang baru didengar oleh muridnya imam hanafy, sang murid bercucap “seandainya guruku mendengar hadits ini, tentu dia akan berubah pendirian”. Begitu juga Imam syafi’I yang merubah pendapatnya yang terdapat dalam qaul qodim, dengan yang ada di qaul jadid, lantaran banyak hadits yg baru diterima di kemudian hari. Begitu juga Al-Ghazali saat dia pergi ke mekah, dia merasa menyesal mendengar banyak orang membangga-banggakan satementnya, padahal ghazali sendiri sudah berubah pemikiran , tidak seperti yang dikatakan orang-orang mekah itu. Saya yakin jika Al ghazali sendiri dikonfirmasi mengenai hadits ini, atau dia diberi umur panjang, dia bisa saja merubah statmenta di kitab itu. Orang-orang hebat berani berubah jika dikemudian hari ada hal-hal baru yang dia terima dan dengan rendah hati mereka berani perbaiki kesalahanya, namun justru pengkutnya yang taqlid buta, selalu menganggap orang-orang besar itu tidak pernah salah.
TENTANG KUALIFIKASI HADITS
Dewasa ini saya banyak mendengar para penceramah, baik di pengajian maupun di sosmed yang mengutip beberapa hadits. Tak jarang pula yang dikutip itu sebenarnya bukanlah hadits dari Rasul, namun hanya statement paraintlektual klasik, yang kemudian dianggap hadits. Saya beri contoh seperti yang popular didengar bunyi satatmnet seperti “hubbul wathon minal iman”. Satatment ini sama sekali bukan hadits, karena tidak jelas dari sisi periayatanya. Banyak lagi yang popular dianggap hadits, padahal itu bukan hadits, semisal “Nikah itu hal paling benci yang dihalalkan Allah”. Atau juga “kebersihan sebagain daripada Iman”.
Walaupun kontenya tidak bertentangan, tetap saja sesuatu yang bukan dari rasul tidak boleh dikatakan itu dating dari Rasul, apalagi itu bertentangan. Rasulullah bahkan mengancam dalam sebuah hadits mutawatir (diriwayatkan oleh 40 orang atau lebih) yang berbunyi “Man kaddaba alayya mutaamidan fal yatabawwa maqadahu minannnar” (barang siapa yang berdusta dengan sengaja mengatas namakanku, maka bersiap-siaplah tempat duduknya dari api neraka”. Ancaman ini begitu keras, karena betapa bahayanya jika sesuatu yang tidak jelas, kemudian dianggap dating dari Rasul dan orang-orang mengikutinya tanpa reserve sama sekali.
Hadits yang bisa dipertanggung jawabkan ialah hadits yang berkualitas dalam tiga sisi yaitu, sanad (pembawa berita utama), matan (content) dan Rawi (periwayat akhir:penulis hadits). Untuk dikatakan sebuah hadits itu shohih, kualifikasi sanad tak cukup dengan kejujuranya, tapi juga para penyampai hadits ini harus dikenal sebagai orang yang mempunyai ingatan kuat, kalau hanya terkenal kejujuranya saja kualitas sanad hanya disebut hasan bukan shohih.
Yang kedua adalah kualitas matan atau content hadits, tak banyak yang dianggap hadits tapi matanya sangat tidak bisa dipertanggung jawabkan, atau bertentangan dengan qur’an dan juga akal sehat. Seperti “Malaikat datang mau mencabut nyawa musa, namun ditampar oleh musa” . seperti “Cerai adalah hal yang dibenci dari yang dihalalkan Allah”. Bagaimana mungkin Rasulullah mengijinkan anaknya bercerai, jika cerai dibenci Allah, apakah Nabi menganjurkan sesuatu yang dibenc k Allah. JIka salah satu pasangan merasa tertipu oelh pasanganya, bahkan terus didholimi, apakah ia harus bertahan mnunda cerai karena takut dibenci Allah?
Yangketiga tentang rawi atau periwayat akhir. Rawi biasanya ahli pengumpul hadits, dia menyusun ribuan hadits itu dalam sebuah kitab hadits. Banyak sekali Rawi, hadits, dari yang banyak itu ada tujuh perawi hadits yang masyhur dan dari yang tuhuh itu ada dua yang paling terkenal yaitu Imam Bukhori dan Imam Muslim. Kemasyhuran Bukhori dan Muslim ini karena ketelitianya dalam menyeleksi hadits. Pertanyaanya, apakah yang diriwayatkan kedua Imam tersebut dijamin seratus persen benarnya? Jawabnya tentu tidak. Karena Imam Bukhori pun menerima hadits yang menurutnya diragukan. Kenapa demikian, karena beliau takut jika apa yang sampai kepadanya benar2 hadits, kemudian tidak sampai dari Rasul ke umatnya. Mengapa ada “shohih bukhori” atau “shohih Muslim”? itu menandakan ada banyak hadits yang diriwayatkan beliau, tapi tidak dikelompokan kedalam kitab Sohihnya. Na disanalah Beliau menempatkan hadits yang diragukan. Pertanyaan berikutnya Adakah jaminan 100 % kalau yang termaktub dalam shohihh bukhori adalah benar. Tentu tidak, mekipun peluang benarnya lebih besar, kenapa? Karena yang diutamakan Al Bukhory itu jalur periwayatan, atau track record rantai penyampai hadits, sedangkan mengenai kontennya, tidak begitu mendalam. Artinya jika jelas2 sangat bisa difahami dengan sesaat sebuah konten hadits bertentangan, itu pasti ditolak, akan tetapi jika yang kontenya masalah yang samar dan pelik, maka itu tidak mudah untuk diputuskan.
Dalam kitab hadits sering ditemukan ungkapan “rowahu al bulhori” ada juga “sohahahu Al bukhory”.
Yang pertama berarti “Telah diriwayatkan Al Bukhory” disini Al bukhory hanya meriwayatkan, tetapi tidak memberi testimony tertentu, berbeda dengan yang kedua “sohahahu al bukhory” yang berarti L bukhory telah men-shohihkan hadits it”.
Lalu yang bagai mana yang bisa dijamin 100% benar? Tentu ada, yaitu hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang, minimal empat puluh orang, sehingga tidak mungkin 40 orang akan lupa, salah tangkap atau berbohong secara bersamaan. Apalagi hadits mutawatir lafdi, yatu hadits mutawatir yang semua periwayat sama persismenyampaikan redaksi kalimatnya tanpa ada beda satu kata pun, seperti hadits yang saya bacakan di atas mengenai ancaman berbohong mengatasnamakan Nabi.
Berikut adalah beberapa kualifikasi “hadits” yang tidak dapat dijadikan rujukan
1.Hadits Maudhu (hadits palsu) yaitu sebuah statement mengatasnamakn Rasul yang sama sekali tidak pernah ada riwayat yang jelas atau tidak tertulis sama sekali dalam kitab hadits.
2.Hadits Matruk (hadits yang ditinggalkan) Hadits seperti ini tertulis di beberapa kitab hadiits, namun dikenal ada periwayatnya orang yang tak bias dipercaya atau memilki sifat fasik.
3.Hadits mu’tal. Hadits seperti ini adalah model hadits yang ada cacat dalam segi periwayatanya, atau terputus.
4.Hadits dhoif. Hadits dhoif bisa juga disebut sebagai hadits yang lemah bisa dari segi periwayatan ataupun matannya. Kalau hadits yang dhoif dari segi periwayatanya, tapi matanya terlihat bagus, itu sah sah saja diyakini secara pribadi, tapi tidak layak disampaikan kepada orang lain, dan kalaupun disampaikan harus secara rinci dijelaskan mengena kualifikasi hadits itu.
Sedangkan jika dhoif secara matan maupun periwayatan, apalagi jelas-jelas bertentangan dengan qur’an atau hadits yang shohih, maka hadits seperti ini lebih bak diabaikan, jangan sampa dipublikasi ke orang banyak.
Sebetulnya pembagian kualifikasi hadits disini saya sebutkan dengan tida sistematis, karena kualifikasi pembagian hadits yg lengkap berdasarkan kategorisasi tertentu, namun saya tulis disini agar mudah, kerena kalau berbicara kualifikasi hadits secara lengkap sama juga dengan berbicara ilmu mustholah hadits keseluruhan yang tidak mungkin disebutkan dalam tulisan sesingkat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H