Setiap kali musim pilkada atau pilpres tiba, saya merasa seperti sedang menonton panggung sandiwara yang diulang-ulang. Para politisi, yang sebelumnya mungkin tidak pernah menginjakkan kaki di pasar atau duduk berbaur dengan rakyat kecil, mendadak menjadi "pahlawan rakyat." Mereka memamerkan aksi yang terlihat baik di kamera---turun ke sawah, makan di warung sederhana, atau menggendong bayi warga. Tapi hati saya selalu bertanya: "Apakah ini sungguh-sungguh? Atau hanya bagian dari skenario kampanye?"
Saya bukan orang yang sinis tanpa sebab. Tapi terlalu sering saya melihat wajah "baik" yang mereka kenakan saat kampanye berubah drastis begitu mereka terpilih. Janji-janji tinggal janji, dan rakyat hanya menjadi alat, bukan tujuan.
Realita yang Menyakitkan: Pura-Pura Baik Itu Kotor
Pengalaman pribadi saya sebagai warga negara membuat saya semakin sadar betapa seringnya politisi memainkan permainan ini. Saya ingat beberapa tahun lalu, seorang kandidat pemimpin di daerah saya berjanji memperbaiki infrastruktur jalan yang rusak parah. Dia bahkan datang ke kampung, menumpang traktor petani, dan berfoto di jalan berlumpur. Rakyat percaya dan memilih dia. Tapi lima tahun berlalu, jalan yang dia janjikan tetap berlubang. Hanya foto-fotonya yang "merakyat" yang tersisa.
Inilah masalahnya: mereka tahu bagaimana berpura-pura baik, tapi lupa bagaimana menjadi baik. Mereka pintar membangun pencitraan yang menjual, tapi tidak punya niat tulus untuk bekerja. Kepura-puraan seperti ini adalah bentuk kekotoran politik yang paling menjijikkan. Lebih dari sekadar membohongi rakyat, mereka menghancurkan harapan dan kepercayaan yang kita titipkan.
Berani Kotor Itu Baik
Di sisi lain, saya lebih menghargai pemimpin yang terlihat "kotor." Bukan kotor karena perilaku buruk atau skandal, tetapi kotor karena tidak takut bekerja keras, menghadapi kritik, atau membuat keputusan sulit yang mungkin tidak populer. Pemimpin seperti ini tidak sibuk menjaga citra; mereka sibuk bekerja.
Contoh terbaik adalah ketika seorang pemimpin mengambil kebijakan yang berat, seperti menghapus subsidi bahan bakar yang selama ini dianggap membebani anggaran negara. Kebijakan itu mungkin tidak populer dan menuai banyak kritik, tapi dalam jangka panjang, rakyatlah yang diuntungkan. Pemimpin seperti ini berani menghadapi hujatan demi kebaikan bersama. Mereka berani "mengotori tangan mereka" demi rakyat.
Di sinilah letak perbedaan besar: Pura-pura baik hanya demi terlihat baik. Berani kotor adalah keberanian untuk menjadi baik.
Kegelisahan Saya sebagai Rakyat
Saya sering merasa geram. Mengapa kita, rakyat, begitu sering terjebak oleh pencitraan? Mengapa janji manis lebih menarik daripada kerja nyata? Mungkin ini salah kita juga, karena terlalu mudah terbuai oleh kemasan tanpa melihat isi. Kita lebih tertarik pada politisi yang sering tampil di media sosial, daripada mereka yang sibuk bekerja di balik layar. Tapi apakah salah kita sepenuhnya? Atau salah sistem politik kita yang terlalu membiarkan kepura-puraan mendominasi?
Di sinilah tugas kita sebagai pemilih. Kita harus mulai belajar untuk tidak mudah percaya. Jangan pilih pemimpin hanya karena dia terlihat baik saat kampanye. Periksa rekam jejaknya, analisis kebijakannya, dan tanyakan: apakah dia benar-benar bekerja untuk rakyat?
Saya menulis ini sebagai panggilan kepada semua, termasuk diri saya sendiri. Sudah saatnya kita mengubah cara kita memilih pemimpin. Jangan lagi terjebak oleh politisi yang pura-pura baik, yang hanya ingin tampak bersih di depan kamera. Mari kita pilih pemimpin yang berani kotor---yang berani berjuang, berani menghadapi kritik, dan berani bekerja keras demi kita semua.