Beberapa waktu terakhir, saya sering memperhatikan bagaimana kebijakan pengurangan plastik di tempat-tempat perbelanjaan seperti minimarket menjadi semakin ketat. Di Purwokerto, tempat saya tinggal, misalnya, kantong plastik sudah benar-benar dilarang. Jadi, kalau saya belanja di Alfamart atau Indomaret, saya harus membawa kantong belanja sendiri atau membeli kantong ramah lingkungan di kasir. Sekilas, kebijakan ini terlihat baik, mengurangi sampah plastik yang menumpuk di TPA dan menjaga lingkungan dari kerusakan yang lebih parah.
Tapi di balik itu, ada hal yang justru membuat saya merasa miris. Saya sadar bahwa gaya hidup masyarakat modern sekarang banyak bergantung pada belanja online. Orang-orang tidak hanya belanja kebutuhan sehari-hari seperti sabun atau makanan ringan di toko fisik, tetapi juga mulai membeli semua kebutuhan rumah tangga mereka secara daring. Dari belanja pakaian hingga peralatan elektronik, semuanya bisa dilakukan dengan beberapa klik. Dan, yah, semua barang itu tentunya dikirimkan melalui kurir. Yang menjadi perhatian saya adalah cara barang-barang ini dikemas.
Setiap kali saya menerima paket, saya selalu mendapati bahwa barang tersebut dibungkus berlapis-lapis. Mulai dari plastik pembungkus yang tebal, hingga bubble wrap yang melindungi barang dari benturan. Plastik yang digunakan untuk pengiriman online sering kali lebih tebal dan jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan kantong plastik biasa yang biasa dipakai di minimarket. Di sini, ironisnya, kebijakan pengurangan plastik di toko-toko fisik seolah menjadi sia-sia. Plastik yang "dihemat" dari tidak adanya kantong plastik di minimarket malah digantikan oleh sampah plastik dari packaging belanja online yang menumpuk di rumah.
Saya ingat beberapa kali membeli barang online untuk kebutuhan rumah. Setiap kali paket datang, saya mendapati bahwa untuk barang sekecil apa pun, seperti satu botol sabun atau satu kotak charger, packaging-nya sangat berlebihan. Plastik tebal membungkus barang itu, lalu dibalut lagi dengan bubble wrap, dan ditambah lagi dengan kantong plastik luar yang lebih besar. Setelah barangnya saya ambil, sisa plastiknya langsung saya buang. Rasanya saya sudah berusaha untuk tidak menggunakan kantong plastik saat belanja di toko fisik, tapi di sisi lain, kebiasaan belanja online saya justru menambah beban sampah plastik yang mungkin lebih besar.
Situasi ini benar-benar menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan pengurangan plastik di toko fisik benar-benar efektif, jika di saat yang sama, belanja online justru meningkatkan penggunaan plastik secara signifikan?
Efektivitas yang Dipertanyakan
Kita tentu sepakat bahwa langkah mengurangi plastik sangat penting untuk menjaga kelestarian lingkungan. Sampah plastik membutuhkan ratusan tahun untuk terurai, dan dampaknya terhadap ekosistem sudah sangat jelas: lautan penuh dengan sampah plastik, hewan laut terluka atau mati akibat memakan plastik, dan polusi mikroplastik yang kini bahkan bisa ditemukan di tubuh manusia. Kebijakan pengurangan plastik di toko-toko fisik adalah salah satu langkah positif. Tapi, kebijakan ini menghadapi sebuah paradoks ketika tidak diterapkan secara menyeluruh, terutama dalam ranah e-commerce dan pengiriman.
Paradoks ini terjadi karena, di satu sisi, kita mengurangi plastik dalam satu sektor, tapi di sisi lain, plastik tetap digunakan dalam jumlah besar di sektor lain yang mungkin lebih dominan. Kebijakan pelarangan plastik di minimarket, meskipun tampak efektif di tingkat lokal, tidak menjawab persoalan besar dari rantai pasokan dan distribusi modern yang semakin didominasi oleh belanja online. Dengan semakin meningkatnya tren belanja online, kebutuhan untuk packaging plastik justru semakin melonjak.
Haruskah Ada Perubahan Lebih Luas?
Berdasarkan pengalaman pribadi dan observasi ini, saya rasa kebijakan pengurangan plastik harus lebih holistik. Pemerintah, perusahaan e-commerce, dan konsumen harus saling mendukung untuk menciptakan solusi yang lebih menyeluruh. Salah satu langkah penting yang mungkin bisa diambil adalah memperketat regulasi terhadap penggunaan plastik dalam packaging belanja online. Misalnya, ada insentif bagi perusahaan yang menggunakan packaging ramah lingkungan atau pengenaan pajak tambahan untuk penggunaan plastik berlebih dalam proses pengiriman barang.
Sebagai konsumen, kita juga bisa berkontribusi. Saya sendiri mulai sadar untuk memilih opsi pengiriman yang ramah lingkungan jika tersedia, atau mengurangi pembelian barang-barang yang tidak terlalu mendesak melalui platform online. Kita bisa mulai dari hal-hal kecil, seperti menyimpan bubble wrap untuk dipakai ulang jika perlu mengirimkan sesuatu, atau memilih produk dari toko yang menawarkan packaging ramah lingkungan.
Paradoks kebijakan pengurangan plastik ini menunjukkan bahwa upaya menyelamatkan lingkungan tidak bisa hanya dilakukan di satu sisi saja. Ketika kita ingin mengurangi sampah plastik dari kehidupan sehari-hari, seluruh aspek konsumsi kita harus diperhitungkan, termasuk belanja online yang kini menjadi bagian besar dari gaya hidup kita. Solusi di masa depan harus mencakup regulasi yang lebih luas dan inovasi dalam bahan packaging, serta kesadaran konsumen untuk berbelanja lebih bijak.