Di era digital ini, media sosial telah menjadi instrumen penting dalam kampanye politik, berperan dalam menyebarluaskan gagasan, membangun narasi, dan terutama, menciptakan citra politik.
Kekuatan media sosial dalam politik terletak pada kemampuannya untuk menyampaikan pesan secara langsung dan pribadi ke tangan pemilih.Â
Dengan sekali sentuhan, politisi dapat berkomunikasi dengan jutaan pengikut, mempengaruhi pandangan mereka dengan tweet, status, atau bahkan sebuah foto. Media sosial telah mengubah tatanan komunikasi politik tradisional, menggeser fokus dari monolog menjadi dialog, dari pidato umum menjadi percakapan pribadi.
Namun, ini bukan tanpa konsekuensi. Media sosial juga memberikan ruang bagi penyebaran informasi yang tidak diverifikasi, bahkan disinformasi, yang seringkali menimbulkan polarisasi opini.Â
Pesan yang disampaikan melalui media sosial sering kali disederhanakan, dikemas sedemikian rupa untuk membangkitkan emosi, bukan untuk menyampaikan fakta atau debat substantif. Dalam keadaan seperti ini, opini yang terbentuk bisa jadi berdasarkan informasi yang tidak lengkap atau bahkan salah.
Peran media sosial dalam politik Indonesia, terutama menjelang Pemilu 2024, adalah sebuah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan kesempatan bagi partisipasi politik yang lebih luas dan demokratis.Â
Di sisi lain, ia juga membuka peluang bagi penyebaran polarisasi dan misinformasi. Sejauh mana pengaruhnya akan berdampak pada hasil pemilu, masih menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Yang jelas, media sosial telah mengubah cara kita berpolitik, memilih, dan berdemokrasi.
Mitos Gelembung Filter
Penelitian terbaru menantang pandangan umum tentang gelembung filter di media sosial. Konsep ini, yang menyatakan bahwa algoritma media sosial cenderung hanya menampilkan informasi yang sejalan dengan pandangan kita, tampaknya tidak sepenuhnya akurat.Â
Sebaliknya, penelitian ini menunjukkan bahwa pengguna media sosial sering kali dihadapkan pada pandangan yang berbeda dari pandangan mereka sendiri. Ini menunjukkan bahwa, berbeda dengan asumsi sebelumnya, media sosial mungkin tidak selalu menciptakan ruang gema yang memperkuat pandangan homogen.
Dalam konteks Indonesia, temuan ini memberikan perspektif baru terhadap cara kita memahami interaksi politik di media sosial. Alih-alih memandang media sosial sebagai platform yang hanya memperkuat pandangan politik yang sudah ada, kita seharusnya melihatnya sebagai arena di mana beragam pandangan dan informasi dapat bersinggungan.Â
Ini berarti bahwa pengguna media sosial di Indonesia berpotensi mendapatkan eksposur yang lebih luas terhadap berbagai pandangan politik, yang sebelumnya mungkin tidak mereka pertimbangkan.