Mohon tunggu...
Kuncoro Maskuri
Kuncoro Maskuri Mohon Tunggu... Dosen - Doktor Linguistik Pragmatik

Pembelajar Bahasa/Linguistik, Sosial Budaya, Pendidikan, dan Keagamaan. (email: dibyomaskuri@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ada Amerika di Tempe Goreng

19 Februari 2018   23:08 Diperbarui: 22 Februari 2018   07:34 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Bagi masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke  tempe goreng merupakan makanan yang sangat khas, bahkan sebagian masyarakat menempatkannya sebagai pilihan utama sebagai pendamping makanan pokok, nasi. Dari anak-anak hingga kakek-kakek, nenek-nenek, sembilan puluh sembilan persen, tahu apa itu tempe goreng dan pernah memakannya.

Secara sosiologis, bagi masyarakat Indonesia tempe goreng adalah salah satu makanan yang bisa masuk diterima di semua strata sosial rumah tangga/keluarga, dari yang tidak mampu hingga yang sangat mampu, dari yang tinggal di rumah amat sangat sederhana hingga yang tinggal di rumah amat sangat mewah lagi megah.

Di setiap sajian makan, baik makan pagi, makan siang maupun makan malam, tempe goreng hampir selalu hadir sebagai lauk pauknya baik di saat makan di rumah , di warung makan, atau di rumah makan; kalau toh harus absen, ‘dia’ diwakilkan oleh saudaranya yaitu ‘tempe bacem’ atau ‘tempe kering’( tempe dirajang tipis-tipis setelah dibumbui digoreng campur dengan kecap plus cabe).

Di Jakarta/Jawa Barat disebut  ‘orek’,di Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebutnya ‘tempe kering’ , di tempat lain mungkin punya nama yang berbeda. Ini menggambarkan bahwa tempe tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat Indonesia. 

Contoh lain, meskipun masyarakat Papua atau Maluku makanan utamanya sagu atau nasi, atau masyarakat lain di Indonesia yang tinggal di pesisir lauk utamanya ikan laut/sungai, bukan berarti mereka tidak mengkonsumsi tempe goreng, mereka mengenal melalui interaksi sosial dengan masyarakat lain yang tempe goreng merupakan lauk pauk utama dan kemudian mengkonsumsinya. Tidak sah rasanya bila tidak ada tempe goreng dalam setiap menu sajian makan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia_dalam bahasa agama Islam, wajib hukumnya. 

Dalam sudut pandang budaya/kebudayaan, tempe goreng sebagai produk budaya asli bangsa Indonesia memiliki peran yang tidak kalah penting dengan produk budaya asli bangsa Indonesia yang lain seperti: kain batik, wayang kulit, wayang orang, sistem perairan subak di Bali, angklung dari tanah Sunda, sate ayam Madura, rendang Padang, candi Borobudur di Jawa Tengah, dan lain-lain. Keaslian tempe goreng sebagai produk budaya asli Indonesia bisa dikenali dari asal-usul tempe yang bahan baku utamanya adalah kedelai.

Seperti yang diungkap  oleh Mary Astuti, seorang pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, melalui buku ‘Bunga Rampai Tempe Indonesia’ (2011) menjelaskan bahwa kata ‘kedelai’ yang ditulis ‘kadele’ dalam bahasa Jawa telah disebutkan dalam Serat Sri Tanjung dan Serat Centhini. Dalam Serat Sri Tanjung yang ditulis di abad ke-12 atau ke-13 (berkaitan dengan legenda Kota Banyuwangi) terselip kata ‘kedelai’ yang ditulis sebagai ‘kadele’.

Salah satu baitnya menggambarkan jenis tanaman di Sidapaksa yang mengandung kata kata ‘kedelai’… Kata ‘kedelai’  juga ditulis dalam Serat Centhini jilid II oleh juru tulis Kraton Surakarta,R.Ng.Ronggo Sutrasno pada 1814. Sedangkan dalam Serat Centhini jilid III dijumpai kata ‘tempe’.  Serat Centhini III menggambarkan perjalanan Mas Cebolang dari Candi Prambanan menuju Pajang mampir di Tembayat, Kabupaten Klaten. Di sana Pangeran Bayat dijamu dengan lauk pauk seadanya, termasuk tempe.

Kemudian dalam ‘The Book of Tempe’, Dr. Sastromijoyo memperkirakan bahwa tempe sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu. Saat itu bangsa Cina membuat makanan dari kedelai yang hampir mirip tempe, yaitu koji _sejenis kecap. 

Makanan ini terbuat dari kacang kedelai matang yang kemudian diolah sedemikian rupa agar sesuai dengan selera orang Jawa, kemudian dibawa oleh para pedagang Cina ke Pulau Jawa. Zuoetmulder (1982) menyebutkan bahwa pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan yang dibuat dari sagu, disebut tumpi. Karena tumpi juga berwarna putih dan penampakkannya mirip tempe maka makanan olahan kedelai ini disebut ‘tempe’.

Temuan-temuan tentang asal-usul tempe di atas  menunjukkan cukup bukti yang valid bahwa tempe memang benar-benar produk budaya asli Indonesia (dari pulau Jawa khususnya).  

Bahan baku untuk membuat tempe adalah kedelai ,  tanaman kedelai tumbuh subur di negeri katuliswa ini. Sehingga pengrajin tempe, baik yang tradisional maupun modern, sacara relatif  tidak  menjumpai kesulitan untuk memproduksinya. Walaupun pernah dalam beberapa tahun belakangan ini, para pengrajin tempe mengalami kesulitan memperoleh kedelai, sehingga pemerintah harus mengimpor kedelai dari negara tetangga.

Kesulitan tersebut bisa jadi disebabkan oleh konsumsi kedelai yang sangat tinggi di masyarakat atau adanya gagal panen di banyak tempat penghasil kedelai di tanah air, sehingga suplai kedelai di tanah air tidak tercukupi.

Pengimporan kedelai dari negara tetangga seperti Thailand atau Vietnam tidak mengubah eksistensi ‘tempe’ sebagai produk budaya asli Indonesia. Justru dengan adanya pengimporan kedelai dari Thailand atau Vietnam, ‘tempe’ sebagai sebagai sebuah produk budaya Indonesia dipeekenalkan secara tidak langsung ke Thailand dan Vietnam_ meskipun mungkin masih dalam tataran ‘tempe’ sebagai sebuah gagasan/konsep budaya.

Sebagai pengekspor kedelai Thailand atau Vietnam kecil kemungkinannya tidak mengetahui untuk apa Indonesia mengimpor kedelai. Fakta lain yang menarik dan membanggakan adalah tempe menjadi salah satu makanan favorit bagi sebagian masyarakat Jepang, tempe sudah cukup popular bagi orang  Jepang.

Tempe di Jepang  dikenalkan oleh orang Indonesia bernama Rustono, berasal dari Grobogan dan beristri orang Jepang, Jawa Tengah pada tahun 1997/1998 (kompas.com/21 Pebruari 2010). Karena usaha tempenya di Jepang termasuk sukses, Rustono dijuluki ‘King of  Tempe’ Jepang , dia sudah memiliki satu pabrik tempe di Jepang dan penyebaran tempenya sudah di 490 kota/tempat di Jepang. Sebagai orang Indonesia (mestinya) kita merasa bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh Rustono.

Ketika kedelai dibuat menjadi tempe dan kemudian tempe dimasak secara digoreng maka jadilah makanan siap santap  yang dinamakan ‘tempe goreng’.  Tempe goreng sebagai sebuah  produk budaya Indonesia ternyata juga mengalami proses akulturasi dengan budaya lain, budaya asing.

Kenapa  bisa begitu? Kita bisa melihatnya dari jenis tempe goreng yang sehari-hari bisa kita jumpai di warung-warung makan, rumah makan, ataupun di rumah kita sendiri.

Ada dua jenis tempe goreng, yang pertama murni tempe goreng Indonesia yaitu tempe yang digoreng tanpa diselimuti dengan tepung dan yang kedua  tempe yang digoreng dengan diselimuti tepung, tempe goreng akulturasi. Tempe goreng akulturasi itu menggunakan tepung yang berasal dari gandum, gandum diimpor dari negara Amerika. Oleh karena itu, tempe goreng yang berselimut tepung mengalami akulturasi budaya_ budaya Indonesia dan budaya Amerika.   Jadi tidak salah kan, kalau kita nyatakan bahwa pada tempe goreng berselimut tepung ini ada unsur Amerikanya. 

Tempe goreng yang berselimut tepung ini sekarang sangat mudah dijumpai dimana-mana, penjual makanan gorengan di kota-kota ataupun di desa-desa di Indonesia bisa dipastikan menyediakan tempe goreng berselimut tepung ini selain makanan gorengan lainnya.

Tempe goreng bertepung inipun akhirnya juga mengalami perluasan pola konsumsi, dari yang hanya untuk lauk pauk (makanan pendamping nasi) untuk makan pagi, makan siang ataupun makan malam meluas menjadi makanan ringan (snack) yang dikonsumsi oleh masyarakat luas di segala waktu.

Sebagai buktinya, bila kita berkunjung ke rumah kerabat/teman ataupun kita kedatangan tamu kerabat/teman, tempe goreng  bertepung tidak jarang disajikan sebagai suguhan ringan, bukan tempe goreng tanpa tepung (akan dianggap aneh lauk pauk kok dijadikan sebagai snack ‘suguhan ringan’_ padahal sebetulnya tidak apa-apa juga ya).

Meskipun pada jenis tempe goreng bertepung ini ada unsur Amerikanya, ini tidak mengurangi eksistensi tempe goreng sebagai produk budaya asli Indonesia tetapi justru menguatkannya. Ketika dia berada di tempat makan yang mewah, bahkan paling mewah sekalipun, namanya tetap ‘tempe goreng’, bukan ‘fried tempe’, ya kan? Berbeda halnya dengan ‘ayam goreng’,  masyarakat kita akan menyebutnya atau  menggantinya dengan sebutan ‘fried chicken’ ketika menginginkan makanan dari daging ayam yang digoreng berselimut tepung.

Lebih-lebih kalau anak-anak yang menginginkan ‘fried chicken’, mereka akan menolak bila yang diberikan adalah ayam goreng yang tidak diselimuti tepung. Bisa jadi anak-anak akan bertutur kepada ibunya:

”Bunda, adik mintanya ‘fried chicken’ bukan ‘ayam goreng’ atau ‘Bunda, adik kok dibeliin ‘ayam goreng’ bukan ‘fried chicken?"

Jadi jelas bahwa  secara sosio-kultural, ‘tempe goreng’ berselimut tepung, meskipun ada unsur Amerikanya, memiliki hegemoni budaya yang lebih kuat daripada ‘ayam goreng’ dan oleh karenanya tetap merupakan produk budaya Indonesia. 

Tempe goreng tanpa selimut tepung menunjukkan budaya asli Indonesia sedangkan tempe goreng berselimut tepung menunjukkan budaya akulturasi antara Indonesia dan Amerika, namun nama dan esensi kultur keduanya  adalah tetap satu  Indonesia: TEMPE GORENG.

Maka sudah seharusnya kita orang Indonesia bangga dengan produk budaya negeri sendiri dan memberi apresiasi yang tinggi, apapun jenis produk budaya itu, apakah makanan (tempe goreng, rendang, dll), minuman (jamu, dll), pakaian (peci, batik, dll), seni budaya (reog, tari kecak, dll), ataupun yang lainnya.

Kalau di jaman pra-kemerdekaan Indonesia dahulu, kata kakek nenek kita, pernah ada semacam slogan/istilah ‘bangsa tempe’ yang maksudnya adalah menggambarkan bangsa berkarakter lemah, maka di jaman sekarang  itu berubah total.

‘Bangsa tempe/tempe goreng’ di zaman now menunjukkan bangsa yang berkarakter kuat dan cerdas,  kuat dan cerdas menghadapi permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara, kuat dan cerdas menghadapi pengaruh budaya asing, kuat dan cerdas menggolarakan semangat keberagaman secara beradab dan berkemajuan, kuat dan cerdas delam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan secara berkeadilan, kuat dan cerdas menghadapi berita/informasi hoaks dan berunsur SARA, dan lain-lain. TEMPE GORENG produk budaya asli negeri tercinta INDONESIA.

(Solo819022018)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun