Selama ini orang salah kaprah mengartikan logo Surabaya bergambar ikan hiu dan buaya. Dipikir, nama Surabaya berasal dari dua nama hewan itu yaitu Sura = Hiu dan Baya = Buaya. Â Padahal antara visual dua hewan, dan nama Surabaya tidak ada kaitannya. Tidak ada dasar literaturnya.
Sekadar tahu saja, nama Surabaya pertama kali disebut dalam Prasasti Canggu 1358 M dan menyusul kakawin puja sastra Negara Kertagama tahun 1365 M. Prasasti Canggu ini sebenarnya sebuah laporan keuangan pada pendapatan asli daerah (PAD) Kerajaan Majapahit dari pungutan retribusi penyeberangan tambang (tambangan) sepanjang alur Kali Brantas dari Mojokerto hingga hilir di selat Madura. Â
Disebutkan nama desa-desa yang terdapat tambangan. Tiga desa terakhir di hilir adalah Desa I Gsang (sekarang Pagesangan Surabaya), i Bkul (sekarang Bungkul Surabaya), dan I Churabaya (daerah utara setelah Bungkul).  Identifikasi sebuah nama desa yang hingga kini belum dipastikan lokasinya. Sebab di peta-peta lama Surabaya tidak ada desa bernama Surabaya.Â
Sementara ini para ahli sejarah klasik menyimpulkan Churabaya adalah identifikasi kata sifat yang disematkan Majapahit pada sebuah desa berpenduduk orang-orang yang memiliki sifat berani melawan bahaya. Dasarnya adalah Bahasa Jawa Kuna mengartikan Chura atau Sura artinya berani dan Baya artinya bahaya.Â
Di mana lokasinya? Belum ada temuan baru hingga sekarang.Â
***
Lantas sejak kapan ikan hiu dan buaya digunakan? dan apa hubungannya dengan Surabaya? dalam buku Oud Soerabaia karya GH Von Vaber 1931 mengungkapkan gambar dua hewan  sebagai logo itu muncul dari penning atau plat besi souvenir peringatan 10 tahun Perkumpulan Musik St Caecilia (1848 - 1858) di Surabaya. Grup musik ini memvisulkan kearifan lokal tentang mitos cerita rakyat pertarungan hiu dan buaya. Dari sini seharusnya paham, bahwa logo dua hewan itu adalah visualisasi mitos cerita rakyat.Â
Maka, logo ini menjadi viral kala itu. Hampir semua bangunan yang berdiri di era akhir abad 18 hingga awal abad 19 memiliki ornamen gambar dua hewan hiu dan buaya sebagai identifikasi Surabaya. Misalnya di menara pandang Kalimas, rumah-rumah pribadi, bekas kantor kedutaan Prancis di Dinoyo, hingga ornamen kaca-kaca patri di gedung perdagangan Jembatan Merah. Â
Padahal lambang dua bintang itu sekadar sebuah mitos cerita binatang atau fable yang sangat lemah dasar kesejarahannya.  Tidak ada kitab atau serat yang yang menulis legenda pertarungan dua hewan. Seperti lemahnya dasar literatur cerita rakyat kancil mencuri mentimun.
Sementara itu di buku bertitel Soerabaia, yang terbit Februari 1864, semakin lengkap menjawab teka-teki asal muasal simbol itu. Buku ini ditulis sejarahwan Hindia Belanda, J Hageman J Cz. Dia mengatakan sejak muncul logo itu sudah menjadi kontroversi. Banyak orang mengaitkan logo ikan dan buaya itu maksudnya adalah kependekan dari kata Surabaya.Â
Padahal kata Suro atau sura dalam kamus Jawa artinya berani. Bukan ikan hiu. Tida ada ada dalam bahasa apapun bahwa hiu = baya. Dalam catatan Hageman yang telah disadur dalam bahasa Inggris, dia mencontohkan nama sejumlah kota di Jawa yang ada kata Sura namun tidak ada kaitannya dengan Ikan hiu. Diantaranya Surakarta. Tokoh sejarah di Jawa juga mengandung julukan SURA, seperti, Suramenggala, Suradilaga, atau Surapati (berani mati).Â
Kata Hagemen, 'SURA' dalam semua penyebutan itu berarti BERANI, tidak ada kata lain selain kalimat itu. Bahkan sebuah idiom Jawa yang tersohor, Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, artinya: Keberanian, kekuatan, Kejayaan akan hancur oleh sifat lemah lembut. Tidak ada ikan hiu di sana.
Maka, untuk menjawab kerancuan itu, pada 1920, ketika logo resmi pemerintah kota Surabaya pertama kali diterbitkan, dilengkapi motto  "Soera ing Baia" atau Sura ing Baya. yang artinya berani melawan bahaya. Satu satunya logo kota jaman kolonial yang menggunakan moto berbahasa Jawa. Sekali lagi antara logo dan motto itu tidak terkait sama sekali. Seperti lambang mitos burung Garuda dan motto Bhineka Tunggal Ika yang tidak saling mengartikan keduanya.
1. Lambang berbentuk perisai segi enam yang distilir (gesty leerd), yang maksudnya melindungi Kota Besar Surabaya.
2. Lukisan Tugu Pahlawan melambangkan kepahlawanan putera-puteri Surabaya dalam mempertahankan Kemerdekaan melawan kaum penjajah.
3. Lukisan ikan Sura dan Baya yang berarti Sura Ing Baya melambangkan sifat keberanian putera-puteri Surabaya yang tidak gentar menghadapi sesuatu bahaya.
4. Warna-warna biru, hitam, perak (putih) dan emas (kuning) dibuat sejernih dan secermelang mungkin, agar dengan demikian dihasilkan suatu lambang yang memuaskan.
Baca juga : Ini asal Kata Pasuruan
Baca Juga : Kembang Jepun, Sebutan Pelacur Jepang yang menjadi Nama Jalan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H