Mohon tunggu...
Kuncarsono Prasetyo
Kuncarsono Prasetyo Mohon Tunggu... Konsultan - Sejarah itu asyik :)

Tukang gambar yang interes pada sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benteng Terakhir Umat Khong Hu Chu

29 Oktober 2019   15:09 Diperbarui: 31 Oktober 2019   14:49 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak orang besar berjuang dari Kapasan, termasuk Liem Koen Hian pendiri Partai Tionghoa Indonesia dan anggota BPUPKI. Pada awal 1930an, Liem makin radikal, dia menganjurkan orang-orang Tionghoa mendukung nasionalisme Indonesia. Liem memakai Boen Bio untuk markas gerakannya. 

dokpri
dokpri
Lim Seng Tee, pendiri kerajaan bisnis tembakau Sampoerna, tercatat 'jamaah' Boen Bio. Taipan ini penyumbang utama gerakan kemerdekaan pimpinan dr Soetomo di Bubutan Surabaya. 

Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sebuah gerakan pendidikan peranakan antikolonialisme embrionya juga lahir di sini. Menurut tulisan Shinta Devi Isr dalam bukunya berjudul, Boen Bio, Benteng Terakhir  Umat Khong Hu Chu, menyebutkan bangunan ini bukan sekadar rumah ibadah, dia telah menjelma sebagai basis perlawanan. 

dokpri
dokpri
Dalam tulisannya, Boen Bio adalah klenteng terakhir yang berjuang sekuat tenaga menghadapi Kristenisasi di kalangan orang Tionghoa pada zaman Hindia Belanda. 

Sejak 1907, pemerintah membuka Holland Chineesche School, sekolah-sekolah berbahasa Belanda untuk orang Tionghoa yang dibuka di seluruh Hindia saat itu. Belanda mendorong organisasi-organisasi Kristen Protestan dan Katholik, membuat sekolah-sekolah swasta yang berafiliasi ke pemerintah. 

dokpri
dokpri
Sebenarnya banyak yang melawan, namun tinggal Boen Bio yang bertahan. Kuatir Peranakan akan meninggalkan agama dan budaya leluhur mereka. Makanya, sekolah THHK didirikan. bahkan menyebar se-Nusantara. Sekolah ini benar-benar mati, ketika rezim Orde Baru lahir. 

Di masa pemerintahan Suharto, ketika Khonghu Chu dihapus, Boen Bio bertahan. Banyak ras peranakan tepaksa pindah keyakinan akibat stigma Orba. Hampir semua klenteng dipaksa 'merger' menjadi Tempat Peribadatan Tri Dharma, (tiga keyakinan), namanya wajib diganti berbahasa Indonesia, Boen Bio tidak pernah ganti nama. 

Sungguh Boen Bio tidak sekadar rumah ibadah. Di sini simbol perlawanan kolonialisme, perlawanan penyeragaman kebudayaan. Maka belajarlah sejarah dengan benar, pasti kita akan tahu bahwa sejatinya setiap ras di negeri ini punya andil. Sehingga kita tidak merasa paling berjasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun