Banyak orang besar berjuang dari Kapasan, termasuk Liem Koen Hian pendiri Partai Tionghoa Indonesia dan anggota BPUPKI. Pada awal 1930an, Liem makin radikal, dia menganjurkan orang-orang Tionghoa mendukung nasionalisme Indonesia. Liem memakai Boen Bio untuk markas gerakannya.Â
Sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), sebuah gerakan pendidikan peranakan antikolonialisme embrionya juga lahir di sini. Menurut tulisan Shinta Devi Isr dalam bukunya berjudul, Boen Bio, Benteng Terakhir  Umat Khong Hu Chu, menyebutkan bangunan ini bukan sekadar rumah ibadah, dia telah menjelma sebagai basis perlawanan.Â
Sejak 1907, pemerintah membuka Holland Chineesche School, sekolah-sekolah berbahasa Belanda untuk orang Tionghoa yang dibuka di seluruh Hindia saat itu. Belanda mendorong organisasi-organisasi Kristen Protestan dan Katholik, membuat sekolah-sekolah swasta yang berafiliasi ke pemerintah.Â
Di masa pemerintahan Suharto, ketika Khonghu Chu dihapus, Boen Bio bertahan. Banyak ras peranakan tepaksa pindah keyakinan akibat stigma Orba. Hampir semua klenteng dipaksa 'merger' menjadi Tempat Peribadatan Tri Dharma, (tiga keyakinan), namanya wajib diganti berbahasa Indonesia, Boen Bio tidak pernah ganti nama.Â
Sungguh Boen Bio tidak sekadar rumah ibadah. Di sini simbol perlawanan kolonialisme, perlawanan penyeragaman kebudayaan. Maka belajarlah sejarah dengan benar, pasti kita akan tahu bahwa sejatinya setiap ras di negeri ini punya andil. Sehingga kita tidak merasa paling berjasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H