Mohon tunggu...
Kunandar
Kunandar Mohon Tunggu... Widyaiswara -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pancasila di Tengah Krisis Berbangsa dan Bernegara

4 Januari 2016   09:32 Diperbarui: 4 Januari 2016   11:09 1686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Krisis multi dimensional yang dialami Indonesia kini tak kunjung selesai. Krisis ekonomi membawa Indonesia terpuruk dalam kehidupan ekonomi, seperti hutang luar negeri yang memberatkan beban APBN, angka pertumbuhan ekonomi yang belum menggembirakan, pertumbuhan sektor riil yang masih rendah, angka pengangguran yang terus meningkat, angka kemiskinan yang terus bertambah dan berbagai persoalan ekonomi lainnya. Krisis politik dalam batas-batas tertentu juga sering mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertikaian antara elit politik dalam mempertahankan atau merebut kekuasaan menyebabkan energi dan pikiran terbuang dengan percuma, di samping bisa menghambat demokratisasi yang dibangun dengan susah payah. Kericuhan di beberapa partai politik dan lembaga demokrasi, seperti KPU dan DPR bisa menyebabkan ketidakpercayaan (dis trust) masyarakat kepada pilar-pilar demokrasi dan pada akhirnya demokrasi sebagai pilihan politik dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara dipertanyakan efektifitas dan kebermanfaatannya.
Krisis moral (KKN) yang merupakan salah satu isu yang dijadikan alasan untuk menuntut lengsernya Orde Baru (Soeharto) mundur dari kekuasaanya, ternyata di era reformasi pun setali tiga uang. Korupsi terjadi di mana-mana, sehingga ada anekdot yang mengatakan kalau di zaman Orde Baru korupsi dilakukan di bawah meja, maka era reformasi korupsi dilakukan di atas meja alias terang-terangan tanpa malu-malu. Hal ini diperparah lagi dengan adanya bencana baik bencana alam seperti gempa bumi dan sunami yang melanda beberapa daerah maupun bencana akibat ulah manusia seperti lumpur panas di Sidoarjo dan kebakaran hutan di Kalimantan.
Dalam kehidupan sosial budaya, kini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas. Indonesia yang terkenal dengan budaya ketimuran yang ramah tamah, religius, dan menjunjung budaya malu, kini telah terjadi pergeseran perilaku sosial budaya di sebagian masyarakatnya. Kriminalitas (kekerasan fisik, pencurian, perampokan, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan tindakan kriminal lainnya) seakan dengan mudah kita saksikan di masyarakat. Tak heran perilaku menyimpang (patologi sosial) tersebut menjadi komoditas industri informasi (cetak maupun elektronik). Hampir semua stasiun televisi mempunyai program acara yang menayangkan tindak kriminalitas. Begitu juga media cetak. Sungguh mengerikan seperti “hantu” yang menakutkan.
Dalam tulisan ini akan mencoba membahas aspek ideologi Pancasila dalam konteks krisis multi dimensional yang dialami bangsa Indonesia.

Fungsi Ideologi
Hampir semua negara di dunia ini mempunyai ideologi negara. Ideologi negara biasanya tercantum dalam Undang-Undang Dasar negara tersebut, baik secara eksplisit ataupun implisit. Ideologi Pancasila memang secara istilah (redaksional) tidak tercantum dalam UUD 1945, baik di Pembukaan maupun di Batang Tubuh, tetapi kita sudah sepakat bahwa yang dimaksud Pancasila sebagain dasar negara adalah rumusan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinia keempat. Jadi kita tidak perlu mempertanyakan dimana rumusan yang menyatakan bahwa “dasar negara Indonesia adalah Pancasila”.
Secara formalitas hampir semua rakyat Indonesia mengakui bahwa dasar negara kita adalah Pancasila. Pertanyaan mendasar sekarang adalah apakah seluruh rakyat Indonesia, baik yang menjadi penguasa maupun rakyat biasa sudah menerima sepenuhnya Pancasila dan berusaha mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari? Kalau memperhatikan kondisi bangsa yang saat ini masih terpuruk dengan berbagai krisis yang belum kunjung selesai, rasanya kita sebagai bangsa harus berani mengakui bahwa nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya kita amalkan. Pancasila masih sebatas retorika dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Nilai ketuhanan belum sepenuhnya diimplementasikan karena kerukunan hidup beragama masih belum sepenuhnya tercipta. Kasus Ambon dan Poso bisa menjadi suatu bukti. Nilai kemanusiaan yang adil dan beradab masih belum terwujud sepenuhnya, karena masih banyak kekerasan kita saksikan. Nilai persatuan Indonesia belum menjadi pilihan sikap seluruh bangsa Indonesia, karena masih ada saudara kita yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Nilai permusyawaratan perwakilan masih jauh dari harapan, karena masih banyak saudara kita yang menyelesaikan suatu persoalan dengan cara-cara kekerasan (anarkis). Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga masih belum sepenuhnya terlaksana, karena angka kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi.

Kembali ke Pancasila
Solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan di atas adalah dengan kembali ke nilai-nilai Pancasila. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kembali ke Pancasila? Pertama, membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Membumikan Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu Pancasila yang sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus diturunkan ke dalam hal-hal yang sifatnya implementatif. Sebagai ilustrasi nilai sila kedua Pancasila harus diimplementatifkan melalui penegakan hukum yang adil dan tegas. Contoh, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) harus tegas dan tanpa kompromi menindak para pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Jadi membumikan Pancasila salah satunya adalah dengan penegakan hukum secara tegas. Tanpa penegakkan hukum yang tegas, maka Pancasila hanya rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai kekuatan apa-apa.
Kedua, internalisasi nilai-nilai Pancasila, baik melalui pendidikan formal maupun non formal (masyarakat). Pada tataran pendidikan formal perlu revitalisasi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (dulu Pendidikan Moral Pancasila) di sekolah. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selama ini dianggap oleh banyak kalangan “gagal” sebagai media penanaman nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan hanya sekedar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah kognitif) sedangkan ranah afektif dan psikomotorik masih kurang diperhatikan. Ini berakibat pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa. Hal ini diperparah dengan adanya anomali antara nilai positif di kelas tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam realitas sehari-hari. Sungguh dua realitas yang sangat kontras dan kontradiktif. Oleh karena itu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus dikemas sedemikian rupa, sehingga mampu menjadi alat penanaman nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda.
Pada tataran masyarakat, internalisasi Pancasila gagal menjadikan masyarakat Pancasilais. Pola penataran P4 yang dipakai sebagai pendekatan rezim Orde Baru juga gagal mengantarkan masyarakat Pancasila. Hal ini disebabkan Pancasila justru dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Ketika reformasi seperti saat ini, Pancasila justru semakin jauh dari perbincangan, baik oleh masyarakat maupun para elit politik. Pancasila seakan semakin menjauh dari keseharian kita. Sungguh ironis sebagai bangsa pejuang yang dengan susah payah para pendiri negara (founding father) menggali nilai-nilai Pancasila dari budaya bangsa, kini semakin pudar dan tersisih oleh hiruk pikuk reformasi yang belum mampu menyelesaikan krisis multidimensional yang dialami bangsa dan negara Indonesia. Oleh karena itu perlu dicari suatu model (pendekatan) internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat yang tepat dan dapat diterima, seperti melalui pendekatan agama dan budaya.
Ketiga, ketauladanan dari para pemimpin, baik pemimpin formal (pejabat negara) maupun informal (tokoh masyarakat). Dengan ketauladanan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, diharapkan masyarakat luas akan mengikutinya. Hal ini disebabkan masyarakat kita masih kental dengan budaya paternalistik yang cenderung mengikuti perilaku pemimpinnya. Mari kita kembali ke jati diri bangsa (Pancasila) dalam menyelesaikan setiap masalah kebangsaan yang kita hadapi.
Jagakarsa, 10 Oktober 2006.

Penulis adalah Widyaiswara di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) DKI Jakarta Kemdikbud

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun