Mohon tunggu...
Bawono Kumoro
Bawono Kumoro Mohon Tunggu... -

Peneliti di The Habibie Center

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia, Sahabat atau Musuh bagi Australia?

24 Februari 2014   08:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bawono Kumoro, Peneliti The Habibie Center

November lalu, relasi Indonesia-Australia berada dalam situasi tegang dan memanas. Hal itu dipicu kabar penyadapan Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mantan agen intelijen Amerika Serikat, Edward Snowden, mengungkapkan intelijen Australia menggunakan segala cara mengumpulkan data dari Indonesia, termasuk dengan cara menyadap telepon Presiden SBY.

Dokumen milik Snowden tersebut menunjukkan Australia melacak kegiatan Presiden SBY melalui telepon genggam selama 15 hari di Agustus 2009. Saat itu Kevin Rudd dari Partai Buruh masih menjadi Perdana Menteri Australia.

Daftar target penyadapan juga mencakup Wakil Presiden Boediono, Ibu Negara Kristiani Herawati Yudhoyono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, juru bicara presiden untuk urusan luar negeri, menteri pertahanan, menteri komunikasi dan informatika, dan sejumlah menteri lain.

Kini beberapa bulan berselang hal serupa kembali terulang. Pemberitaaan terbaru The New York Times mengatakan Australia pernah melakukan sadapan terhadap sebuah firma hukum Amerika Serikat bernama Mayer brown pada Februari 2013. Ketika itu firma hukum tersebut sedang menjadi wakil Indonesia dalam sengketa dagang dengan Amerika Serikat di World Trade Organization (WTO).

Kabar itu sontak kembali membuat panas telinga para pejabat di Kementerian Luar Negeri. Bahkan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan Australia harus mengambil keputusan untuk mempredikatkan Indonesia sebagai apa, sahabat atau musuh?

Roller Coaster

Jika lihat perjalanan sejarah hubungan kedua negara, tidak jarang dijumpai berbagai ketegangan diplomatik. Sudah menjadi rahasia umum, relasi Indonesia-Australia sering kali mengalami pasang surut dan diwarnai berbagai ketegangan diplomatik akibat ulah provokatif sejumlah elite politik pemerintahan Australia.

Pengamat politik Australia, Colin Brown, melukisakan relasi Indonesia-Australia ibarat roller coaster, berundak-undak atau berputar sehingga jika ada langkah naik (up turn) yang dihasilkan akan diikuti penurunan (down turn).

Letak geografis yang jauh dari Inggris, selaku tanah leluhur, dan luas wilayah yang tidak berimbang dengan jumlah penduduk membuat Australia cenderung terisolasi dari dinamika regional.

Faktor budaya dan tradisi Australia yang lebih dekat dengan Eropa secara tidak langsung menciptakan hambatan bagi negara itu untuk menjalin komunikasi intensif dengan negara-negara Asia, terutama di kawasan Asia Tenggara.

Australia seakan terisolasi sebagai negara antah-berantah. Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi Australia dalam menjalin hubungan intensif yang harmonis dengan negara-negara tetangga.

Jalinan relasi diplomatik antara Australia dengan negara-negara tetangga, terutama Indonesia, selama ini tidak jarang diwarnai berbagai ketegangan. Dukungan Australia terhadap kelompok prokemerdekaan pada Referendum Timor Timur pada 1999 dan pemberian visa sementara oleh Pemerintah Australia kepada 42 warga Papua beberapa tahun lalu merupakan contoh dari hal itu.

Secara historis, Australia merupakan negara persemakmuran yang paling lama bergantung pada Inggris. Ketika negara-negara persemakmuran lain telah melepaskan diri dari bayang-bayang Inggris, Australia belum dapat melepaskan diri dari pengaruh Inggris, terutama terkait kebijakan politik luar negeri. Sebagai contoh, pada Perang Dunia I, Australia terjun ke medan perang membantu kepentingan Inggris.

Setelah Amerika Serikat muncul sebagai kekuatan baru, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri John Curtin (1941-1945), Australia menjadikan Amerika Serikat sebagai “negara pelindung”. Australia pun “mengabdi” pada Negeri Paman Sam itu. Keterlibatan Australia dalam Perang Vietnam menjadi awal dari “pengabdian” tersebut.

Memasuki tahun 1980-an, Australia mulai menyadari pentingnya hubungan intensif dengan negara-negara Asia. Kepentingan utama Australia adalah persoalan keamanan. Australia tidak ingin terkena imbas negatif dari instabilitas negara-negara tetangga di kawasan Asia.

Karena itu, pada masa-masa ini Australia merasa sangat berkepentingan lebih merapat ke Asia daripada Barat. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Bob Hawke (1983-1991) dan Paul Keating (1991-1996) dari Partai Buruh, Australia kian menampilkan wajah ramah terhadap negara-negara Asia, terutama Indonesia. Tidak berlebihan jika era itu dianggap masa keemasan relasi Indonesia-Australia.

Namun, perlu diingat hubungan diplomatik yang semata-mata didasari kepentingan politik keamanan tidak selalu berbuah positif. Ini melahirkan pola hubungan antarnegara yang cenderung sepihak dan tidak seimbang. Pasca-Keating, Australia berada di bawah kepemimpinan John Howard (1996-2007).

Pada era kepemimpinan Howard, hubungan Indonesia dan Australia lebih didominasi ketegangan-ketegangan politik. Berbagai kebijakan Howard cenderung kurang simpatik terhadap Indonesia.

Sedari awal menjabat sebagai perdana menteri, Howard langsung mengubah haluan politik luar negeri Australia yang selama era kepemimpinan Paul Keating dinilai terlalu condong ke Asia sehingga menomorduakan hubungan kultural dengan negara-negara Barat.

Meskipun Asia tetap ditempatkan sebagai bagian terpenting dalam kebijakan politik luar negeri Australia, prioritas utama dari kebijakan politik luar negeri John Howard adalah “melayani” kepentingan Amerika Serikat.

Hal itu sekaligus menjadi pertanda menguatnya kelompok status quo di langgam politik Australia. Kelompok status quo memang lebih suka bila Australia menjaga hubungan tradisional dengan negara-negara Barat ketimbang menjalin hubungan harmonis dengan negara-negara tetangga di Asia.

Lebih Erat

Berbagai dinamika itu menjadi latar belakang bagi relasi Indonesia-Australia di masa mendatang. Karena itu, tidak berlebihan jika Presiden SBY dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan pemerintah Australia menaruh harapan agar kedua negara senantiasa berupaya mengelola hubungan lebih baik lagi demi kepentingan bersama.

Sejak kali pertama menjabat sebagai presiden pada 2004, SBY segara melakukan sejumlah pendekatan diplomatik terhadap Australia. Enam bulan setelah dilantik menjadi presiden, Presiden SBY dan Perdana Menteri John Howard mengikat komitmen bersama lewat Deklarasi Bersama. Deklarasi tersebut mengenai kemitraan komprehensif antara Indonesia dan Australia

Tanggal 13 November 2006, Indonesia dan Australia menegaskan ikatan yang lebih strategis melalui perjanjian dalam kerangka kerja sama keamanan. Perjanjian yang dikenal dengan nama Lombok Treaty itu disahkan dalam Undang-Undang Nomor 47 Tahun 2007.

Karena itu, sungguh disayangkan apabila ada pihak di jajaran pemerintahan Australia melakukan cara-cara kotor yang merusak hubungan baik yang telah dijalin selama ini. Mungkin ini merupakan konsekuensi logis dari semakin berkibarnya nama Indonesia di dunia internasional selama beberapa tahun terakhir.

Tidak sedikit negara mulai memperhitungkan Indonesia sebagai kekuatan baru di Asia Pasifik. Ini memunculkan persaingan dan rivalitas. Meskipun demikian, persaingan dan rivalitas itu semestinya tidak menampikkan sikap etis dan fair dari sebuah negara dalam mengarungi pergaulan internasional. ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun