Bawono Kumoro, Peneliti Politik The Habibie Center
Beberapa pekan ke depan bangsa Indonesia akan menggelar hajatan besar pemilihan umum (pemilu) tahun 2014. Sejumlah manuver pun dilakukan partai-partai politik untuk menarik simpati publik dalam rangka memenangkan pemilu.
Salah satu manuver politik itu adalah dengan menjual romanitisme masa lalu sebagaimana dilakukan Partai Golkar saat melakukan kampanye terbuka di Gelanggang Olahraga Ciracas, Jakarta Timur, Selasa (18/3) lalu. Ketika itu Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie membanggakan kepemimpinan Soeharto karena telah berhasil menghadirkan kesejahteraan umum.
Buka hal aneh bila Partai Golkar melontarkan “dagangan politik” semacam itu mengingat partai berlambang pohon beringin tersebut merupakan pendukung utama kekuasaan Soeharto selama 32 tahun. Namun, tentu menarik untuk mengkaji lebih jauh kebenaran dari "dagangan politik" Partai Golkar tersebut.
Apakah benar sebagian besar masyarakat lebih memilih hidup sejahtera tanpa kehadiran sebuah pemerintahan demokratis sebagaimana terjadi di masa Orde Baru? Dalam konteks lebih luas, benarkah kesejahteraan di sebuah negara hanya akan dapat dicapai dalam sebuah rezim otoriter?
Demokrasi dan Kesejahteraan
Diskursus mengenai hubungan demokrasi dan kesejahteraan memang telah sejak lama menjadi isu klasik dalam debat akademis di kalangan ilmuwan politik dan ekonomi. Demokrasi diyakini akan membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Pertumbuhan ekonomi itu kemudian akan membawa implikasi langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tingkat kesejahteraan tinggi memang banyak dijumpai di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi. Selama kurun waktu empat dekade terakhir atau sejak tahun 1960-an, statistik pertumbuhan ekonomi di negara-negara demokrasi tercatat 25 persen lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara otoriter (Morton Halperin, Joseph T Siegle, Michael M Weinstein, dan Joanne J Myers, The Democracy Advantage: How Democracies Promote Prosperity and Peace).
Namun, pengalaman Singapura yang secara mengagumkan mampu mencapai kemakmuran ekonomi dengan sistem politik nondemokrasi (baca: otoriter) seakan menyiratkan pesan bahwa ada jalan lain di luar demokrasi untuk mencapai kesejahteraan. Hal tidak jauh berbeda juga ditunjukkan China. Negeri Tirai Bambu ini melakukan sebuah eksperimen berani dengan mengawinkan sistem politik otoriter dan sistem ekonomi pasar bebas. Alhasil, pertumbuhan ekonomi China dewasa ini menjadi momok menakutkan bagi negara-negara Barat.
Ada sebuah kalimat menarik diutarakan Barack Obama saat memberika pidato di Universitas Indonesia beberapa tahun lalu, "prosperity without freedom is just another form of poverty." Kalimat itu seakan ingin menegaskan bahwa kebebasan memiliki peran kunci dalam kehidupan sebuah negara.
Penekanan serupa pernah diulas penerima Nobel Perdamaian tahun 1998 Amartya Sen. Bagi Sen, kemakmuran tidakakan memiliki arti apa-apa tanpa kebebasan. Uang dan harta berlimpah hanya akan menjadi pajangan bemata bila kita tidak diberi ruang untuk berekspresi.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sulit dimungkiri tidak sedikit dari kita memiliki pandangan bahwa keyakinan terhadap demokrasi sebagai jembatan emas untuk mencapai kesejahteraan dan kemamuran ekonomi tidak lebih dari sekadar mimpi semata.
Setelah 15 tahun berpaling dari rezim otoritarianisme, eksistensi demokrasi di Indonesia ternyata belum banyak memberi arti. Demokrasi seakan hanya menjadi konsumsi sekelompok elite politik tanpa membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?
Di antara sejumlah penyebab hal itu adalah keberadaan para penumpang gelap reformasi. Tokoh-tokoh yang di masa lalu sangat gigih menghadang gerak laju demokratisasi kini justru berbalik menjadi pihak yang diuntungkan.
Alhasil, sistem pemerintahan demokrasi tersebut tidak dilengkapi dengan keberadaan lembaga-lembaga politik yang bersih. Sebagai contoh, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga vital dalam proses perumusan kebijakan justru menjadi salah satu pusat praktik korupsi di Indonesia.
Praktik korupsi massif di lembaga-lembaga politik pemerintahan tentu membawa dampak negatif terhadap kehidupan perekonomian suatu bangsa. Korupsi dapat menciptakan iklim tidak kondusif bagi aktivitas ekonomi, bisnis, dan investasi.
Singkat kata, sebab utama mengapa sistem pemerintahan demokrasi Indonesia belum maksimal dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran tidak lain diakibatkan praktek massif tindak pidana korupsi di lembaga-lembaga politik pemerintahan.
Menjadi pekerjaan rumah kita bersama untuk secara bersungguh-sungguh mengelola demokrasi dan kebebasan yang tengah mekar saat ini dengan baik agar mampu menjawab berbagai problem konkret masyarakat sehari-hari.
Prestasi Reformasi
Meskipun saat ini tingkat kesejahteraan umum belum dapat dicapai secara maksimal, tetapi tidak boleh dilupakan pula bahwa di masa pemerintahan era reformasi seperti inilah kondisi perekonomian nasional dapat lepas jeratan krisis moneter tahun 1997. Bahkan, ketika negara-negara maju sedang dilanda resesi global, stabilitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif terjaga dengan baik.
Apabila merujuk data-data statistik selama beberapa tahun terakhir kinerja ekonomi Indonesia memang tengah menggeliat. Beberapa indikator menunjukkan hal tersebut.
Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan trens positif dan stabil. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini selalu berada di atas enam persen. Bahkan, tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Indonesia terbesar kedua di dunia setelah China.
Kedua, realisasi investasi semakin baik. Belum lama ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memaparkan realisasi investasi sepanjang tahun 2013 mencapai mencapai Rp 398,6 triliun. Apabila dirinci jumlah itu merupakan total dari realisasi investasi triwulan I Rp 93 triliun, triwulan II Rp 99 triliun, triwulan III Rp 100,5 triliun, dan triwulan IV Rp 105,3 triliun.
Realisasi investasi tahun 2013 sebesar Rp 398,6 triliun itu melampaui target investasi BKPM tahun 2013 sebesar Rp 390,3 triliun. Hal itu menjadikan realisasi investasi tahun 2013 seabagai realisasi investasi terbesar sepanjang sejarah penanaman modal di BKPM.
Ketiga, pendapatan per kapita terus meningkat. Saat krisis moneter mulai menerpa kehidupan ekonomi Indonesia tahu 1998 lalu pendapatan per kapita penduduk Indonesia sebesar US$600. Kemudian melalui berbagai program pembangunan pascakrisis di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri pendapatan per kapita naik menjadi US$1.100.
Kini pendapatan per kapita semakin meningkat hingga berada di angka US$4.000. Diperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun mendatang Indonesia akan masuk jajaran negara dengan penduduk berpenghasilan tinggi dengan pendapatan per kapita US$14.250-US$15.500.ini Indoesia tergabung di dalam kelompok kerjasama ekonomi global G20. G20 merupakan reperesentasi produk domestik bruto (PDB) dua per tiga penduduk dunia. Indonesia merupakan satu-satunya negara ASEAN yang tergabung di dalam G20.
Demikian pula di bidang hukum, indeks persepsi korupsi Indonesia mengalami perbaikan secara perlahan. Skor indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2013 adalah 32 dimana menempati urutan 114 dari 177 negara yang diukur Transparency International.
Akhir kata, di masa pemerintahan Soeharto kehidupan perekonomian Indonesia memang mengalami puncak kejayaan hingga mendapatkan presikat “Macan Asia”. Akan tetapi, tidak boleh dilupakan pula bahwa pada masa itu jugalah kehidupan demokrasi, kebebasan sipil, dan penegakan hukum di Indonesia berada di titik nadir paling rendah. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H