Sekalipun terlahir dari mama seorang guru, tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk menjadi seorang guru. Sebagaimana anak-anak laki-laki lain, pada masa kecil, saya lebih suka membayangkan akan menjadi tentara atau polisi kelak. Sebagai anak guru, apalagi di tahun 80'an di mana gencar-gencarnya guru disanjung sebagai "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", dan belum ada macam - macam tunjangan untuk guru, termasuk sertifikasi, saya sangat mengerti bahwa profesi guru bukan profesi yang bisa diandalkan untuk menjadi kaya. Yang saya masih ingat sampai sekarang adalah mama saya sudah sangat bangga dan berbahagia bila mendapati ada salah satu muridnya (sekarang anak didik) yang berhasil, dan masih mengingat beliau sebagai gurunya. Dibayarin mantan murid saat naik angkot, ataupun gratis berobat di dokter karena sang dokter adalah mantan murid, merupakan suatu kebanggaan yang sangat besar bagi mama saya.
Saya masih mengingat dengan jelas, bahwa untuk menambah pendapatan keluarga, mama saya harus memberikan les untuk siswa SD. Les ini terbuka bagi semua anak, kecuali bagi siswa di kelas di mana beliau menjadi wali kelasnya. Hal ini dilakukan supaya obyektifitas dalam penilaian di kelas tidak terganggu, sehingga profesionalitas beliau sebagai wali kelas tetap terjaga.
Selama mengajar di rumah sebagai guru les, sebenarnya saya memang sudah terlibat dalam kegiatan mengajar sejak kelas 6 SD.. Saya sering diminta mama untuk membantu mengajar adik-adik kelas, terutama dalam pelajaran Bahasa Daerah ( Bahasa Jawa). Maklum saja, sebagai seorang keturunan Minahasa, beliau tidak menguasai pelajaran tersebut, dan saya yang lahir, dibesarkan dan sekolah di Surabaya, tentu saja saya cukup menguasai pelajaran bahasa Jawa, bahkan sampai aksara Jawa.
Aktivitas sebagai “guru bantu” di tempat les (rumah) tetap saja masih belum membuka pikiran saya untuk bercita-cita menjadi guru, hingga akhirnya saat saya memilih jurusan untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi, saya bahkan sama sekali tidak mempertimbangkan untuk kuliah di bidang pendidikan (keguruan). Singkat cerita, saya justru memilih jurusan Teknik Sipil karena suka pelajaran matematika-fisika juga dengan mempertimbangkan prospek masa depan yang menjanjikan.
Agar tidak memberatkan keuangan keluarga, Saya harus bekerja sambil tetap kuliah, dan mengingat saya punya bekal pengalaman dalam mengajar, maka pekerjaan sebagai guru les privat pun menjadi pilihan utama bagi saya. Saat bekerja sebagai guru privat inilah, saya baru merasakan bahwa mengajar bukan hanya sekedar menjadi pekerjaan, tapi ada hasrat yang kuat di dalamnya. Mengajar setelah kuliah, justru membuat saya menjadi segar setelah seharian kuliah .
Aktivitas mengajar ini bahkan terus saya lakukan bahkan setelah lulus dari kuliah. Saya diterima kerja sebagai guru sempoa dan mendapat promosi sebagai trainer guru. Selain itu saya juga masih terus mengajar privat matematika-fisika, juga sebagai pengajar sekolah Minggu di gereja. Mengajar akhirnya memang menjadi hidup saya hingga saat ini.
Menikmati pengalaman menjadi guru, membawa saya ke pemahaman yang lebih lagi bahwa ternyata mengajar saja tidak cukup. Guru yang mengajar hanya membuat seseorang dari tidak tahu menjadi tahu. Guru harus menginspirasi.
Guru yang menginspirasi akan membuat muridnya tidak hanya menjadi tahu, tapi akan membuat murid lapar dan haus akan ilmu pengetahuan. Guru yang menginspirasi pasti akan menghidupkan kelas. Murid-murid yang terinspirasi pasti akan membawa sejuta pertanyaan. Mereka akan berusaha sekeras mungkin untuk dapat menjawab semua pertanyaan sebagaimana gurunya. Guru yang menginspirasi, otomatis akan menjadi guru yang kreatif. Guru yang menginspirasi pasti akan mencari sejuta cara agar anak didiknya mengerti pelajaran/ materi yang akan diajarkan.
Guru yang menginspirasi akan memutarbalikkan cara pandang murid terhadap pelajarannya. Murid yang terinspirasi tidak akan lagi memandang angka-angka dalam pelajaran matematika sebagai suatu momok yang menakutkan, tapi mereka akan dapat melihat mereka sebagai bagian suatu permainan yang dapat memuaskan rasa penasaran. Murid yang terinspirasi tidak akan melihat Bahasa Inggris sebagai pelajaran yang dipenuhi oleh rumus tenses yang harus dihafalkan, tapi mereka akan melihatnya sebagai suatu cara baru untuk berkomunikasi.
Guru yang menginspirasi inilah yang dimaksud oleh peribahasa Jawa sebagai “digugu lan ditiru”. Guru yang menginspirasi otomatis akan mendemonstrasikan karakter-karakter indah tanpa dibuat-buat atau direkayasa yang akan diduplikasi oleh murid-muridnya. Guru yang menginspirasi tidak lahir dari kumpulan teori pedagogik. Guru yang menginspirasi lahir dari hasrat yang kuat untuk melahirkan dan membentuk generasi baru yang lebih baik dari dirinya.
Bangsa ini tidak sekedar membutuhkan guru yang mengajar, tapi menginspirasi. Menginspirasi generasi penerus bangsa ini untuk menjadi manusia Pancasila yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Selamat hari guru.