Saya menulis artikel ini, sesaat setelah saya melihat ulah si Pegawai MA yang dinobatkan sebagai “Top Picture” dalam sebuah acara berita di salah satu stasiun TV Swasta. Sungguh sangat memprihatinkan, seorang berpendidikan tinggi (kabarnya lulusan S2) dan bekerja di lembaga Yudikatif dapat melakukan perbuatan yang cukup memalukan.
Bekerja di lembaga penegakan hukum, ternyata tidak menjamin seseorang menghormati hukum yang berlaku. Peraturan lalu lintas yang ditemui setiap hari, menjadi salah satu produk hukum yang rentan untuk dikangkangi. Dengan berbagai macam pembenaran, Peraturan lalu lintas begitu mudah untuk dilanggar. Tidak cukup dengan itu, saat kendaraannya dihentikan polisi lalu lintas karena melanggar hukum (peraturan lalu lintas), sang pegawai MA justru mengamuk, memaki dan menyerang sang polisi yang notabene adalah petugas penegak hukum.
Saya sangat setuju bila peristiwa tersebut dinobatkan sebagai “top picture” mengingat peristiwa ini cukup mewakili kondisi bangsa ini yang sudah mulai kehilangan budaya malu. Para koruptor yang tertangkap tangan (baca: tertangkap basah) pun masih percaya diri memberikan pernyataan di televisi. Rompi oranye KPK yang semula dimaksudkan untuk mempermalukan para koruptor, ternyata gagal memenuhi tugasnya.
Politikus yang sudah terlibat skandal suap, juga masih percaya diri untuk kembali menjadi pemimpin di lembaga Tinggi Negara. Belum lagi para mantan narapidana yang dengan percaya diri come back dan mencalonkan diri di ajang Pemilihan Kepala Daerah. Pengguna narkoba yang jelas-jelas salah, tanpa rasa berdosa dan malu, menyatakan diri sebagai korban, entah korban salah tangkap, atau korban dari bandar narkoba. .
Rakyat Indonesia lama – kelamaaan kehilangan standar moral untuk dapat mengidentifikasi mana perilaku yang benar dan mana yang salah. Benar atau salah seringkali bergantung pada suara terbanyak.
Menegur perokok yang merokok di kendaraan umum, bisa menjadi tindakan yang salah di Negara ini, hanya karena jumlah perokok lebih banyak di Indonesia. Menyerobot antrian juga menjadi aktivitas biasa bagi sebagian orang, dan para pengantri yang tertib justru malu untuk menegur si penyerobot.
Nilai – nilai luhur bangsa Indonesia sebagai bangsa yang santun, malu bila berbuat salah tampaknya sudah mulai luntur ditelan oleh egoisme tingkat tinggi sebagai akibat dari perkembangan dunia yang sarat dengan persaingan dan penghalalan segala cara.
Di saat hukum sepertinya tidak lagi mempan untuk membuat seseorang malu berbuat salah, aksi para citizen dan awak pemberitaan yang mem’bully’ si pegawai MA, tampaknya cukup mujarab untuk mempermalukan para pembuat kesalahan yang arogan. Masyarakat saat ini sudah mulai memperhitungkan faktor “media sosial” yang sangat signifikan dalam menjaga kehormatan pribadi maupun keluarga. Dosa/ kesalahan yang dimuat Koran, saat ini sudah bukan lagi menjadi sanksi sosial yang terlalu menakutkan, bila dibandingkan dimuat di media sosial, yang dapat membuat seluruh keluarga, teman, dan kenalan, bahkan keluarga atau kenalan yang jauh dapat mengetahuinya.
Mengembalikan jati diri bangsa sebagai bangsa yang dapat hidup berdampingan dengan damai dan saling menghormati, serta mempunyai budaya malu, agaknya menjadi salah satu pekerjaan rumah bangsa ini, agar Indonesia kembali dikenal sebagai bangsa dengan keluhuran tinggi yang dapat menarik minat bangsa lain, baik sebagai tujuan wisata maupun tujuan investasi.
Di akhir tulisan ini, ijinkan saya untuk memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya untuk Aiptu Sutisna yang telah menjalankan tugasnya sebagai polisi lalu lintas dengan baik. Saya sengaja tidak pernah menulis nama si pegawai MA, supaya namanya tidak lebih terkenal dari Aiptu Sutisna yang layak untuk mendapat apresiasi tinggi untuk tindakannya.
#UntukIndonesiaYangLebihBaik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H