Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Membaca Kesuksesan Euro 2020 dan Copa Amerika 2021

18 Juli 2021   08:20 Diperbarui: 18 Juli 2021   08:22 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerardus Kuma. Dok.pribadi

Keberhasilan pelaksanaan Euro 2020 dan Copa Amerika 2021 dapat kita jadikan refleksi atas situasi sepakbola tanah air kita yang selalu menyodorkan fakta negatif baik yang terjadi di dalam maupun di luar arena arena pertandingan. Sejauh ini sepak bola tanah air lebih menampilkan wajah yang suram dengan prestasi minim.

Tidak jarang kita menyaksikan pertandingan bola yang berakhir rusuh. Di dalam lapangan bola baku hantam antar pemain, sementara di luar arena bola tawuran antar supporter pun tidak kalah seru. Mafia sepak bola, pengaturan skor pertandingan, kompetisi bola yang kacau balau adalah potret wajah buram sepak bola Indonesia.

Sepak bola tanah air lebih banyak menampilkan adu otot ketimbang adu skill. Dunia sepak bola tanah air yang sering menimbulkan chaos membuat citra sepak bola sebagai permainan menjadi rusak.

Permainan sepak bola tidak lagi menjadi sarana aktualisasi jati diri (bangsa) tetapi sebaliknya merendahkan martabat bangsa. Pada titik ini fitrah manusia sebagai homo ludens terdegradasi ke level hewani. Menurut Doni Kleden (Pos Kupang, 12/08/2015) ada pembeda yang sangat subtantif antara ludens yang terdapat pada manusia dan ludens yang terdapat pada hewan.

Letak pembeda itu adalah kesadaran dan integritasnya. Pada hewan, ludensnya dikendalikan oleh naluri, insting yang bersifat refleks dan bukan refleksi. Pada manusia, ludensnya dikendalikan oleh akal, otonomi, integritas, dan kesadaran (consciousness).

Konsekuensinya, urai Kleden, manusia tidak mudah tidak akan membiarkan dirinya terperosok ke dalam ludens yang merendahkan integritasnya, otonominy, dan melenyapkan kesadarannya. Karena ludens pada manusia selalu berangkat dari kesadarannya yang rasional sebagai manusia yang selalu memperhitungkan segala konsekuensi logis dari perbuatannya. Artinya segala perilaku hidup selalu berangkat dari refleksi, bukan refleks sebagaimana yang ada pada hewan.

Kericuhan-kericuhan yang sering terjadi di arena bola kaki tanah air harus segera dibenahi agar tidak merusak citra sepakbola bangsa di mata dunia. Sebagai sarana pengungkapan diri (bangsa), sepak bola harus dijaga agar tidak ternoda aksi-aksi tidak terpuji. Bila kepada dunia kita tidak mampu menunjukkan prestasi timnas bola kaki, cukuplah kita tunjukkan bahwa sepak bola bangsa ini berada pada level ludens sebagai manusia, bukan ludens sebagai hewan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun