Guru harus mengunjungi siswa dari rumah ke rumah. Ini butuh waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Sebagai guru yang mengajar di daerah 3T dan selama pandemi Covid-19 melaksanakan PJJ secara luring, saya sungguh mengalami dan merasakan beratnya perjuangan guru di pelosok negeri dikala pandemi korona ini.
Guru yang menolak meminta pemerintah agar tidak terburu-buru membuka kembali sekolah di awal tahun pelajaran baru. Survey Wahana Visi Indonesia, Kemdikbud dan Predikt menunjukkan bahwa guru khawatir bila sekolah dibuka kembali peserta didik tertular Covid-19, diri sendiri tertular korona, tidak dapat melakukan pembelajaran dengan nyaman, tidak bisa menjalankan pembelajaran tatap muka dengan nyaman dan efektif, orangtua atau penghuni rumah lainnya tertular Covid-19[iii] (Kompas.id, 08/03/2021).
Kekhawatiran guru ini beralasan karena vaksinasi hanya dilakukan terhadap pendidikan dan tenaga kependidikan. Sementara siswa yang secara kuantitas jauh lebih banyak dari guru belum divaksin. Ini berarti kekebalan kelompok (herd immunity) Covid-19 di sekolah belum terbentuk. Karena itu resiko penularan di sekolah bisa terjadi.
Kesiapan Kita
Membuka sekolah berarti sekolah harus dibuka dengan aman dan efektif. Karena itu bukan soal cepat atau lambat, tetapi masalah kesiapan. Sekolah harus dipastikan benar-benar siap, baik secara infrastruktur maupun protokol kesehatan.
Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri tentang panduan penyelenggaraan pembelajaran pada tahun ajaran tahun 2020/ 2021 dan tahun akademik 2020/ 2021 di masa pandemi Covid-19 telah memberi acuan teknis bagaimana pembelajaran tatap muka di sekolah harus dijalankan di masa pandemi korona. Penyediaan infrastruktur dan kepatuhan menjalankan protokol kesehatan menjadi syarat penting.
Namun hingga kini masih banyak sekolah belum memenuhi persyaratan dimaksud. Data Kemdikbud tentang kesiapan belajar menunjukkan bahwa baru 280.372 atau 52,44 persen sekolah yang mengisi daftar kesiapan proses belajar mengajar di masa pandemi, itu pun baru sekitar 10 persen yang siap[iv] (Kompas.id, 19/03/2021).
Ini baru masalah teknis, belum bicara implementasi. Pengalaman empiris sebagai guru memunculkan keraguan akan hal ini. Dalam beberapa kesempatan melaksanakan pembelajaran tatap muka dengan sistem shif, setiap hari selalu ada anak yang harus dipulangkan karena datang ke sekolah tanpa memakai masker. Di kalangan guru pun masih ada yang belum taat menjalankan aturan kesehatan.
Ini masalah kepatuhan. Kita belum sadar menjalankan protokol kesehatan secara baik. Kesadaran untuk beradaptasi dengan kenormalan baru belum tumbuh dalam diri. Â Aturan menerapkan 3M dirasa sebagai suatu paksaan. Karena itu pembukaan sekolah masih rawan menimbulkan kluster pendidikan bila hanya mengandalkan vaksinasi guru dan mengabaikan infrastruktur dan penerapan protokol kesehatan.
Persoalan lain adalah ketersediaan air. Bulan Juli nanti Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Sebagaimana jamak ketersediaan air berkurang di musim tersebut. Kekurangan atau ketiadaan air akan menyulitkan dalam mencuci tangan. Sebagai salah satu cara melindungi cirri dari virus korona, menurut petunjuk Kemenkes dalam mencuci tangan dibutuhkan air bersih dan mengalir.
Situasi pendidikan saat ini memang dilematis. Bagai berada di persimpangan jalan pilihan antara meneruskan PJJ atau melakukan tatap muka. Namun apapun pilihan yang diambil semua mengandung resiko. Membuka sekolah berarti menerima resiko tertular korona, melanjutkan BDR berarti mempenpanjang dampak negative PJJ bagi peserta didik.