Hari ini kami jalan-jalan ke pantai Watobuku. Sebuah desa di wilayah selatan Wulanggitang. Kampung ini terkenal dengan ikan tembang. Bagi orang Wulanggitang, Watobuku identik dengan ikan tembang. Di mana ikan tembang Watobuku berbeda dengan ikan tembang dari wilayah lain. Ini karena tembang Watobuku tidak berminyak dan terasa gurih.
Ikan ini tidak ada setiap saat. Ada waktu tertentu mereka akan muncul dan bermain di sekitar pantai. Tidak jauh dari bibir pantai, kira-kira sepelempar batu ikan ini bisa didapatkan. Dan sekarang lagi musim tembang di Watobuku. Inilah alasan kami ke pantai hari ini.
Saat tiba pantai sangat ramai. Banyak orang baik anak-anak maupun dewasa berada di pantai. Ana-anak ada yang bermain di bibir pantai, ada yang berenang, ada yang kelihatan mengorek pasir, yang lain bekejaran dengan teman. Sementara orang dewasa kebanyakan hanya duduk di sekitar pantai, ada beberapa yang duduk berkelompok dan sedang minum tuak, ada juga sedang memancing. Di laut tidak jauh dari pantai para nelayan sedang menebar jala.
Melihat suasana ini, terutama anak-anak yang sedang bermain di pantai saya teringat saat kecil di kampung. Setiap hari kami selalu bermain di pantai. Apalagi di saat musim ikan terbang. Waktu seharian kami habiskan di pantai. Sambil menikmati laut: berenang, menyelam dan bermain sampan, kami menanti nelayan pulang melaut.
Moment yang paling ditunggu adalah saat berebut ikan bersama teman-teman. Bahasa Edangnya runing i'a. Ceritanya begini. Ketika para nelayan pulang melaut, anak-anak (juga orang dewasa) ikut membantu menarik sampan ke darat. Â Upah menarik sampan ini kami akan diberikan ikan oleh nelayan. Namun pembagian ikan ini sangat diskriminatif. Antara orang dewasa dan anak-anak diperlakukan berbeda. Untuk orang dewasa, ikan langsung diberikan kepada yang bersangkutan.
Sementara anak-anak di suruh untuk berkumpul di satu tempat tidak jauh dari sampan. Nelayan pemilik sampan lalu membuang ikan (tentu dalam jumlah yang banyak) ke arah kerumuman anak-anak. Di saat itu terjadi runing i'a, saling berebutan mendapatkan ikan. Seru memang. Walau kadang ada rasa kesal karena tidak mendapat seekor ikan tapi kami menikmati moment tersebut. Saling mendorong, bahkan ada yang sampai jatuh tertindih. Ya, dunia anak-anak adalah keramaian.
Inilah nikmatnya menjadi anak pantai. Tidak susah untuk mendapatkan ikan. Kalau tidak bisa memancing dan atau tidak memiliki pukat cukup datang ke pantai saja. Dengan modal menarik sampan, kita sudah bisa menikmati ikan segar.
Hari ini kami cukup beruntung. Karena setelah kurang lebih lima menit tiba di pantai ada nelayan yang pulang melaut dengan sampan penuh ikan tembang. Ketika sampan merapat ke bibir pantai, anak-anak yang sedari tadi asyik bermain segera berlari mendekat dan membantu menarik sampan tersebut ke darat.
Saya segera mendekati perahu tersebut ketika sampan sudah ditarik ke darat. Kepada pemilik sampan, saya menanyakan apakah ikan tersebut dijual atau tidak. Om nelayan tersebut menjawab pertanyaan saya dengan pertanyaan, mau beli berapa (ribu). Saya lalu menyodorkan uang sepuluh ribu rupiah.