Kompas, salah satu surat kabar harian terbesar di Indonesia hari ini (Jumat,11/12/20) menurunkan tiga tulisan tentang "GURU" pada kolom opini (hal.6 dan 7). Pemuatan tulisan tentang "GURU" pada kolom opini ini menunjukkan pertama, Kompas sangat "care" dengan persoalan pendidikan, terkhusus guru di tanah air. Saat memperingati HGN 2020, 25 November lalu, selama kurang lebih tiga hari, Kompas menyoroti nasip guru (honorer) yang tidak menentu.
Kedua, diangkatnya isu ini menunjukkan bahwa persoalan guru di tanah air yang sudah sangat akut ini perlu pembenahan segera agar persoalan ini tidak berlarut. Karena berbicara tentang guru berarti membicarakan ikhwal pendidikan. Membicarakan pendidikan berarti membicarakan masa depan bangsa ini. Memperhatikan nasip guru sama dengan memperbaiki masalah pendidikan yang artinya  menata masa depan bangsa yang lebih baik.
Guru merupakan unsur penting dalam pendidikan. Peran dan kehadiran sosok ini tidak akan tergantikan oleh teknologi secanggih apa pun. Peran guru secara filosofi digambarkan Ki Hajar Dewantara sebagai "Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani."
Walau memiliki peran yang sangat krusial dalam pendidikan, namun guru Indonesia masih menghadapi persoalan yang kompleks, mulai rendahnya kompetensi, distribusi dan tata kelola, hingga kesejahteraan dan perlindungan terhadap guru.
Hafid Abbas, Guru Besar FIP UNJ dan Profesor Tamu di Tsai Lecture Series, Havard University 2006 dalam opininya "Rapor Merah Pengelolaan Guru" (hal.06) mengkritisi tata kelola guru oleh pemerintah. Menurut Abbas, ada beberapa paradoks dalam penataan guru oleh pemerintah dimana ada sekolah yang kekurangan guru, sementara sekolah lain malah kelebihan guru. Hal ini dibuktikan dengan data bahwa saat ini jumlah guru pendidikan dasar dan menengah sudah mencapai empat juta yang melayani sekita 50 juta siswa (Kemdikbud, 20/11/2020). Ini berarti setiap guru hanya mengajar 12-13 siswa. Sementara rata-rata rasion international 20-12 siswa.
Paradoks kedua adalah peningkatan professional guru dimana peningkatan mutu guru tidak linear dengan anggaran yang digelontorkan oleh Negara. Penambahan anggaran pendidikan tidak mendongkrak mutu guru. Justru sebaliknya, semakin banyak uang Negara dihabiskan mutu guru malah menurun.
Hal ini dibuktikan dengan laporan Bank Dunia bahwa 86 persen dana APBN dan APBD untuk pendidikan dihabiskan untuk gaji dan kesejahteraan guru, bukan untuk peningkatan mutu pembelajaran. Ironisnya, para guru yang telah memperoleh tunjangan sertifikasi dan yang belum bersertifikasi menunjukkan prestasi yang relatif sama. Ini menunjukkan bahwa program sertifikasi yang menelan anggaran triliunan rupiah tidak memberikan  dampak nyata pada peningkatan mutu pendidikan nasional.
Kedua paradoks tersebut secara terang menggambarkan absennya negara dalam mengelola guru. Karena itu Abbas merekomendasikan agar Negara harus menunjukkan wajahnya dengan, pertama, menertibkan dan membina lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) sebagai penghasil guru. Kedua, mengatur dengan baik pengangkatan dan penempatan guru. Ketiga, mengatur pembinaan dan perlindungan karier guru.
Bila Negara sungguh hadir, maka nasip guru di tanah air tidak akan terombang-ambing. Namun kita perlu mengapresiasi karena pemerintahan Jokowi mulai menghadirkan wajah Negara dalam mengelola guru. Dimana pemerintah berencana merekrut satu juta guru secara nasional pada tahun 2021. Presiden telah mengeluarkan Perpres Nomor 98 Tahun 2020 tentang guru yang berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).
Maksud baik pemerintah ini memberi angin segara bagi guru honorer yang telah mengabdi selama bertahun-tahun. Terkhusus bagi mereka yang telah melewati usia 35 tahun sehingga tidak memiliki harapan lagi untuk diangakat menjadi PNS. Walau demikian, niat pemerintah mem"P3K"kan guru honorer ini jangan sampai memberi harapan sekaligus kecemasan.