Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepenggal Kisah dari Wukir

9 Mei 2020   11:19 Diperbarui: 9 Mei 2020   11:11 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi jalan ke Wukir. Dok. pribadi

Pagi itu, hawa dingin masih memeluk kota Ruteng. Aku dan teman bersiap merajut kisah ke tempat "misi" baru.

Wukir. Sebuah tempat yang selama ini hanya sebatas nama yang kami dengar. Cerita tentangnya membuat siapa saja merasa takut, terutama soal jarak dan kondisi jalan yang sangat memprihatinkan kalau tidak mau dibilang membahayakan. Tantangan berat menanti. Namun dengan dibaluti semangat maju bersama kami bertekad menggapai Wukir.

Vega R tumpangan kami mulai beranjak pelan. Tinggalkan Ruteng yang masih berselimut kabut. Menggores kisah di kanvas jalanan.

Lima belas menit berlalu, perjalanan sudah tidak bersahabat lagi. Medannya semakin menantang. Jalan berkelok-kelok diapiti jurang yang terjal dan dalam.

Jalan masih beraspal, namun kondisinya sudah mulai rusak. Sudah berlubang-lubang. Awalnya lubang-lubang itu berjauhan. Tetapi semakin jauh perjalanan, lubang-lubang itu semakin berdekatan. Di beberapa titik, aspalnya sudah tidak kelihatan lagi.

Beberapa perkampungan terlewati sebelum memasuki sebuah kawasan hutan lindung. Setelah bertarung melawan dinginnya udara hutan, dari kejauhan terlihat rimbunan pohon kopi. Dari situ aroma kopi sudah mulai tercium. Pertanda sebentar lagi akan memasuki kampung Colol, daerah yang terkenal sebagai penghasil kopi.

Kopi Colol memang selalu menggoda selera siapa saja yang lewat untuk menikmatinya. Moment ini tidak kami lewati begitu saja. Sambil menikmati kopi Colol, kami mencari informasi tentang Wukir. Namun jawaban yang diberikan sangat jauh dari kata memuaskan.

"Seumur hidup, saya tidak pernah ke Wukir," kata pemilik warung singkan tentang ketika aku menanyakan tentang Wukir. "Dari cerita yang saya dengar, Wukir itu sangat jauh," lanjutnya menjelaskan.

Perjalanan masih jauh. Semakin jauh perjalanan, kerusakan jalan semakin parah. Aspal sudah benar-benar terkelupas. Laju Vega R makin pelan. Perjalanan semakin lambat dan lama. Kampung-kampung kecil di pinggir jalan terlewati satu persatu sampai akhirnya kami tiba di Elar.

"Masih jauh, sekitar 3 jam perjalanan dari sini," jelas Ibu penjual bensin ketika kami bertanya tentang Wukir. "Harus hati-hati karena musim (hujan) begini jalannya rusak", pesannya kepada kami.

Kembali kami arungi perjalanan tersisa. Jalanan menanjak dengan kondisi semakin parah. Berbatu dan terjal. Suatu kondisi yang sangat membahayakan jika dilalui kendaraan berapa pun jumlah rodanya. Berkendaraan melewati jalur ini kita bagaikan bertarung dengan maut. Karena itu dibutuhkan nyali yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun