Malam ini menjadi pengalaman yang menyeramkan, banyak kejadian yang tidak masuk akal terjadi. Kejadian ini di di awali pada hari Jumat saat kami ber empat merencanakan akan mendaki gunung Merbabu. Aku, Topek, Casper, dan Akmal ingin mendaki gunung dan setelah pertimbangan panjang, yang menjadi pilihan terakhir yaitu gunung Merbabu. Dengan rencana yang sudah di tentukan akhirnya kami setuju berangkat hari Sabtu malam. Logistik, perlengkapan, dan mental sudah siap, kami pun berangkat menuju dari Surabaya. 3 jam perjalanan akhirnya kita sampai pada pos registrasi pendakian gunung Merbabu via Selo yang bertempat di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Administrasi sudah lengkap kita pun ingin segera mulai mendaki, tidak lupa memulai dengan do'a agar diberi keselamatan, kita berempat pun memulai pendakian.
Gunung Merbabu via Selo ini memiliki jalur yang cukup landai dan sangat cocok untuk pemula, akan tetapi dengan ketinggian 3.120 mdpl di Puncak Syarif dan 3.142 mdpl Puncak Kenteng Songo, Gunung Merbabu menjadi opsi terakhir bagi pendaki pemula. Pendaki pemula menjadi minder dengan ketinggian yang dimiliki Gunung Merbabu. Merbabu memiliki keindahan alam yang memanjakan mata, tetapi tidak dengan pengalaman - pengalaman mistis yang dialami pendaki di Merbabu.
Kami memulai pendakian di siang hari, mendaki dengan santai diselingi dengan canda gurauan, tidak terasa sudah 6 jam kita mendaki melewati pos 1 dan 2. Di pos 2 kita istirahat karena langit sudah mulai gelap kita mendirikan tenda di pos 2. Mendirikan tenda, masak makanan, dan diakhiri bercengkrama dengan segelas kopi membuat suasana nge camp menjadi lebih syahdu. Jam sudah menunjukan pukul 8, 2 diantara kita berempat sudah masuk tenda dan istirahat karena kita ingin melanjutkan ndaki jam 12 agar saat subuh kita sudah di sabana dan menikmati pemandangan sunrise. Saat ini lah hal-hal mistis mulai terjadi.
Dengan sisa aku dan Topek yang masih terbangun agar kita tidak kebablasan tidurnya. Masih menikmati secangkir kopi dan obrolan-obrolan tentang kehidupan menghiasi malam kita berdua. Lalu saat masih menikmati kopi dan obrolan malam, tiba-tiba lewat tiga orang pendaki yang menyapa kita berdua saat ngopi. Memang keramahan seorang pendaki tidak perlu ditanyakan lagi, mereka bertiga mampir sebentar untuk istirahat dan ikut menikmati kopi yang kami buat dan mulai ikut ngobrol.Â
Akan tetapi diantara mereka bertiga ada salah satu yang berwajah pucat dan hanya diam saat yang lain sudah mulai menyatu obrolan nya, tidak lama dari itu mereka pun melanjutkan perjalanan pendakian nya setelah menghabiskan kopi yang kami buat tadi. Aku dan Topek melanjutkan obrolan yang sempat tertunda rombongan tadi, selama obrolan tiba-tiba terdengar suara ramai seperti pasar saat pagi. Kita berdua terdiam menyimak suara apa itu. Diam seribu bahasa karena dimalam yang sepi ini tiba-tiba terdengar suara ramai kita pun mulai membaca sholawat agar hal-hal mistis mulai hilang. 10 menit terlewat suara-suara mistis mulai berbisik dan akhirnya hilang, aku dan topek lega dan tak lama setelah itu lewat lagi pendaki berjumlah 2 orang yang berjalan dengan lesu.Â
Seperti halnya etik pendaki, kita berdua menyapa dan menawarkan kopi tapi tidak digubris oleh kedua pendaki tersebut, menolehkan kepala saja tidak. Aku yang merasa jengkel menatap lamat-lamat muka kedua pendaki tersebut berakhir terdiam dan mematung. Bulu kuduk berdiri dengan cepat setelah mengetahui bahwa kedua pendaki tersebut mukanya sangat mirip dengan pendaki yang mampir dan minum kopi tadi. Aku pun melihat Topek dan Topek pun juga diam mematung,Â
Kita pun mencoba tidak menggubris pendaki tersebut dan ternyata, pendaki tersebut menoleh ke arah kita. Bulu kuduk semakin berdiri mengetahui kedua pendaki tersebut mulai berjalan ke arah kita berdua, mukanya sangat pucat dan jalan dengan lesu semakin dekat menghampiri kita berdua. Sholawat menjadi satu satunya hal yang terpikirkan kita berdua, membaca dengan lantang semakin lama semakin dekat suara sholawat pun semakin keras kita baca, lalu terdengar lagi teriakan dari bawah.
Kita berdua segera lari dari tempat tersebut meninggalkan kawan kita yang lagi beristirahat. Nasib malang menimpa kita berdua, kita terjatuh, tersungkur kebawah ke tebing dan lemas tak bisa berdiri. Rasa takut merasuki kita berdua, tidak membawa apapun dan penerangan bermodal handphone yang ku pegang, aku mencari Topek yang keberadaan nya tidak diketahui. Lama mencari tak kunjung ketemu dengan berat hati aku meninggalkan tempat kita terjatuh berdua dan bergegas ke tempat mendirikan tenda agar menambah personel untuk mencari temanku yaitu Topek. 15 menit, 20 menit atau gatau waktu yang dibutuhkan agar sampai ke tempat nge camp kita.Â
Dan ternyata, Topek sudah sampai camp dengan satu orang yang mukanya familiar tetapi tidak ku kenal.
Ternyata orang tersebut adalah rombongan pendaki awal yang ikut nimbrung dan menikmati kopi. Dia menemukan topek tersungkur lemas dan terjatuh pas di tempat dia istirahat setelah mengejar teman nya. Keadaan Topek lumayan baik hanya sobek ringan di bagian tangan dan muka. Untungnya kaki tidak terluka karena jika kaki terluka akan menghambat pendakian dan mau tidak mau harus mengikhlaskan pendakian ini dan turun demi keselamatan bersama. Orang tersebut sangat khawatir karena dia ditinggal oleh teman nya saat di pergi kencing sebentar. Mulai kenalan dan ternyata nama dia itu Galuh. Teori konspirasi mulai memenuhi kepala kita berdua, karena saat pertama teman nya Galuh itu salah satu nya punya muka sangat mirip dengan Galuh dengan versi pucet dan lesu. Kita menawarkan agar mendaki bareng dan untuk mengurangi resiko hilang atau jatuh dan Galuh pun setuju. Jam menunjukan pukul 12 kita berlima sudah bersiap mendaki lagi.
Selama perjalanan seringkali mendengar suara ramai seperti dipasar, sangat mengganggu fokus. 4 jam berlalu kita sudah sampai di sabana pendakian, kedatangan kita disambut oleh bintang bintang dilangit yang begitu indah. Bagi tugas dalam mendirikan tenda, memasak, serta aku yang punya tugas mencari rombongan dari Galuh.