Feedback dari masyarakat menanggapi kecelakaan maut Kbm Xenia No.Pol.: B2479XI di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat dengan tersangka Afriyani Susanti (29) sangat beragam.Namun opini kolektif publik yang muncul dalam pemberitaan di media adalah menginginkan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku. Hal tersebut di karenakan, sebelum peristiwa kecelakaan tersebut, pelaku di duga mengkonsumsi narkoba sehingga tidak dapat mengendalikan laju kendaraannya sampai akhirnya mengakibatkan korban meninggal 9 orang dan luka – luka 4 orang.
Menanggapi respon masyarakat yang sedemikian rupa, Polri bekerja keras untuk menegakan keadilan dalam perkara tersebut dengan tetap menjaga independensi serta asas kepastian hukum yang berlaku di Indonesia.Ada beberapa alternatif penerapan pasal untuk menjerat pelaku AS dalam peristiwa ini agar dapat di kenai ancaman pidana seberat- beratnya, sehingga akan menimbulkan efek jera serta sebagai langkah preventif dan peringatan terhadap pengguna jalan yang lain. Apabila di jerat dengan perbarengan tindak pidana(concursus) seperti yang di atur dalam pasal 63-71 KUHP,maka ancaman hukuman terberat yang akan di tuntutkan oleh JPU adalah salah satu pasal yang ancaman hukumannya terberat . Hal ini tidak di inginkan oleh masyarakat seperti yang bisa di simpulkan dari opini kolektifnya.
Alternatif pertama adalah, mengingat sistem hukum Indonesia tidak mengenal asas pemidanaan kumulatif maka peristiwa tersebut dapat dipisahkan menjadi dua perkara, yaitu kecelakaan lalu lintas serta penggunaan Narkoba.Kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia 9 orang, di jerat dengan pasal 310 UU No.22 Tahun 2009 dengan ancaman hukuman 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,-. Sedangkan dugaan kepemilikan Narkoba dapat di jerat dengan pasal 112 jo 132 subsider 127 UU No 35 Tahun 2009 tentang narkotika,dengan hukuman penjara minimal 4 tahun penjara dan maksimal 12 tahun penjara.
Namun demikian penerapan pasal Narkotika tersebut tidaklah mudah, di karenakan tidak di temukannya bukti berupa obat – obat terlarang seperti yang di maksud dalam UU tersebut. Hambatan pertama, memang ada pengakuan dari AS, telah mengkonsumsi minuman keras obat- obatan terlarang. Pengakuan seperti ini dapat di cabut oleh AS dalam persidangan nanti dengan alasan panik (depresi) pasca kecelakaan sehingga berbicara tidak dengan sadar. Kedua, Saksi yang merupakan teman AS adalah pelaku yang turut serta mengkonsumsi obat – obatan terlarang, sehingga sangat mungkin akan terjadi konspirasi rekayasa dalam memberikan keterangan di persidangan demi mengamankan diri untuk selamat dari jeratan hukum. Ketiga, bukti petunjuk berupa foto AS dan teman – temannya yang sedang pesta narkoba bukanlah merupakan alat bukti.Apabila terbukti asli, foto tersebut dapat di sangkal bahwa pada saat di ambil photo mereka hanya sekedar sedang bergaya pesta narkoba.Keempat , hasil pemeriksaan air seni ( urine) juga dapat di sangkal karena zat avitamin yang terkandung dalam urine tersebut tidak dapt di buktikan dari narkoba.Karena tidak di temukan alat penghisap (sabu-sabu).Dan zat avitamin tidak mutlak berasal dari sabu – sabu.melainkan bisa dimungkinkan berasal dari makanan suplemen atau makanan lain.
Alternatif kedua adalah menjerat tersangka AS dengan tuduhan pembunuhan pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Untuk dapat men jeratkan pasal ini pada tersangka AS perlu ada intepretasi atas pengertian kesengajaan sebagai berikut:
Kesengajaan bertujuan
Berarti apabila perbuatan yang dilakukan atau terjadinya suatu akibat adalah memang menjadi tujuan si pembuat. Misalnya A menembak B dengan pistol dan B meninggal, memang A bertujuan agar B mati.
Kesengajaan berkesadaran kepastian atau keharusan
Berarti apabila perbuatan yang dilakukan atau terjadinya suatu akibat bukanlah yang dituju tetapi untuk mencapai perbuatan atau akibat yang dituju itu pasti atau harus melakukan perbuatan atau terjadinya akibat tersebut. Misalnya A hendak membunuh B dengan pistol, ketika A mengarahkan pistol ke arah B, tiba2 istri B menghalang-halangi, dan A tetap melepaskan tembakan sehingga peluru menembus istri B dan kemudian menembus B, hingga keduanya mati. Dapat disimpulkan bahwa kehendak A akan matinya B merupakan “kesengajaan bertujuan”. Sedangkan, matinya istri B merupakan “kesengajaan berdasarkan kepastian atau keharusan.
Kesengajaan berkesadaran kemungkinan atau kesengajaan bersyarat.
Hal ini berarti apabila dengan dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu, maka disadari adanya kemungkinan akan timbulnya akibat lain. Misalnya, B hobi mengebut di jalanan. Pada suatu hari ia mengebut di jalanan yang banyak anak-anak bermain. Ia menyadari bahwa dengan mengebut ada kemungkinan akan ada anak-anak yang tertabrak. Namun, ia tidak menghiraukan nasib anak-anak itu dan terus mengebut.Apabila terjadi tabrakan, hingga luka bahakan mati. Meskipun B tidak menghendaki hal itu, B dapat disalahkan atas luka-luka atau matinya anak-anak dengan sengaja yaitu kesengajaan berkesadaran kemungkinan atau kesengajaan bersyarat.
Intepretasi tersebut di perkuat dengan putusan dari pengadilan yang bisa di jadikan sebagai yurispudensi dalam kasus ini , yaitu dalam kecelakaan maut Metromini bernopol B.7821VM jurusan Senen-Tanjung Priok pada 6 Maret 1994 silam. Saat itu, sopir Marojohan Silitonga alias Ramses Silitonga usai menenggak minuman anggur mengemudikan busnya yang sarat penumpang secara ugal-ugalan. Akibatnya, saat melintas Jalan Perintis Kemerdekaan, busnya slip dan nyebur ke Kali Sunter. 32 penumpangnya tewas di dalam sungai sedangkan 13 lainnya terluka parah. Dalam persidangan tersebut, majelis hakim mengabulkan tuntutan jaksa dengan menjatuhkan hukuman kepada Ramses dengan Pidana Penjara 15 (lima belas) tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H