Kasus perundungan yang berujung tewasnya seorang anak usia 11 tahun di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, menjadi pukulan telak bagi pelaku institusi pendidikan di tingkat sekolah dasar. Terlebih lagi bagi mereka yang berada dalam bagian perumus sistem pendidikan terkait. Kasus tersebut tentu saja menambah panjang daftar kasus-kasus perundungan yang telah terungkap, dan saya hampir yakin masih banyak yang belum terungkap. Hal demikian sepatutnya cukup membuat sadar bahwa evaluasi secara masif telah mendesak agar dilakukan.
Kejadian tersebut bermula ketika korban dipaksa teman sebayanya untuk menyetubuhi seekor kucing (merdeka.com, 23 Juli 2022). Bukan hanya itu, terduga para pelaku juga merekamnya dan membagikannya ke media sosial. Manager Program Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Diana Wati menyebut korban mengalami trauma dan depresi, tak mau makan dan minum, serta murung sepanjang waktu, yang sampai pada akhirnya korban meninggal dunia. Suatu fenomena yang ironi bila kita mengingat bahwa institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat di mana nilai-nilai moral dan kemanusiaan tumbuh subur, justru menjadi sumber malapetaka.
Perundungan bermula ketika lingkungan tertentu menganggap bahwa perilaku demikian masih bagian kenakalan yang wajar dilakukan oleh usia-usia tersebut. Padahal, mengutip penelitian yang dilakukan Mufrihah (2016) bahwa pengalaman traumatis di masa kanak-kanak terprediksi menjadi penyebab masalah yang akan datang. Melalui segi mana pun, perilaku perundungan tidak dapat dibenarkan.
Namun dengan naifnya tingkat pendidikan sekolah dasar tidak menyediakan dukungan instrumen dalam menjalankan tindakan preventif, apalagi tindakan kuratif. Seluruh dinamika konflik yang dialami oleh siswa menjadi tanggung jawab penuh wali kelas. Sedangkan alih-alih untuk memperhatikan keseimbangan aspek siswa, waktu yang dimiliki guru kelas di tingkat sekolah dasar justru sudah tersita habis untuk mengajar dan mengurus dokumen pembelajaran.
Betapa tidak mumpuni tingkat pendidikan tersebut, ketika padahal sekolah dasar menjadi basis karakter bagi siswa di tingkat pendidikan lanjutan. Urgensi guru BK di sekolah dasar menjadi kajian menarik untuk dipertimbangkan dalam merespon fenomena yang kini terjadi.
Guru BK dan Fungsinya
Setiap dokumen pelayanan bimbingan konseling di sekolah, setidaknya memuat empat domain perkembangan pokok bagi siswa yang perlu dipenuhi: sosial, pribadi, akademik, dan karir. Tidak mungkin rasanya guru wali kelas di sekolah dasar mampu menjalankan keempat domain tersebut secara baik dan seimbang. Pada titik rumpang itulah peran guru BK dalam menentukan posisi strategisnya.
Guru BK mempunyai kapasitas dalam mengembangkan nilai pada tiap domain pokok di atas, lantaran hal tersebut menjadi capaian pelayanan BK di sekolah. Keterbatasan sumber daya manusia di tingkat sekolah dasar masih menjadi pertanyaan besar yang sejauh ini belum terjawab: mengapa berulang kali inisiasi peran guru BK di sekolah masih belum cukup penting untuk dipertimbangkan keberadaannya?
Melansir dari berbagai artikel ilmiah melalui google scholar, ide tata peran dan tata laksana guru BK di sekolah dasar telah sejak tahun 2019 digencarkan. Namun anehnya, tidak ada satu pun respon yang muncul dari pemerintah untuk mengabulkannya melalui dokumen nasional tentang perubahan kurikulum nomor 008/H/KR/2022 mengenai skema selingkung capaian pembelajaran pada tingkat pendidikan pada setiap jenjang. Pada dokumen yang sama, termasuk dijelaskan di dalamnya mengenai keberadaan, peran, dan fungsi guru BK bagi peserta didik pada tingkat pendidikan tertentu. Sayangnya pada jenjang sekolah dasar, tidak ada penjelasan mengenai hal tersebut. Artinya, perumus sistem pendidikan masih belum mempertimbangkan kehadiran guru BK di sekolah dasar.
Sedangkan keberfungsian dan peran guru yang mampu mengembangkan nilai pada keempat domain di atas merupakan hal krusial ketika mengingat sekolah dasar menjadi fondasi dalam pembangunan karakter sebagai individu paripurna. Hal demikian dilegitimasi oleh Nurohman & Prasasti (2019) melalui penelitiannya yang menyatakan bahwa individu yang sejak tahap tugas perkembangan awalnya terpenuhi secara baik, maka selanjutnya akan lebih efektif dalam pemenuhan tugas perkembangan selanjutnya. Sebaliknya, ketika tugas perkembangan di awal sudah tidak terpenuhi, maka individu akan kesulitan memenuhi tugas perkembangan selanjutnya. Khawatirnya, seorang individu dengan dinamika yang kedua itu, akan memenuhi tugas perkembangannya dengan cara-cara yang keliru.
Berdasarkan hal demikian, peran guru BK menjadi penting dalam mengontrol praktik pemenuhan tugas perkembangan yang serampangan tersebut. Termasuk dalam pelaksanaannya yaitu mengendalikan sikap dan perilaku negatif di sekolah dasar yang selama ini alfa dari pantauan secara terstruktur dan sistematis. Hal ini sesuai dengan apa yang termaktub dalam dokumen di atas, bahwa fungsi guru BK menjadi penyuluh sekaligus pelaksana program kuratif, preventif, dan promotif. Sekali lagi, dengan beban mengajar dan pembuatan dokumen ajar oleh guru kelas di sekolah dasar, rasanya program-program tersebut tidak mungkin mampu dijalankan secara tunggal oleh guru kelas itu sendiri. Sebaliknya, membayangkan program tersebut dapat dijalankan oleh guru BK di jenjang sekolah dasar, barang tentu akan menciptakan keseimbangan sistem yang mumpuni.
Kita perlu terus wawas diri mengenai dosa pendidikan yang selama ini masyhur diketahui oleh pelaku pendidikan, dan salah satunya adalah dosa perundungan. Jenjang sekolah dasar sebagai bagian fundamental dari pembangunan karakter peserta didik, tentunya membutuhkan instrumen kontrol yang dapat dilakukan secara berkala demi menjaga keteraturan dalam pemenuhan tugas perkembangan seorang siswa. Dan nampaknya kehadiran guru BK di sekolah dasar cukup mampu menjawab tantangan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H