Para tetangga itu tak tahu bahwa Ibu Mashitah adalah seorang pejuang. Membesarkan anak seorang diri di tengah kemiskinan saja beliau sanggup, apalagi sekadar menabung recehan dalam jangka waktu yang, bagi orang lain, tak terbayangkan lamanya. Tiga puluh lima tahun; itulah waktu yang dibutuhkannya untuk memenuhi semua batang bambu hingga tak tersisa ruang untuk satu pun koin.
Hari itu pun tiba. Dengan bantuan beberapa tetangga, satu demi satu tiang bambu itu diambil dan dibelah sebelum diganti dengan yang baru. Tak ada yang tahu berapa jumlah pasti segunung recehan tersebut, tetapi Ibu Mashitah percaya bahwa tabungannya sudah cukup untuk membawanya ke Tanah Suci.
Dibantu oleh anaknya, Ibu Mashitah membawa uang recehan tersebut ke bank untuk membayar biaya naik haji. Delapan tas plastik hitam besar dibutuhkan untuk membawa semua uang itu.
"Semuanya berjumlah dua puluh satu juta, dan semuanya recehan," kata anaknya. "Butuh berjam-jam bagi petugas bank untuk menghitungnya."
Ketabahan, ketekunan, dan komitmennya pada cita-cita berhasil mewujudkan impian Ibu Mashitah. Pada usianya yang keenam puluh dua, tiga tahun sebelum meninggal dunia, terkabul sudah keinginan beliau pergi ke Makkah.
Demikianlah kisah perjuangan seorang hamba dalam memenuhi panggilan-Nya. Keterbatasan finansial terbukti bukanlah alasan untuk mengabaikan rukun Islam kelima ini, asalkan kita memiliki satu hal terpenting yang akan memampukan kita meraihnya: iman.
Imanlah yang membuat kita memandang ibadah haji sebagai sesuatu yang mendesak untuk ditunaikan. Imanlah yang memberi kita semangat dan ketabahan dalam proses mewujudkannya. Iman pula yang menyibakkan jalan keluar atas permasalahan yang barangkali hadir untuk merintangi niat kita ke Tanah Suci. Tanpa kehadiran aspek fundamental ini, mustahil kita memenuhi kewajiban berhaji, sebanyak apa pun uang dan waktu yang kita miliki.
Adalah benar ibadah haji merupakan ibadah yang mahal. Puluhan juta rupiah mesti dipersiapkan untuk memberangkatkan kita ke Makkah, belum lagi menimbang kesiapan fisik dan psikis untuk menjalani serangkaian ritual ketika berada di sana. Namun, seperti yang dicontohkan oleh Ibu Mashitah, kita bisa mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan sedari dini.
Persoalan finansial bisa disiasati dengan cara menabung sejak jauh-jauh hari. Memang benar bahwa tidak semua orang memiliki konsistensi seteguh karang seperti yang dimiliki oleh Ibu Mashitah, yang bisa ajek menabung koin demi koin selama tiga puluh lima tahun. Meskipun begitu, kemajuan pelayanan perbankan telah memfasilitasi hal tersebut.
Kita tak perlu melubangi tiang rumah untuk dijadikan celengan. Hampir semua bank di Indonesia memiliki layanan tabungan naik haji dengan beragam kemudahan yang ditawarkan. Bank Danamon, misalnya, mempunyai program Tabungan Haji yang memberi kepastian mendapat nomor porsi haji begitu nasabah membuka rekening. Sembari menunggu antrean, yang kita tahu butuh bertahun-tahun, kita bisa mempersiapkan sisa biaya yang dibutuhkan.
Apa pun metode menabung yang kita pilih, dan kemudahan apa saja yang ditawarkan oleh bank, satu hal yang patut kita catat adalah bahwa kita sebaiknya mempersiapkan diri sejak usia muda nan produktif.
Jika kita memulainya di umur paruh baya, sementara proses mengumpulkan dana membutuhkan waktu belasan tahun, besar kemungkinan kita baru akan berangkat ke Tanah Suci di usia sepuh, ketika aspek fisik tak lagi memadai untuk menjalani ritual-ritual haji yang menguras tenaga. Allah akan menolong hamba-Nya, itu pasti. Namun, fisik yang terganggu tentu akan mengurangi kenikmatan dan kekhusyukan beribadah, padahal, boleh jadi, itu merupakan satu-satunya kesempatan kita beribadah haji.