Bertetangga adalah keharusan, meski di tempatku takarannya berbeda-beda. Ada yang saling tegur sapa saat berpapasan, ada juga yang memilih diam namun progresif ketika bertemu. Aku jenis diantara dua kontradiksi itu.Â
Bertetangga jaman sekarang sedikit tricky, berkumpul secara terpusat atau menyebar memusat-musat. Sebagai keluarga muda, aku memposisikan diri sebagai pengamat. Terkadang terlalu menjiwai, olah kerja bakti pun bisa dihitung jari. Abai kepada rumput salah satunya.
Dulu rumput di depan dan samping rumah itu sebenarnya bukan lagi rumput halamanku, walau rumah yang terdekat adalah rumahku. Tetapi sejatinya ia adalah rumput di jalan umum. Walau ia rumput milik umum akulah yang secara moral bertangungjawab memotongnya karena ia tepat terletak di depan dan samping rumah.
Tetapi karena aku seorang pemalas, seorang tetangga yang baik hati sering mengambil tugas itu. Seringkali dipangkas habis sekedar untuk pakan ternak. Tetapi karena pada dasarnya ia rumput di jalan umum, maka ia hanya mendapat perawatan umum, sekenanya, sesempatnya.Â
Jika sekali waktu tetanggaku itu berbaik hati, baru ia menjadi rumput yang rapi. Melihat keliaran berhari-hari kemudian berganti kerapian dalam sehari, sungguh sebuah sensasi. Kontras sekali.
Rapi itu indah, dan di mana-mana, keindahan, selalu mendatangkan perasaan senang. Walau rasa senang ini dalam sekejap berganti malu. Kenapa? Karena setiap rumput itu terpangkas rapi, selalu yang muncul adalah wajah tetanggaku.Â
Melihat keindahan yang kunikmati tetapi sama sekali tak ikut berkontribusi, sama saja dengan makan gaji buta setiap waktu.
Maka suatu ketika kuputuskan untuk mencabutnya, dan merapikan semampunya. Rumput itu harus seluruhnya rapi agar pandanganku tidak terganggu. Akhirnya, bidang yang sebetulnya tidak luas itu rampung kubersihkan. Terengah nafasku dan lapar sekali perutku.Â
Makan di saat lapar adalah kebahagiaan besar. Lapar karena bekerja adalah kegembiraan berikutnya. Lapar karena kerja lalu menikmati hasil kerja adalah dimensi kebahagiaan level puncak. Sambil makan, kupandangi seluruh area itu dengan sepenuh hati. Kini, wajah tetanggaku tak mengganggu lagi.
Bayangan wajahku yang berkeringat dan tersenyum senang sangat terlihat jelas. Saat itu aku berhak menikmati hasilnya, indah sekali hasil kerja keras sendiri.Â
Ada banyak keindahan, rezeki, prestasi, dan keberuntungan hidup, tetapi jika aku tak ada di dalamnya, tak telibat dalam prosesnya, ia akan lewat begitu saja. Ia bukan milik kita.