Kotak makananku hanya tersisa tulang-tulang ayam, sedang di depanku menanti 3 ekor kucing siap menerkam apapun yang kulempar. Mereka menatap seakan merayu : "Berikan tulang itu padaku." Bak tersihir, aku lempar secara acak, lalu muncul fenomena yang menarik. Satu ekor kucing galak sekali perangainya, ia mendominasi seluruh tulang ayamku.Â
Dua ekor lainnya gentar, gestur si kucing galak itu luar biasa seram. Mengingat pengalaman tersebut, di lain hari aku ubah pola lemparannya. Aku sediakan tulang ayam dengan sedikit daging untuk lemparan pertama. Sesuai prediksi, kucing galak menangkap dengan gesit. Ia berlalu dengan garang, aku pun tersenyum senang.Â
Si kucing galak tidak tahu akan adanya lemparan kedua dan ketiga, serta porsi daging ayam yang sengaja kubedakan. Ia begitu rakus dan tidak sabar menunggu. Aku lebih menyukai dua ekor lainnya karena mereka tidak galak menuntut, pasrah namun tetap merayu. Aku suka. Begitulah manusia, sifat rahman dan rahim begitu melekat secara alami.Â
Cobalah merayu dengan adab dan ilmu, sisanya pasrahkan. Tuhan tidak pernah tidur.
Sayangnya pendidikan ilmu kurang bersinergi dengan penguatan adab. Sekolah yang hanya memperdagangkan pendidikan boleh saja disebut kriminal. Tapi (maaf) kebodohan akhlak mengerucut sikap tak tahu diri merupakan kejahatan tingkat tinggi. Bisa Anda teliti, kriminalitas sekolah biasanya banyak disumbang oleh penyakit tidak tahu diri ini.Â
Berbagai upaya dilakukan. Ingin bersekolah di tempat bergengsi tapi tak cukup prestasi. Ingin sekolah yang terkenal tapi tak cukup modal. Mahal memang ongkos (maaf) kebodohan. Tapi jauh lebih mahal lagi adalah biaya (maaf) kebodohan yang bercampur kenekatan.Â
Nekat bahwa ia layak menempati tempat yang bukan tempatnya, nekat memiliki bahkan mengambil tempat orang lain dengan berbagai cara.Â
Seperti kucing galak tadi. Tidak tahu tempatnya, hanya murni nekat. Â Jika kita adalah orang tua, ada baiknya mulai belajar menerima (maaf) kebodohan bukan sebagai sesuatu yang hina. Itupun kalau benar ia adalah kebodohan.Â
Bagaimana kalau ternyata ia cuma kekurangan. Apa yang salah dari sebuah kekurangan. Hebat betul niat yang hendak mengubah manusia yang serba kurang ini menjadi mahkluk yang serba lebih.Â
Kita, orang tua, jarang mendidik anak-anak untuk menghargai kekurangan dan menempatkannya di tempat yang wajar. Jika ia anak biasa, kita ingin menyulapnya menjadi luar biasa. Jika ia (maaf) bodoh, kita ingin membuat dia pintar dalam sekejab mata.Â
Yang bodoh, kurang dan biasa-biasa saja menurut versi sekolah itu telah langsung kita anggap sebagai musibah. Sekolah tiba-tiba telah begitu berkuasa menentukan nasib anak-anak yang malang itu. Padahal, nasib mereka mutlak ada di tangan mereka sendiri.
Maka satu lagi pendidikan yang harus segera ditambahkan pada anak-anak yakni mata pelajaran tahu diri.Â
Mereka harus paham dulu kebutuhan dan keinginannya yang paling dasar. Bagaimana cara mewujudkannya dan mengenal potensi diri sendiri.Â
Anggraeni (2022)Â menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara rasa tahu diri dan perilaku agresif pada remaja. Remaja dengan rasa tahu diri yang tinggi cenderung memiliki perilaku yang lebih prososial dan menghindari perilaku agresif. Sebaliknya, remaja dengan rasa tahu diri yang rendah cenderung memiliki perilaku yang lebih impulsif dan mudah terprovokasi untuk melakukan tindakan agresif.Â